Verizon

Verizon Longgarkan Kebijakan DEI Demi Restu Merger

(Business Lounge – Global News) Langkah drastis dilakukan oleh Verizon dalam beberapa pekan terakhir, ketika perusahaan raksasa telekomunikasi Amerika Serikat itu memilih untuk mengendorkan komitmennya terhadap kebijakan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi—atau DEI (Diversity, Equity, and Inclusion)—demi mengamankan restu regulator atas akuisisi senilai $10 miliar. Keputusan tersebut terjadi di tengah ketegangan politik yang meningkat terhadap inisiatif-inisiatif DEI di sektor korporasi, dan memberi sinyal bahwa lanskap regulasi kini semakin dipengaruhi oleh tekanan ideologis, bukan semata analisis ekonomi atau teknis.

Dalam laporan eksklusif yang diterbitkan oleh The Wall Street Journal, disebutkan bahwa Verizon bersedia merevisi dan memangkas sebagian besar program DEI-nya sebagai bagian dari kompromi untuk mendapatkan persetujuan dari Komisi Komunikasi Federal (FCC). Brendan Carr, seorang komisaris FCC dari Partai Republik yang dikenal vokal menentang penerapan DEI secara sistemik di sektor publik maupun swasta, disebut memberikan lampu hijau terhadap rencana merger Verizon setelah perusahaan menyetujui serangkaian penyesuaian.

Sumber internal yang diwawancarai oleh Bloomberg menyatakan bahwa perundingan antara pihak Verizon dan kantor Carr berlangsung intens selama lebih dari dua bulan, dengan fokus utama pada peninjauan kembali kebijakan internal terkait rekrutmen, pelatihan keanekaragaman budaya, serta inisiatif pendanaan terhadap komunitas minoritas. Sebelumnya, Verizon termasuk dalam jajaran perusahaan Fortune 100 yang secara aktif mempromosikan DEI, bahkan mengalokasikan anggaran miliaran dolar untuk pelatihan dan program sosial berbasis keadilan rasial dan gender pasca-protes George Floyd tahun 2020.

Namun iklim politik di Washington telah berubah. Dalam beberapa bulan terakhir, muncul tekanan besar dari anggota legislatif konservatif dan kelompok-kelompok advokasi anti-DEI, yang menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah menciptakan diskriminasi terbalik, membebani struktur perusahaan, dan menyimpang dari prinsip meritokrasi. Dalam sesi dengar pendapat di Kongres awal tahun ini, Carr menyatakan bahwa DEI telah berubah menjadi “agenda ideologis yang mengancam prinsip netralitas institusional dalam sektor publik dan swasta.”

Menurut Reuters, Verizon awalnya mencoba mempertahankan program DEI-nya dengan argumen bahwa keberagaman dalam tim kerja telah meningkatkan produktivitas, loyalitas pelanggan, serta posisi perusahaan dalam kompetisi global. Namun tekanan dari regulator dan ancaman bahwa merger senilai $10 miliar—yang melibatkan akuisisi aset telekomunikasi strategis dari perusahaan regional—akan diblokir membuat perusahaan mengubah strategi. Sumber-sumber dari internal FCC mengonfirmasi bahwa Carr mengajukan permintaan tertulis kepada Verizon agar melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh kebijakan internal berbasis DEI dan menghentikan program-program yang bersifat eksklusif bagi kelompok tertentu.

Langkah Verizon tersebut disebut sebagai preseden baru dalam relasi antara sektor korporasi dan lembaga pengatur di bawah pemerintahan yang semakin terpolarisasi. Dalam editorialnya, Financial Times menyoroti bahwa perkembangan ini mencerminkan pergeseran yang tajam dalam lanskap peraturan bisnis, di mana pertimbangan politik dan budaya mulai mengungguli pertimbangan pasar murni. Dulu, merger sebesar ini biasanya dikaji dari sisi persaingan usaha dan kepentingan publik. Kini, faktor ideologis seperti penolakan terhadap DEI menjadi penentu utama.

Beberapa kelompok hak sipil dan serikat pekerja langsung mengkritik langkah Verizon. Dalam pernyataan yang dikutip oleh NPR, Human Rights Campaign menyebut bahwa keputusan untuk mencabut atau melemahkan komitmen terhadap DEI merupakan “kemunduran moral dan strategis.” Mereka menilai bahwa perusahaan kini justru membuka pintu bagi diskriminasi sistemik yang lebih luas, serta melemahkan semangat keterwakilan dalam dunia kerja. National Urban League bahkan menuduh FCC telah menyalahgunakan kewenangan regulatif untuk mendorong agenda politik.

Sebaliknya, kelompok konservatif menyambut baik perkembangan ini. American Enterprise Institute, dalam wawancara dengan Fox Business, menyebut bahwa langkah Verizon menunjukkan bahwa perusahaan “akhirnya kembali fokus pada efisiensi, layanan pelanggan, dan kinerja pasar, bukan agenda sosial progresif.” Mereka menilai bahwa DEI telah menjadi bentuk “corporate overreach” yang tidak hanya boros biaya, tapi juga menciptakan ketegangan internal.

