(The Manager’s Lounge – HR) – Training yang baik adalah training yang memanfaatkan metode experiential learning serta partisipasi aktif dari para pesertanya. Menurut Dr Niki Phillips, Kepala HRD Bank of Cyprus, Yunani, seperti diungkapkannya di Asia HRD Congress 2008 yang diselenggarakan oleh PPM Manajemen dan SMR Group Malaysia beberapa waktu lalu, teknik experiential learning ini adalah yang paling umum dilakukan oleh para penyelenggara training yang berusaha mengembangkan social skill. Hal ini dikarenakan teknik ini dianggap efektif dan konsisten dengan prinsip ‘Adult Education’ dan ‘Lifelong Learning’.
Lalu, bagaimana organisasi mengukur efektivitas dari training? Mengapa sebagian besar perusahaan yang banyak berinvestasi pada training tidak pernah mengukur return dari investasinya maupun perubahan dari perilaku karyawan?
Presentasi dari Dr. Niki Phillips ini pada Asia HRD Congress menunjukkan metodologi yang digunakannya dalam meneliti knowledge yang diperoleh serta perubahan perilaku yang positif pada lingkungan kerja. Ia menunjukkan hasil evaluasi program training menggunakan model milik D. Kirkpatrick.
Training pada umumnya menggunakan ‘Experiential Learning Cycle’ yakni model experiential learning yang terdiri dari 4 tahap.
Model ini mengemukakan bahwa awalnya partisipan memperoleh pengalaman konkrit (Experience), yang bisa berupa aktivitas outdoor maupun permainan kelompok. Tahap kedua adalah Reflection dimana masing-masing individu berusaha untuk belajar dan refleksi dari pengalaman yang baru saja didapatkannya. Tahap ketiga adalah Konsep (Concluding) dimana peserta menggunakan model dan teori untuk memperoleh kesimpulan dari pengalaman yang diperolehnya. Tahap keempat adalah Action Plan (Planning) dimana peserta menguji hasil learning yang telah dikembangkan.
Riset ini dilakukan di Bank of Cyprus, Yunani kepada 14 orang karyawan baru, yang punya gelar Master di bidang Banking atau Finance, pengalaman kerja yang nol ataupun minim, serta sebelumnya tidak pernah menerima training dalam hal social skill.
Riset ini terdiri dari beberapa tahap, yakni:
Septermber-Desember 2003: evaluasi mengenai social skill peserta sebelum training, menggunakan perangkat evaluasi antara lain assessment center, evaluasi 360°, dan observasi di lingkungan kerja.
Januari-Mei 2004: pelaksanaan program training. Skill yang dikembangkan yakni time management, komunikasi, teambuilding, self confidence, leadership, dan flexibility.
September-Desember 2004: dilakukan evaluasi terhadap social skill peserta setelah training, menggunakan perangkat yang sama dengan sebelumnya.
Januari-September 2005: memproses temuan riset dan menarik kesimpulan.
Evaluasi program training menggunakan model yang ditemukan oleh D. Kirkpatrick. Model ini terdiri dari beberapa tahapan, antara lain:
Tahap 1: Reaction
Peserta diminta untuk mengevaluasi training setelah program berakhir melalui kuesioner yang dibagikan. Hal ini bertujuan untuk melihat relevansi training terhadap tujuan, tingkat interaktif training, hingga value added yang diperoleh peserta dari training tersebut.
Tahap 2: Learning
Learning dilakukan untuk memastikan apakah peserta benar-benar menyerap isi dari training. Metode yang dilakukan adalah dengan role play, test, latihan per tim hingga studi kasus.
Tahap 3: Behaviour
Dalam tes, peserta bisa saja meraih nilai bagus, namun yang penting, apakah mereka memperoleh knowledge dan skill yang diperlukan untuk melakukan pekerjaannya. Level terakhir ini dilakukan demi menjawab pertanyaan apakah perilaku peserta training benar-benar berubah setelah mengalami training. Tools yang digunakan adalah melalui assessment, evaluasi 360°, dan observasi di lingkungan kerja.
Lalu bagaimana hasil yang diperoleh dari penelitian ini?
Nyatanya, efektivitas dari experiential learning dalam mengembangkan skill benar-benar terkonfirmasi. 13 dari 14 peserta training atau 92.85% berhasil menunjukkan perkembangan dalam social skill. Experiential learning membantu dalam membangun kepribadian dari peserta training, terutama dalam meningkatkan kepercayaan diri. Sehingga implikasinya adalah, perusahaan harus berinvestasi pada training jika ingin memiliki karyawan dengan skill yang tinggi.
pic : http://www.123rf.com
(Vibiz Motivation & Leadership Center/SK/TML)