(Business Lounge – World News) – Belum lama ini, peluncuran jalur kereta baru di kawasan Xinjiang, Cina, memang bertujuan untuk mempromosikan betapa pesatnya pertumbuhan di daerah tersebut. Namun, ledakan bom yang terjadi sehari sebelum pembukaan menyoroti adanya perpecahan etnis yang gagal dijembatani oleh pemerintah.
Ledakan tersebut menewaskan 3 orang dan melukai 79 orang lainnya membuat polisi paramiliter dan kendaraan lapis baja memperketat pengamanan di sekitar stasiun pada pekan lalu.
Menurut pemerintah Cina, kelompok separatis dan teroris merupakan otak berada di balik ledakan tersebut.
Xinjiang adalah kawasan yang kaya minyak dan sumber daya alam lain dan berbatasan langsung dengan Asia Tengah. Selama berpuluh-puluh tahun, kekuasaan Beijing atas kawasan ini mendapatkan perlawanan dari suku Uighur, bangsa pribumi dari rumpun Turki yang mayoritas beragama Islam.
Selain meningkatkan pengamanan, Beijing telah lama mengembangkan perekonomian Xinjiang demi lebih mengintegrasikan kawasan itu ke negara Cina dan mencapai situasi damai. Strategi ini serupa dengan strategi yang digunakan di Tibet, kawasan terpencil dan kaya sumber daya lain yang masyarakatnya dipisahkan oleh konflik etnis dan agama.
Meskipun perekonomian Cina secara keseluruhan melambat, Xinjiang terus mencatatkan pertumbuhan dua digit. Hal tersebut terlihat jelas di Urumqi, kota yang dipenuhi blok rumah susun dan penjual buah-buahan.
Mobil impor lewat di jalan, dan bir Belgia tersedia di sejumlah toko. Sejumlah anggota kelas menengah Uighur bekerja di kantor pemerintahan dan berharap anak-anaknya dapat belajar bahasa Mandarin untuk masa depan lebih baik.
Pembangunan jalan raya, jalan kereta, jalan raya, dan juga infrastruktur transportasi membuat Xinjiang secara fisik kian terhubung dengan wilayah Cina lainnya. Namun, pengaruhnya terhadap hubungan antara suku Han, yang merupakan suku mayoritas di Cina dan suku Uighur di Urumqi dan tempat lain tidak banyak.
Reza Hasmath, pakar politik Cina dari University of Oxford berpendapat “pembangunan berbasis infrastruktur belum berhasil meningkatkan hubungan antara suku Han dan Uighur,”. Ia juga berpendapat, minimnya interaksi menghambat integrasi dan memperburuk perbedaan pandangan.
Reza Hasmath dan akademisi lain, beserta warga Uighur di Urumqi, mengatakan banyak program dari merintah yang lebih menguntungkan suku Han di kawasan tersebut.
Ujung-ujungnya, banyak warga Uighur yang akhirnya memandang negatif suku Han karena kaum itu dianggap lebih unggul dan mengeksploitasi kekayaan alam kawasan tersebut. Isu agama kian mempertajam perbedaan. Sejumlah umat Islam mengecam pemerintah karena menjatuhkan sejumlah larangan seperti pembangunan masjid dan pelarangan ritual agama lainnya.
Ketegangan memanas pada tahun 2009 saat konflik Han dan Uighur memicu bentrokan yang menyebabkan tewasnya hampir 200 orang.
Urumqi kini menjadi kota yang terpecah-belah. Untuk menggambarkan perpecahan etnis, seorang siswa dari Uighur berkata: “Mereka tak memasuki wilayah kami, dan demikian pula sebaliknya dengan kami.”
Fanny Sue/VM/BL-WSJ
Editor : Fanya Jodie
Foto : ANTARA FOTO/REUTERS/CCTV/Handout via Reuters