TikTok

TikTok Yakinkan Pengiklan Soal Masa Depan

(Business Lounge – Technology) Di tengah tekanan politik yang meningkat dan ancaman pelarangan di Amerika Serikat, TikTok justru mengambil langkah proaktif untuk menenangkan pasar. Pada Selasa malam di New York City, perusahaan media sosial asal Tiongkok ini menyelenggarakan acara eksklusif untuk para pengiklan. Acara bertajuk “TikTok: Out of Phone” itu bertujuan untuk membuktikan bahwa platform tersebut tidak hanya masih beroperasi seperti biasa, tetapi juga terus berkembang dan berinovasi sebagai ruang pemasaran digital yang vital.

Menurut laporan The Wall Street Journal, para eksekutif TikTok tampil percaya diri dan menekankan bahwa perusahaan tetap “optimis terhadap masa depan.” Pernyataan itu disampaikan di hadapan puluhan perwakilan brand besar dan agensi periklanan ternama. “Kami tahu ada banyak pembicaraan di luar sana, tapi yang kami fokuskan adalah bagaimana membangun ekosistem kreatif yang terus berkembang,” ujar Sofia Hernandez, kepala pemasaran bisnis global TikTok.

TikTok saat ini tengah menghadapi kemungkinan larangan di AS setelah Kongres meloloskan undang-undang yang memberi batas waktu sembilan bulan kepada ByteDance, perusahaan induk TikTok asal Tiongkok, untuk menjual platform tersebut atau menghadapi blokir penuh di negara itu. Namun, dalam acara tersebut, perusahaan memilih untuk tidak membahas secara langsung dinamika hukum dan geopolitik. Alih-alih, mereka menampilkan konten viral, testimoni pengguna, dan studi kasus dari brand-brand besar yang mengandalkan TikTok sebagai alat pemasaran utama mereka.

Bloomberg mencatat bahwa acara ini merupakan bagian dari strategi komunikasi TikTok untuk mempertahankan kepercayaan pasar iklan digital, yang menyumbang lebih dari 90% pendapatan mereka. Dengan lebih dari 170 juta pengguna aktif di Amerika Serikat, TikTok menjadi lahan subur bagi brand yang ingin menjangkau generasi muda, terutama Gen Z dan milenial muda. Namun ancaman larangan yang menggantung menyebabkan beberapa brand menahan diri dari belanja iklan tambahan, sementara yang lain mulai menyusun rencana kontinjensi.

TikTok berupaya meredakan kekhawatiran tersebut dengan menunjukkan data-data kuat tentang dampak kampanye iklan di platform mereka. Dalam presentasinya, perusahaan menampilkan hasil riset terbaru yang menunjukkan bahwa iklan TikTok 1,5 kali lebih efektif dalam mendorong keterlibatan (engagement) dibandingkan platform video lain. Mereka juga menyoroti kemitraan dengan perusahaan periklanan besar seperti Publicis dan WPP, serta menggarisbawahi bahwa algoritma mereka terus disempurnakan untuk menciptakan pengalaman pengguna yang lebih relevan dan aman.

Dalam laporan CNBC, sejumlah pengiklan yang hadir di acara tersebut menyatakan bahwa mereka menghargai transparansi TikTok dan tetap tertarik untuk melanjutkan kerja sama, meskipun mereka tidak menutup mata terhadap risiko regulasi. “Kami tidak bisa mengabaikan jangkauan TikTok yang luar biasa besar, terutama di kalangan anak muda. Kami akan tetap berinvestasi di platform ini selama masih tersedia,” kata salah satu direktur pemasaran dari brand minuman global.

Sebagai bagian dari acara, TikTok juga menampilkan program barunya yang disebut “Out of Phone,” yaitu inisiatif membawa konten TikTok ke luar perangkat ponsel—ke layar digital publik seperti billboard, toko ritel, dan tempat hiburan. Dengan cara ini, TikTok mencoba memperluas jangkauan merek ke ekosistem offline, sebuah strategi yang menurut analis dari Financial Times dapat membantu mengamankan pendapatan iklan mereka jika terjadi gangguan digital akibat tekanan geopolitik.