Merger senilai $10 miliar ini melibatkan pembelian jaringan regional yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi kecil di wilayah Barat Daya AS. Menurut laporan CNBC, akuisisi ini akan memperkuat posisi Verizon dalam penyediaan jaringan 5G, memperluas jangkauan broadband di wilayah pedesaan, dan meningkatkan efisiensi operasional. Para analis memperkirakan bahwa merger ini akan memberikan tambahan pendapatan tahunan sebesar $1,2 miliar dalam lima tahun ke depan, dengan sinergi biaya yang signifikan.

Namun yang menarik, dalam dokumen pengajuan resmi ke FCC, Verizon menyisipkan bagian baru yang menyatakan bahwa perusahaan akan “menilai ulang secara menyeluruh seluruh kebijakan SDM dan keterlibatan sosial yang didasarkan pada kategori identitas.” Ini merupakan perubahan redaksional yang signifikan dari pernyataan mereka tahun lalu, di mana perusahaan menyebut DEI sebagai “komitmen tak tergoyahkan.”

Dalam wawancara dengan Politico, seorang staf senior di FCC mengatakan bahwa kesediaan Verizon untuk berubah menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki leverage besar dalam perundingan ini. “Mereka tahu bahwa persetujuan regulator sangat penting, dan mereka tidak ingin mempertaruhkan peluang merger hanya demi mempertahankan kebijakan internal yang semakin tidak populer secara politik,” kata sumber tersebut.

Di sisi lain, CEO Verizon Hans Vestberg mencoba menyeimbangkan posisi. Dalam memo internal yang bocor ke The New York Times, Vestberg menyatakan bahwa perusahaan tetap “berkomitmen pada prinsip inklusi dan keadilan,” tetapi mengakui bahwa pendekatannya perlu “disesuaikan dengan dinamika eksternal dan tuntutan regulatif.” Dia juga menekankan pentingnya merger ini bagi pertumbuhan jangka panjang perusahaan dan daya saing nasional di bidang telekomunikasi.

Para pengamat menyebut bahwa langkah Verizon ini bisa menjadi efek domino bagi perusahaan lain. The Atlantic mencatat bahwa keputusan ini bisa diikuti oleh korporasi besar lain yang ingin menghindari konfrontasi politik, terutama di tengah meningkatnya pengawasan dari negara bagian konservatif seperti Texas dan Florida yang telah meluncurkan penyelidikan terhadap kebijakan DEI di kampus-kampus dan perusahaan multinasional.

Dalam jangka pendek, Verizon mungkin berhasil memenangkan restu merger. Namun dalam jangka panjang, keputusan ini membuka pertanyaan besar tentang independensi korporasi dari tekanan politik, serta masa depan nilai-nilai inklusi dalam dunia kerja modern. Banyak investor institusional seperti BlackRock dan Vanguard sebelumnya mendukung inisiatif DEI sebagai bagian dari kebijakan ESG (environmental, social, and governance). Namun kini, pendekatan itu tampaknya mengalami tekanan serius dari dua arah sekaligus: regulator konservatif dan opini publik yang terpolarisasi.

Dalam laporan pasar yang diterbitkan oleh Morningstar, disebutkan bahwa saham Verizon naik 3,2% dalam dua hari setelah pengumuman restu merger, menunjukkan bahwa pasar menyambut baik akuisisi ini meski diwarnai kontroversi. Namun analis juga mengingatkan bahwa citra merek bisa terdampak negatif, terutama di kalangan pelanggan muda dan urban yang cenderung progresif. “Kejelasan jangka pendek bisa menjadi kerugian reputasional jangka panjang,” tulis laporan tersebut.

Keputusan FCC di bawah Brendan Carr juga menuai kritik tajam dari kelompok privasi dan netralitas internet. Mereka menuduh bahwa lembaga tersebut telah berubah dari pengawas teknis menjadi alat politik. Dalam wawancara dengan Vox, mantan komisioner FCC Jessica Rosenworcel menyatakan bahwa ini adalah “penyalahgunaan mandat yang seharusnya fokus pada aksesibilitas dan inovasi.”

Untuk saat ini, merger Verizon telah disetujui secara formal. Namun kisah ini belum berakhir. Beberapa kelompok masyarakat sipil tengah mempertimbangkan gugatan hukum dengan dasar bahwa perubahan kebijakan DEI sebagai syarat merger bisa melanggar prinsip non-diskriminasi yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan federal. Jika gugatan ini berlanjut, maka kasus Verizon bisa menjadi medan uji baru bagi batas kekuasaan regulator atas nilai-nilai internal perusahaan.

Dalam dunia bisnis yang semakin digerakkan oleh dinamika sosial dan tekanan politik, keputusan Verizon ini adalah refleksi dari zaman yang berubah. Ketika merger senilai miliaran dolar bergantung pada kesediaan sebuah perusahaan untuk mengorbankan prinsip inklusi, maka pertanyaannya bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tetapi soal nilai-nilai apa yang masih bisa dipertahankan.