Stay at home son

Fenomena Stay-at-Home Son Mengubah Peta Sosial

(Business Lounge – Entrepreneurship) Fenomena sosial yang berkembang di Amerika Serikat kini tengah menarik perhatian publik dan analis sosiologis: meningkatnya jumlah pria muda yang memilih untuk tetap tinggal di rumah orang tua mereka tanpa bekerja secara konvensional. Dalam laporan mendalam yang diterbitkan oleh The Wall Street Journal, tren ini dijuluki sebagai era “stay-at-home son”, sebuah realitas yang sebelumnya jarang mendapat sorotan namun kini semakin menonjol di tengah tantangan ekonomi dan pergeseran nilai-nilai budaya.

Dikutip dari The Wall Street Journal, salah satu figur yang menjadi sorotan adalah Brendan Liaw, mantan juara kuis televisi Jeopardy! yang kini tinggal bersama kedua orang tuanya di Houston, Texas. Liaw menghabiskan hari-harinya membantu mengurus rumah, menemani orang tuanya, dan sesekali menyiapkan makanan keluarga. Ketika ditanya soal pekerjaan tetap, ia mengaku sedang mempertimbangkan untuk kembali ke dunia akademis atau politik, tapi tidak merasa tergesa-gesa.

Menurut laporan yang sama, jumlah pria muda yang tinggal bersama orang tua mereka telah meningkat tajam sejak pandemi COVID-19. Sebuah studi dari Pew Research Center menunjukkan bahwa lebih dari separuh pria berusia 18 hingga 29 tahun di Amerika kini tinggal di rumah orang tua. Hal ini menandai tingkat tertinggi sejak era Depresi Besar tahun 1930-an. Namun yang membedakan situasi kini adalah aspek pilihan – banyak dari mereka tidak terpaksa, melainkan memilih untuk tidak bekerja demi merawat diri sendiri atau orang tua mereka, dan menikmati kenyamanan rumah tangga.

The Wall Street Journal menekankan bahwa fenomena ini tidak melulu didorong oleh kemalasan atau kegagalan ekonomi. Banyak dari pria muda ini memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan bahkan karier menjanjikan yang mereka tinggalkan secara sadar. Beberapa merasa tidak cocok dengan dinamika kerja kapitalistik saat ini, dan memilih untuk mengejar makna hidup yang lebih dalam atau mendekatkan diri pada keluarga.

Namun tren ini juga menimbulkan kontroversi. Beberapa pengamat mempertanyakan kontribusi ekonomi kelompok ini terhadap masyarakat. Selain itu, tekanan sosial dan stigma terhadap pria dewasa yang tidak bekerja dan tinggal di rumah menjadi tantangan tersendiri. Dalam budaya barat, kemandirian dan pekerjaan kerap dikaitkan dengan maskulinitas dan kesuksesan. Fenomena “stay-at-home son” menggoyahkan paradigma tersebut.

Lebih lanjut, The Wall Street Journal menyebutkan bahwa sejumlah orang tua menerima situasi ini dengan tangan terbuka. Dalam kasus Liaw, orang tuanya bahkan merasa lebih tenang karena bisa menghabiskan waktu bersama anak semata wayangnya. Fenomena ini juga memunculkan diskusi baru tentang peran keluarga, nilai pengasuhan jangka panjang, serta redefinisi “kesuksesan” dalam masyarakat modern.

Relevansi di Indonesia

Di Indonesia, fenomena serupa mulai terlihat, meski belum mendapatkan penamaan yang spesifik seperti di Amerika. Budaya tinggal bersama orang tua hingga usia dewasa sebenarnya sudah lumrah dalam tradisi Asia, termasuk Indonesia. Namun pergeseran muncul ketika generasi muda yang tinggal di rumah tidak aktif secara ekonomi, bukan karena tidak mampu, tetapi karena alasan pilihan hidup.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat peningkatan jumlah pemuda usia 20–30 tahun yang tidak aktif bekerja namun tidak masuk kategori pengangguran karena tidak sedang mencari kerja. Di media sosial, istilah seperti “anak rumahan”, “anak mami”, atau “anak sultan rebahan” sering menjadi bahan candaan dan kritik sosial. Namun realitasnya bisa lebih kompleks.