TikTok juga mencoba menekankan sisi positif dari komunitas kreatornya, yang kini telah menjadi penggerak ekonomi kreatif baru. Perusahaan menyebut lebih dari 7 juta bisnis kecil di AS menggunakan platform ini untuk menjangkau konsumen. Banyak di antaranya berhasil tumbuh pesat hanya dengan mengandalkan kampanye organik dan dukungan dari komunitas TikTok. “Kami bukan sekadar aplikasi hiburan. Kami adalah enabler ekonomi,” ujar Blake Chandlee, presiden urusan global bisnis TikTok.

Namun, realitas yang dihadapi TikTok tidak bisa diabaikan begitu saja. Undang-undang yang telah ditandatangani Presiden Joe Biden pada April lalu mewajibkan ByteDance untuk menjual TikTok dalam waktu sembilan bulan, dengan kemungkinan perpanjangan tiga bulan jika proses jual-beli sedang berlangsung. Jika tidak ada kesepakatan dalam batas waktu tersebut, TikTok bisa dilarang beroperasi di AS, menjadikannya salah satu intervensi teknologi paling signifikan dalam sejarah modern.

ByteDance sendiri menyatakan bahwa mereka tidak berniat menjual TikTok dan sedang bersiap menantang undang-undang tersebut di pengadilan. Menurut Reuters, gugatan hukum bisa memakan waktu bertahun-tahun, sehingga memberikan TikTok kesempatan untuk tetap beroperasi selama proses berlangsung. Hal ini membuat banyak pengiklan merasa ragu, tetapi juga membuka ruang untuk TikTok membuktikan stabilitasnya.

Para analis memperkirakan bahwa para pesaing TikTok—seperti Instagram Reels, YouTube Shorts, dan Snapchat—sedang bersiap mengambil pangsa pasar jika larangan benar-benar diberlakukan. Namun dalam praktiknya, belum ada platform lain yang mampu menandingi kekuatan algoritma dan tingkat keterlibatan TikTok secara konsisten. Bahkan kampanye pemilu AS 2024 diprediksi tetap akan memanfaatkan TikTok sebagai salah satu saluran komunikasi, meskipun dengan batasan-batasan tertentu.

TikTok telah lama menolak tuduhan bahwa mereka menjadi alat pengawasan pemerintah Tiongkok, dan mengklaim bahwa data pengguna di AS disimpan secara terpisah dalam sistem yang dikelola Oracle di bawah program yang disebut “Project Texas.” Namun, kekhawatiran tetap ada, terutama di kalangan legislator AS yang menyoroti potensi pengaruh Tiongkok terhadap opini publik melalui algoritma yang tidak transparan.

Bagi pengiklan, fokus utama bukan lagi sekadar pada reputasi, tetapi pada kontinuitas platform. Menurut Insider Intelligence, belanja iklan di TikTok di AS mencapai $8 miliar pada 2023 dan diperkirakan bisa tumbuh menjadi $11 miliar pada akhir 2024, jika tidak ada gangguan regulasi. Potensi tersebut membuat banyak brand bersikap pragmatis, selama TikTok masih tersedia, mereka akan tetap hadir.

Dalam wawancara dengan The Verge, salah satu VP dari agensi media global menyatakan bahwa acara di New York ini berhasil membangun kembali kepercayaan. “Mereka tampil yakin, terstruktur, dan tetap fokus pada misi mereka: memberdayakan komunitas kreator dan brand. Itu memberi kami alasan untuk tetap lanjut,” katanya.

TikTok perlu lebih dari sekadar optimisme publik untuk mempertahankan posisinya. Mereka harus menghadapi uji hukum, tekanan diplomatik, serta kemungkinan persaingan yang semakin ketat. Namun, jika strategi komunikasi mereka berhasil dan komunitas pengguna tetap setia, TikTok mungkin akan tetap menjadi kekuatan utama dalam industri pemasaran digital global.

Apa pun hasil akhir dari sengketa hukum dan tekanan politik ini, acara TikTok di New York City menandai satu hal penting, platform ini tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Mereka tidak hanya mencoba bertahan, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka masih punya mimpi besar, dan yang lebih penting lagi, masih punya banyak pihak yang percaya pada mereka.