(The Manager’s Lounge – Finance) – Bank-bank sentral di seluruh dunia beramai-ramai melakukan pemangkasan suku bunga demi memberikan stimulus bagi pertumbuhan perekonomian. Turunnya suku bunga diharapkan akan menurunkan biaya pinjaman yang membebani individual maupun bisnis. Namun, benarkah biaya kredit sudah benar-benar turun?
Meskipun suku bunga global cenderung jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu, namun sebagian perusahaan di berbagai belahan dunia masih mengalami biaya pinjaman yang justru lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya.
Sekitar setengah, bahkan ada yang lebih dari CFO di seluruh dunia yang disurvei oleh Majalah CFO dan Duke University mengaku bahwa perusahaan mereka mengalami dampak dalam hal biaya ataupun ketersediaan kredit. Perusahaan dari AS yang paling banyak terkena dampak, yakni sekitar 58%, diikuti oleh Cina dan Eropa masing-masing 51%, kemudian Asia dengan 47%.
Sebagian besar menyatakan bahwa masalah yang mereka alami adalah biaya kredit yang semakin tinggi serta terbatasnya ketersediaan akses kredit. Sementara itu, masalah yang juga dialami di Asia adalah meningkatnya biaya pinjaman dalam denominasi dollar, sementara di Cina kesulitan yang dihadapi adalah memperoleh ataupun memperbarui pinjaman bank.
Jika pemerintah sudah melakukan berbagai stimulus untuk menggerakkan perekonomian, namun mengapa perusahaan masih mengalami biaya kredit yang tinggi? Tentunya ini disebabkan oleh beberapa aspek.
Pertama, ketersediaan kredit. Krisis finansial global telah mengakibatkan banyak pihak mengalami masalah likuiditas, termasuk perbankan yang seharusnya menyalurkan likuditas ke masyarakat. Oleh karena itu, dampaknya maka ketersediaan kredit juga semakin terbatas. Langkanya ketersediaan kredit ini sehingga mengakibatkan
Kedua, rating kredit dari perusahaan. Sebelum perusahaan menerima kredit, biasanya perbankan tentu menilai kinerja dan kemampuan perusahaan tersebut untuk membayar di masa depan. Track record perusahaan dalam membayarkan kreditnya juga ikut dinilai. Berdasarkan penilaian tersebut, maka perusahaan memperoleh rating atau skor kredit, yang nantinya menentukan tinggi biaya kredit yang harus ditanggung. Semakin buruk skor kredit, maka semakin besar risiko, sehingga semakin tinggi pula biaya kredit yang akan dikenakan. Hal ini terbukti dari survey majalah CFO dan Duke University, mereka yang paling mengalami masalah dalam akses maupun biaya kredit adalah perusahaan dengan rating kredit BBB atau bahkan kurang dari itu.
Analis Vibiz Research di Vibiz Consulting memperkirakan bahwa sebagian besar perusahaan di dunia masih akan mengalami masalah dalam hal biaya maupun ketersediaan kredit. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan:
Pertama, ketersediaan kredit diperkirakan masih akan terbatas, meskipun bank sentral sudah melakukan stimulus. Mengapa? Karena perbankan kini cenderung lebih berhati-hati dan enggan mengeluarkan kredit seiring dengan kekhawatiran akan terjadinya kredit macet yang bisa mempengaruhi likuiditas mereka.
Kedua, pelemahan perekonomian global tentunya akan semakin mengakibatkan kinerja perusahaan di masa depan menurun. Misalnya, karena penjualan yang melambat, likuiditas yang turun akibat banyak konsumen yang telat membayar utang, hingga biaya produksi yang membengkak. Sehingga, hal ini akan berpotensi mengakibatkan rating/skor kreditnya semakin menurun, sehingga akses terhadap kredit juga semakin sulit.
Oleh karena itu, perusahaan demi memperbaiki akses terhadap kredit maka harus berusaha untuk meningkatkan skor kreditnya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan memperbaiki kinerja, antara lain dengan memperbaiki tingkat likuiditas/solvensi yang mencakup pengelolaan aset dan utang dalam jangka pendek maupun panjang. Sementara, perbankan sendiri diharapkan tetap menerapkan kehati-hatian dalam menyalurkan pinjaman, supaya tidak terjebak dalam kredit macet kembali. (RP)