Sebuah studi oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) tahun 2024 menemukan bahwa pria muda yang tinggal bersama orang tua sering kali berperan aktif dalam membantu urusan domestik dan merawat orang tua lansia. Hal ini menunjukkan bahwa tinggal bersama orang tua bukan hanya soal ketergantungan finansial, tetapi juga tanggung jawab keluarga yang lebih besar.

Faktor ekonomi tentu berperan besar, terutama pasca pandemi. Biaya hidup yang meningkat, harga rumah yang melambung, serta tekanan di dunia kerja membuat banyak anak muda memilih untuk menunda kemandirian finansial. Namun sebagaimana disebut dalam laporan The Wall Street Journal, aspek pencarian makna hidup dan kenyamanan emosional juga menjadi alasan.

Fenomena ini menantang stereotip gender di Indonesia yang masih kuat menuntut pria untuk menjadi tulang punggung keluarga. Di banyak daerah, seorang laki-laki yang tinggal di rumah tanpa pekerjaan tetap bisa dipandang kurang “jantan” atau tidak bertanggung jawab. Padahal, jika dianalisis lebih dalam, banyak dari mereka yang menjalani peran domestik seperti merawat orang tua, mengurus rumah tangga, atau bahkan menjadi penjaga nilai-nilai keluarga.

Pemerintah Indonesia melalui berbagai kementerian telah meluncurkan program-program untuk mendukung generasi muda agar lebih mandiri dan produktif. Misalnya, program Kartu Prakerja yang menyediakan pelatihan dan insentif bagi pencari kerja, serta program subsidi perumahan untuk membantu akses kepemilikan rumah.

Namun, menurut pengamat sosial dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rini Sulistyowati, efektivitas program tersebut masih terbatas jika tidak disertai perubahan budaya dan dukungan keluarga. Ia menekankan pentingnya pendekatan holistik yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan psikologis dalam menangani fenomena stay-at-home son.

Di media sosial Indonesia, fenomena ini juga memunculkan dua kutub, mereka yang membela dengan alasan kesehatan mental dan kerapuhan ekonomi, dan mereka yang mengecam sebagai bentuk kemunduran produktivitas. Fenomena ini juga mendapat sorotan dari dunia usaha, karena banyak perusahaan kesulitan mencari tenaga kerja dari generasi muda yang disebut “terlalu selektif” atau “tidak tahan stres”.

Redefinisi produktivitas dan maskulinitas

Apa yang dimulai sebagai fenomena domestik kini menjadi perdebatan global tentang redefinisi peran pria muda dalam masyarakat. “Stay-at-home son” mungkin terlihat seperti kemunduran dari ideal kemandirian dan kerja keras, tapi juga bisa dibaca sebagai bentuk protes diam terhadap sistem ekonomi yang dianggap tidak adil atau tidak memadai.

Fenomena ini juga membuka jalan bagi diskusi baru tentang maskulinitas. Jika dulu pria dinilai dari kekuatan fisik, penghasilan, atau jabatan, kini nilai-nilai seperti kelekatan keluarga, kepedulian emosional, dan kesediaan merawat orang tua menjadi penting. Seorang “stay-at-home son” bisa saja menjalankan peran laki-laki dalam bentuk yang lebih lembut dan relasional.

Dalam wawancara dengan The Wall Street Journal, Brendan Liaw mengatakan bahwa ia tidak merasa gagal, meski tidak bekerja secara formal. Baginya, hidup bersama orang tua, membantu mereka, dan menjaga tradisi keluarga merupakan sesuatu yang bermakna dan memuaskan.

Di Indonesia, narasi seperti ini masih jarang terdengar. Namun perubahan perlahan terjadi. Semakin banyak konten media sosial yang menormalisasi peran laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga, merawat orang tua, dan mengambil jeda dari kehidupan kerja yang melelahkan. Meski tidak semua setuju, ada sinyal bahwa masyarakat mulai lebih terbuka terhadap definisi baru tentang peran dan makna hidup.