(Business Lounge Journal – News and Insight)
Startup Genome baru saja merilis The Global Startup Ecosystem Report. Dengan tema kali ini Blue Economy Edition yang menyoroti para startup dunia di bidang kelautan.
Laporan ini mengakui bahwa kondisi dunia saat ini ada pada keadaan tidak stabil sebagai dampak berkelanjutan dari COVID-19 serta dampaknya terhadap rantai pasokan, diikuti juga dampak perang di Ukraina yang mengakibatkan perpindahan penduduk, serta adanya cuaca ekstrim dan banjir.
Di tengah kondisi demikian, maka laut menjadi salah satu sumber kehidupan yang patut kita hargai. Lautan menghasilkan bahan makanan, lautan memberi energi, serta oksigen. Laut juga sebagai penyerap karbon terbesar di planet ini yang dapat membantu mengatur suhu.
Sehingga penting sekali untuk mengevaluasi kembali bagaimana kita berinteraksi dengan lautan kita dan menyadari betapa berharganya mereka.
Data menunjukkan bahwa sekitar 680 juta orang tinggal di daerah pesisir dataran rendah, hampir dua miliar orang tinggal di separuh kota-kota besar dunia yang berada di pesisir, hampir setengah dari populasi dunia (3,3 miliar) yang bergantung pada ikan untuk protein, dan hampir 60 juta orang bekerja di perikanan dan sektor akuakultur di seluruh dunia.
Membahas dunia startup, maka terdapat potensi yang belum dimanfaatkan pada Blue Economy. Sebagai subsektor yang bersinggungan dengan Cleantech, AI & Big Data, Agtech & New Food, dan Transportasi, serta lainnya, Ekonomi Biru memiliki banyak ruang untuk inovasi dan ruang bagi investor untuk mendorong perubahan dan menuai keuntungan yang seimbang.
Pada laporan yang baru dirilis ini, maka dapat dilihat status aktivitas startup saat ini dan investasi terkait Ekonomi Biru.
Hingga kini, Eropa masih memimpin dalam perkembangan penanaman saham atas startup Ekonomi Biru secara global dengan memiliki 39% saham, dan menghasilkan jumlah tertinggi dari kesepakatan tahap awal. Untuk sektor terbanyak dalam ekonomi biru yang paling banyak memperoleh investasi dari Venture Capital adalah akuakultur, energi kelautan, dan transportasi kelautan.
Sedangkan Asia berada di tempat ke-3 dengan 15% kepemilikan saham. Di tempat kedua adalah Amerika Utara dengan 31% kepemilikan saham.
Dari semester 1 tahun 2020 hingga semester 1 tahun 2022, jumlah global transaksi Seri A tumbuh 80%. Sedangkan jumlah total dolar pendanaan Seri B+ meningkat 190%, dengan jumlah transaksi naik 20%.
Dari semester 1 tahun 2021 hingga semester 1 tahun 2022, median ukuran kesepakatan Seri A meningkat 47%. Sedangkan median ukuran kesepakatan Seri B+ tumbuh 112%.
Lalu startup mana yang paling banyak mendapatkan pendanaan? Untuk pertama kalinya, bukan startup di Silicon Valley yang mendapatkan pendanaan tertinggi. Melainkan startup di Singapura. Beberapa startup yang ada di Singapura, seperti Shiok Meats di Singapura. Ini adalah perusahaan budidaya daging krustasea (udang-udangan) pertama di dunia, dan perusahaan budidaya makanan laut pertama di Asia Tenggara di Singapura. Perusahaan ini mengumpulkan $12,6 juta (sekitar 176 miliar rupiah) pada pendanaan Seri A pada tahun 2020 dan tambahan dana sebesar $10 juta (140 miliar rupiah) pada tahun 2021. Selain itu ada juga Umami Meats di Singapura yang mengumpulkan pendanaan sebesar $ 2,4 juta (sekitar 36 miliar rupiah) pada Maret 2022. Umami Meats adalah startup yang juga mengembangkan budidaya makanan laut. Ada juga startup akuakultur Umitron di Singapura.
Berada pada tempat ke-2 hingga ke -5 adalah para startup di Silicon Valley, Oslo (Norwegia), Amsterdam-Delta (Belanda), dan London (Inggris).
Beberapa startup lainnya yang juga mendapatkan pendanaan besar adalah startup teknologi pertanian Wildtype di San Fransisco, startup pengembang layanan inspeksi drone SkySpecs di Michigan, dan startup yang mengembangkan B2B platform untuk menolong petani dalam bernegosiasi dengan pembeli Captain Fresh di Bangalore, India.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sebagaimana pernah diberitakan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga sedang mengusung lima program Ekonomi Biru untuk mengelola sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Perluasan kawasan konservasi dengan target 30 persen dari wilayah perairan Indonesia, penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, dan pengembangan budidaya laut, pesisir dan darat yang ramah lingkungan, penataan pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau kecil, serta pengelolaan sampah laut melalui program Bulan Cinta Laut.
Peran startup pun menjadi sangat penting dalam mendukung digitalisasi perikanan budidaya di Indonesia.
Beberapa startup yang juga berkecimpung di bidang perikanan, adalah eFishery yang membantu pembudidaya ikan dan udang dengan pemberi pakan otomatis yang dapat dikontrol melalui smartphone. Ada juga Jala Tech yang membantu pembudidayaan udang dengan teknologi yang dapat membantu memantau kualitas air, memprediksi pertumbuhan udang, dan estimasi hasil budidaya.
Lainnya adalah Startup Aruna yang membantu menyalurkan produk perikanan dari nelayan Indonesia ke pasar domestik dan ekspor. Startup Growpal yang menyediakan paltform digital untuk mempertemukan pelaku usaha perikanan, pendana, dan konsumen. Lainnya adalah startup Banoo yang menawarkan teknologi yang mampu meningkatkan jumlah oksigen terlarut dalam air, sehingga pertumbuhan ikan bisa dan tentunya panen akan lebih cepat.
Kita harapkan para startup Indonesia yang terkait dengan Ekonomi Biru juga semakin berkembang.