(Business Lounge – Business Today) – Dampak kenaikan harga barang dan jasa memang dirasakan oleh masyarakat di Indonesia. Keadaan dimana kenaikan harga barang dan jasa belakangan ini, rupanya memaksa banyak warga untuk berhemat.
Seperti Zainal, seorang penjual nasi goreng di Jakarta, mengaku kesulitan mengurangi pengeluarannya. Jumlah nasi goreng yang dijualnya juga berkurang karena orang lebih memilih makan di rumah dengan alasan berhemat.
“Pendapatan saya berkurang sekarang,” ujar Zainal. Pendapatannya kini sekitar Rp190 ribu per hari, lebih sedikit ketimbang beberapa bulan lalu ketika ia dapat meraih Rp200 ribu – Rp250 ribu dalam satu hari.
Zainal bukan satu-satunya yang kesulitan. “Saya berusaha mengurangi pengeluaran karena harga-harga naik. Saya sedang menabung untuk biaya masuk SMA putri sulung saya,” ujar Ujang Cahyana, penjual es doger yang pendapatannya sekitar Rp40 ribu per hari.
Lebih dari 100 juta warga Indonesia berpendapatan kurang dari Rp 20 ribu setiap harinya, sehingga mereka rentan terhadap kenaikan harga.
Konsumen Indonesia kemungkinan akan mengurangi belanjanya setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir Juni lalu, demikian menurut laporan Bank Indonesia (BI). Ini menjadi indikasi bahwa mesin utama pertumbuhan ekonomi tanah air akan terus melemah, dan daya tarik Indonesia berkurang di mata investor asing.
Dalam survei konsumen bulanannya, Bank Indonesia mengatakan indeks keyakinan konsumen jatuh ke 108,4 pada Juli dari 117,1 satu bulan sebelumnya. Fakta ini “mengindikasikan perlambatan pertumbuhan permintaan dari sisi rumah tangga,” kata BI.
Angka di atas 100 berarti konsumen masih optimistis.
Level keyakinan konsumen Juli menunjukkan “tingkat ekonomi yang lebih baik jika dibandingkan dengan 2008”, terakhir kali pemerintah menaikkan harga BBM. Tingkat keyakinan konsumen merosot hingga 73,1 pada Juni 2008 setelah kenaikan BBM pada Mei 2008.
Survei konsumen bulanan ini dilakukan oleh BI di 18 kota besar Indonesia, dan diikuti oleh sekitar 4.600 responden.
Berdasarkan survei, konsumen memprediksi harga-harga akan mulai berangsur normal dalam tiga bulan ke depan karena menurunnya permintaan usai Idul Fitri.
Pada Juli, inflasi tercatat sebesar 8,61%, level tertingginya dalam 4,5 tahun terakhir, jauh lebih besar dari inflasi Juni yang sebesar 5,90%. Hal ini lantaran meningkatnya permintaan konsumen selama Ramadan dan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar rata-rata 33% pada akhir Juni. Pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM mengingat subsidi energi yang sangat membebani anggaran.
Awal bulan ini Badan Pusat Statistik juga mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II turun menjadi 5,81% dari 6,02% di kuartal I. Hal ini disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan volume belanja domestik menjadi 5,06% dari 5,12% di kuartal sebelumnya. Belanja konsumen menyumbang lebih dari 50% pertumbuhan ekonomi Indonesia.
(FJ/FJ-BL, WSJ)