Lululemon

Pertarungan Arah Strategi di Lululemon

(Business Lounge – Global News) Pendiri Lululemon Athletica, Chip Wilson, melancarkan langkah konfrontatif yang jarang terjadi dalam sejarah perusahaan yang ia bangun sendiri. Wilson memulai proxy fight untuk merombak susunan dewan direksi Lululemon, dengan tujuan melakukan perubahan tata kelola sebelum perusahaan pakaian olahraga premium itu menunjuk CEO baru. Langkah ini menandai eskalasi ketegangan antara sang pendiri dan manajemen yang selama beberapa tahun terakhir berupaya menjauh dari bayang-bayang figur dominannya.

Menurut laporan The Wall Street Journal, Wilson mengajukan proposal resmi kepada para pemegang saham agar mereka mendukung revisi komposisi dewan. Ia menilai dewan saat ini gagal menjaga disiplin strategis yang pernah menjadi fondasi kesuksesan Lululemon. Proxy fight ini muncul di saat sensitif, karena perusahaan tengah berada dalam fase transisi kepemimpinan setelah CEO sebelumnya mengumumkan rencana hengkang, sehingga arah jangka panjang Lululemon masih terbuka untuk diperebutkan.

Dalam pandangan Wilson, seperti dikutip Bloomberg, masalah utama bukan hanya soal individu CEO, melainkan struktur pengambilan keputusan di tingkat dewan. Ia berargumen bahwa dewan yang ada terlalu permisif terhadap strategi ekspansi yang menurutnya mengorbankan identitas merek dan keunggulan operasional. Wilson mendorong masuknya direktur baru yang lebih sejalan dengan visi awal Lululemon sebagai merek premium berbasis komunitas, bukan sekadar mesin pertumbuhan ritel global.

Proxy fight ini juga memperlihatkan dinamika klasik antara pendiri dan perusahaan yang telah bertransformasi menjadi korporasi publik besar. Financial Times menilai bahwa konflik semacam ini sering muncul ketika perusahaan mencapai skala global, di mana tata kelola profesional dan ekspektasi investor institusional mulai mendominasi, sementara pendiri merasa nilai-nilai inti tergerus oleh kompromi manajerial. Dalam kasus Lululemon, perdebatan itu berpusat pada keseimbangan antara pertumbuhan agresif dan eksklusivitas merek.

Bagi Lululemon, situasi ini datang di tengah tantangan bisnis yang tidak ringan. Permintaan global untuk pakaian olahraga masih kuat, tetapi persaingan semakin ketat, terutama dari merek-merek yang menggabungkan fesyen, teknologi, dan harga lebih terjangkau. Reuters mencatat bahwa investor kini lebih sensitif terhadap margin dan efisiensi biaya, bukan sekadar pertumbuhan penjualan. Dalam konteks tersebut, ketidakpastian di level dewan dan CEO berpotensi menambah tekanan terhadap valuasi saham.

Manajemen Lululemon sendiri merespons langkah Wilson dengan nada defensif. Seperti dilaporkan CNBC, perusahaan menegaskan bahwa dewan saat ini telah melalui proses evaluasi berkala dan dinilai memiliki keahlian yang relevan untuk menghadapi fase pertumbuhan berikutnya. Perusahaan juga menekankan bahwa pencarian CEO baru dilakukan secara menyeluruh dan tidak boleh terganggu oleh agenda individu, termasuk pendiri sekalipun.

Namun, pengaruh Chip Wilson tidak bisa diremehkan. Meski tidak lagi terlibat dalam operasional sehari-hari, ia tetap menjadi pemegang saham signifikan dan figur simbolik bagi merek Lululemon. Barron’s menilai bahwa sebagian investor mungkin melihat langkah Wilson sebagai upaya menjaga disiplin jangka panjang, terutama jika mereka khawatir perusahaan mulai kehilangan fokus strategis. Di sisi lain, ada pula investor yang menganggap proxy fight ini sebagai gangguan yang berisiko memperpanjang ketidakpastian.

Pertarungan ini juga menyoroti isu yang lebih luas dalam tata kelola perusahaan modern: sejauh mana pendiri harus diberi ruang untuk ikut campur setelah perusahaan tumbuh besar dan kompleks. The Economist pernah mencatat bahwa banyak perusahaan sukses justru terjebak dalam konflik internal ketika visi pendiri berbenturan dengan tuntutan pasar modal. Lululemon kini berada tepat di persimpangan itu, dengan masa depan strategis yang akan sangat dipengaruhi oleh hasil proxy vote ini.

Jika usulan Wilson diterima, perubahan dewan sebelum penunjukan CEO baru dapat secara signifikan menggeser arah perusahaan. Dewan yang lebih selaras dengan pandangan pendiri berpotensi memilih pemimpin yang mengedepankan penguatan merek dan disiplin produk, ketimbang ekspansi agresif. Sebaliknya, jika usulan itu ditolak, manajemen akan memperoleh legitimasi penuh untuk melanjutkan strategi yang ada tanpa campur tangan pendiri.

Apa pun hasilnya, proxy fight ini menegaskan bahwa Lululemon bukan sekadar perusahaan pakaian olahraga, melainkan arena pertarungan visi tentang bagaimana sebuah merek global seharusnya tumbuh. Dalam jangka pendek, konflik ini mungkin menambah volatilitas. Namun dalam jangka panjang, keputusan pemegang saham akan menentukan apakah Lululemon kembali mendekat ke akar pendirinya atau melangkah lebih jauh sebagai korporasi global yang sepenuhnya dikelola oleh profesional.