Rio Tinto

Pengiriman Bijih Besi Rio Tinto Anjlok Akibat Siklon

(Business Lounge – Global News) Raksasa pertambangan global Rio Tinto melaporkan penurunan tajam dalam volume pengiriman bijih besi kuartal pertama 2025, menyusul gangguan cuaca ekstrem di wilayah Pilbara, Australia Barat. Dalam laporan yang dirilis dan dikutip oleh Bloomberg, Reuters, dan Financial Times, perusahaan hanya mampu mengirim 70,7 juta metrik ton bijih besi selama periode tersebut—turun sekitar 11 persen dibandingkan kuartal sebelumnya dan 5 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Gangguan terbesar datang dari serangkaian siklon tropis yang melanda pesisir barat Australia, termasuk siklon Ilsa dan siklon Jasper, yang memaksa penghentian sementara operasi pelabuhan dan kegiatan penambangan di beberapa lokasi. Wilayah Pilbara, yang menjadi jantung produksi bijih besi Rio Tinto, dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan terkena dampak cuaca ekstrem selama musim panas belahan bumi selatan.

Dalam pernyataan resmi yang dikutip oleh The Wall Street Journal, Rio Tinto menekankan bahwa penurunan volume bukan disebabkan oleh kendala struktural dalam operasional, melainkan akibat kejadian iklim yang berada di luar kendali perusahaan. Meski begitu, para analis memperingatkan bahwa penurunan ini bisa memengaruhi kinerja keuangan kuartalan perusahaan, terutama jika harga bijih besi global tidak cukup tinggi untuk mengompensasi penurunan volume.

Harga bijih besi sempat melonjak tipis di pasar global usai laporan tersebut dipublikasikan, karena pasar khawatir pasokan dari Australia, yang menyumbang lebih dari separuh pasokan bijih besi dunia, akan tetap terganggu. Menurut Bloomberg Commodity Index, harga bijih besi di pelabuhan Qingdao, Tiongkok naik menjadi di atas $110 per ton setelah laporan Rio Tinto dirilis, mencerminkan sensitivitas pasar terhadap ketegangan pasokan jangka pendek.

Meski mengalami penurunan volume, Rio Tinto tetap mempertahankan target pengiriman tahunan antara 323 hingga 338 juta ton bijih besi. Namun, analis dari UBS dan Goldman Sachs menilai target tersebut kini menjadi lebih menantang untuk dicapai tanpa adanya pemulihan operasional yang agresif pada kuartal kedua. Mereka juga mencatat bahwa gangguan cuaca yang terus-menerus selama beberapa tahun terakhir telah menjadi faktor risiko permanen dalam bisnis pertambangan di Australia.

Selain dampak cuaca, Rio Tinto juga tengah menghadapi tantangan lain, termasuk tekanan biaya yang meningkat akibat inflasi jasa pertambangan, upah pekerja, dan logistik. Dalam laporan sebelumnya, perusahaan telah memperingatkan bahwa biaya produksi per ton bijih besi kemungkinan akan lebih tinggi dari proyeksi awal tahun. Faktor-faktor ini berpotensi menekan margin keuntungan, terutama jika harga global tidak stabil dalam beberapa bulan mendatang.

Di sisi permintaan, pasar Tiongkok—yang menyerap sekitar 70 persen bijih besi global—masih menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang tidak merata. Reuters mencatat bahwa sektor konstruksi dan properti di Tiongkok tetap lemah meskipun adanya stimulus tambahan dari Beijing, sementara permintaan dari sektor manufaktur juga belum sepenuhnya pulih. Hal ini menambah ketidakpastian terhadap outlook jangka pendek harga dan volume ekspor bijih besi.

Namun, Rio Tinto tetap menunjukkan kepercayaan diri dalam prospek jangka panjang. CEO Jakob Stausholm, dalam wawancara dengan Financial Times, menyebut bahwa proyek-proyek besar seperti Gudai-Darri—tambang otomatis baru mereka di Pilbara—akan membantu meningkatkan efisiensi dan ketahanan pasokan di masa depan. Rio juga berupaya memperluas diversifikasi energi dan logistik untuk mengurangi ketergantungan pada satu jalur pelabuhan atau satu sumber bahan bakar.

Pasar saham bereaksi negatif terhadap laporan kuartalan tersebut. Saham Rio Tinto yang terdaftar di London turun hampir 3 persen dalam perdagangan pagi setelah pengumuman, sementara investor mengantisipasi apakah perusahaan lain seperti BHP dan Fortescue akan menghadapi gangguan serupa. Sebagian analis menyebut bahwa laporan Rio Tinto bisa menjadi indikasi bahwa gangguan iklim akan menjadi tantangan sistemik bagi rantai pasok mineral dunia, bukan hanya peristiwa satu kali.

Secara keseluruhan, laporan pengiriman kuartal pertama Rio Tinto menunjukkan rapuhnya ketergantungan global terhadap pusat produksi komoditas di tengah meningkatnya ketidakpastian iklim. Meskipun perusahaan tetap optimistis terhadap pemulihan dan mempertahankan panduan tahunan mereka, tekanan dari cuaca ekstrem, biaya produksi, dan pasar ekspor yang fluktuatif menjadi risiko utama dalam beberapa bulan mendatang.