(Business Lounge Journal – Global News)
Selain masalah hukum, Google tengah bergelut melawan pergeseran perilaku pengguna.
Jelang putusan penting dari Pengadilan Amerika Serikat terkait kasus antitrust, bisnis mesin pencari Google tengah terancam — bukan hanya dari regulator, tapi juga dari kebiasaan pengguna yang mulai berubah.
Vineet Jain, CEO Egnyte, misalnya, mencoba berhenti menggunakan Google Search selama 4 hari dan kemudian tidak lagi kembali. Anak remajanya lebih blak-blakan: “Kami tidak menggunakan Google lagi. Kami menggunakan ChatGPT.”
Ini bukan masalah sepele. Alat seperti ChatGPT dan Perplexity tengah menjadi alternatif yang memangkas proses mencari informasi. Pengguna tidak lagi diberi daftar tautan, tapi langsung mendapatkan jawaban.
Sebuah laporan dari Mary Meeker menyebut, ChatGPT mencapai 1 miliar pencarian harian hanya dalam 2 tahun — jauh lebih cepat dari Google yang butuh lebih dari satu dekade. Hal ini menjadi masalah besar, bukan karena algoritma Google lemah, tapi karena basis bisnisnya bergantung pada posisinya sebagai mesin pencari bawaan (default).
Tahun 2022, Google membayar lebih dari 20 miliar dolar AS kepada Apple demi menjadi mesin pencari bawaan di Safari. Pengadilan tengah meneliti, apa kesepakatan eksklusif ini melawan undang-undang antitrust. Tapi, sekalipun nantinya Google menang, masalah terbesar masih menunggu: pergeseran paradigma pencarian.
Iklan pencarian, yang merupakan sumber pendapatan terbesar Google (mencapai 50,7 miliar dolar AS pada kuartal terakhir), bergantung pada pengguna yang memang mencari sesuatu. Jika pengguna mulai bergeser ke teknologi lain yang bebas iklan dan lebih praktis, fondasi bisnis Google dapat goyah.
Perusahaan memang tengah bergeliat, misalnya dengan meluncurkan AI Overviews dan Gemini, tapi Google terperangkap paradoks: apabila jawaban diberika secara langsung, pengguna tidak lagi perlu “mengklik”—dan iklan pun tak dapat tampil. Hal ini menjadi masalah, apalagi para pesaing tak dibebani kepentingan periklanan yang sama.
Singkatnya, bukan pengadilan, tapi perilaku pengguna dan teknologi yang tengah bergeser menjadi ancaman terbesar Google.
Langkah Diam-diam Apple di Pengembangan AI
Selain Google, Apple juga tengah bergeliat, tapi pendekatannya berbeda.
WWDC tahun ini memang tak dibanjiri kejutan, kecuali tampilan “Liquid Glass”—bahasa desain yang dianggap kontroversial dan kadang disamakan, secara sinis, dengan Windows Vista. Pengumuman teknologi kecerdasan buatan (AI) Apple juga dianggap kurang bergengsi, sampai seorang analis menyebutnya “perbaikan biasa saja.”
Tapi di balik kesan biasa, terjadi sebuah langkah penting: Apple membuka Foundation Model-nya kepada pengembang.
Ini merupakan pergeseran signifikan. Dalam sejarahnya, Apple selalu menjaga teknologi intinya secara rahasia. Tapi kali ini, pihak luar dapat menggunakan large language model (LLM) buatan Apple — dan yang lebih luar biasa, proses implementasi dapat dimulai hanya dengan 3 baris kode.
Ini terjadi bukan tanpa perhitungan.
Bagi Apple, ukuran model memang bukan segalanya. Dalam ekosistemnya, yang paling penting adalah distribusi. Dengan lebih dari 1 miliar iPhone dan basis pengembang yang luas, Apple percaya teknologi AI ukuran sedang dapat berguna apabila diterapkan secara luas.
Singkatnya, Apple tengah bertaruh pada pendekatan “di mana-mana dan berguna”, bukan “paling unggul secara teknologi.” Dalam sejarahnya, Apple memang bukan yang pertama menemukan ponsel, jam pintar, atau tablet — tapi selalu mampu menyempurnakan dan mendominasi. Langkah ini mungkin merupakan cara Apple memasuki era AI secara matang, bukan demi menjadi nomor satu, tapi demi menjadi paling relevan.