(The Manager’s Lounge – Tax) – Beberapa pasal-pasal dalam UU ini masih memerlukan aturan pelaksaan yang menjelaskan dan mengatur lebih lanjut ketentuan pasal-pasal tertentu. Misalnya diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang pasal 21 ayat 2, yaitu tentang pengecualian yang boleh tidak menggunakan mata uang Rupiah, selain itu perlu penjabaran apa saja yang termasuk ke dalam transaksi internasional baik transaksi pembiayaan maupun transksi pedagangan internasional.
Karena terdapat beberapa skenario transaksi yang harus ditentukan apakah transaksi di bawah ini tergolong transaksi internasional atau bukan, yaitu :
• transaksi antar WNI yang salah satunya di luar negeri
• transaksi antara WNI dan WNA atau WNA dengan WNA yang terjadi di dalam negeri
• pembayaran dari WNI/entitas dalam negeri ke WNA/entitas asing yang ditransfer ke rekening di luar negeri
• transaksi antara entitas asing dengan entitas dalam negeri yang terjadi di dalam negeri
• transaksi antara entitas asing dengan entitas asing yang terjadi di dalam negeri
C. Dampak Penerapan UU Mata Uang Terhadap Perpajakan
Dampak Terhadap Pemotongan/Pemungutan PPh
Dampak perpajakan yang timbul dari ketentuan ini adalah dalam hal perhitungan PPh pemotongan dan pemungutan (PPh pasal 21, 22, 23, dan 26 dan 4 ayat 2) yang kontraknya menggunakan selain mata uang Rupiah. Berdasarkan aturan perpajakan, penggunaan kurs untuk keperluan pembayaran pajak sudah diatur sendiri dalam KMK, yang setiap minggu terbit. Dalam KMK tersebut diatur bahwa setiap pembayaran pajak harus memakai kurs yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Saat pemotongan/pemungutan PPh tersebut secara sederhana dapat dikatakan pada saat mana yang lebih dulu dibebankan atau dibayarkan, sehingga penentuan kurs yang dipakainya adalah pada tanggal dimana objek PPh pemotongan tersebut dibebankan atau dibayarkan. Jika objek pemotongan tersebut dibebankan terlebih dahulu, maka belum terjadi realisasi pembayaran, sehingga kurs yang digunakan untuk pemotongan pajak adalah kurs KMK. Permasalahan timbul, bila pemotongan pajak yang dilakukan saat realisasi pembayaran objek PPh pemotongan/pemungutan, apakah harus tetap menggunakan kurs KMK. Hal ini karena pada saat realisasi pembayaran objek pajak tersebut tidak boleh lagi memakai mata uang selain Rupiah.
Atas masalah ini, terdapat dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama tetap menggunakan kurs KMK, alasannya nilai yang terdapat dalam perjanjian atau invoicenya adalah dalam mata uang selain rupiah (seharusnya dibayar sesuai agreement atau invoice), sehingga pemotongan PPh nya menggunakan kurs KMK. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah memakai kurs realisasi, karena realisasi pembayarannya dalam bentuk rupiah, maka pemotongan PPh tersebut harus sesuai juga dengan jumlah Rupiah yang dibayarkan, jadi tidak memakai kurs KMK lagi.
Dampak Terhadap Pemungutan PPN dan PPnBM
Dalam hal pemungutan PPN yang kontraknya/nilai penyerahannya menggunakan mata uang selain Rupiah. Berdasarkan ketentuan PPN disebutkan bahwa kurs yang dipakai untuk keperluan pemungutan PPN adalah kurs KMK pada tanggal faktur pajak tersebut dibuat. Jika pemungutan PPN tersebut dilakukan pada saat selain waktu pembayaran, maka tidak terdapat permasalahan yang timbul, karena belum terjadi realisasi pembayaran objek PPN yang mengharuskan dalam mata uang rupiah. Namun, jika pemungutan PPN tersebut terjadinya pada saat pembayaran mendahului penyerahan, maka pembuatan faktur pajak pun harus dibuat pada saat pembayaran. Permasalahan timbul dalam menentukan kurs yang dipakai, apakah memakai kurs KMK atau kurs realisasi.
Pendekatan pertama tetap menggunakan kurs KMK, alasannya nilai yang terdapat dalam perjanjian atau invoicenya adalah dalam mata uang selain Rupiah (seharusnya dibayar sesuai agreement atau invoice), sehingga pemungutan PPN nya menggunakan kurs KMK. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah memakai kurs realisasi, karena realisasi pembayarannya dalam bentuk rupiah, maka pemungutan PPN tersebut harus sesuai dengan jumlah Rupiah yang dibayarkan, artinya tidak memakai kurs KMK.
Namun pendekatan-pendekatan ini masih belum dipastikan kebenarannya, karena seharusnya diatur tersendiri dalam peraturan perpajakan.
Dampak Terhadap Penyetoran dan Pelaporan SPT
Dampak lain terhadap isu perpajakan adalah apakah masih diperbolehkan menyetor pajak dalam bentuk mata uang US Dollar, karena pembayaran pajak pada hakekatnya adalah bertransaksi di dalam wilayah NKRI dan untuk tujuan pemenuhan kewajiban kenegaraan. Namun jika termasuk pengecualian, apakah bisa dikategorikan sebagai pengecualian sebagaimana pasal 21 ayat (2) A yaitu “transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara”. Oleh karena itu atas setoran pajak dalam bentuk US Dollar perlu peraturan yang mengaskan boleh atau tidaknya.
Sedangkan dalam pelaporan SPT dalam bentuk US Dollah, berdasarkan UU mata uang ini, tidak menjadi permasalahan, karena merupakan bentuk pencatatan/pelaporan saja. Karena yang jadi permasalahan adalah saat pembayaran pajaknya apakah harus Rupiah atau boleh USD.
D. Dampak Penerapan UU Mata Uang Terhadap Akuntansi/Pembukuan
Dari segi akuntansi tidak ada hal signifikan yang berpengaruh, karena hanya masalah pencatatan saja akibat dari transaksi seharusnya yang biasanya dalam bentuk selain Rupiah harus dikonversi dulu ke Rupiah dengan kurs realisasi. Sedangkan bagi perusahaan yang fungsional currencynya di dalam negeri memang dalam bentuk selain Rupiah nanti akan tidak praktis, sehingga hal ini akan bertentangan dengan semangat IFRS.
(Hanhan Haeruman/IK/TML)