(Business Lounge – Global News) Ralph Lauren selama puluhan tahun identik dengan gaya preppy Amerika yang rapi, klasik, dan berjarak dari hiruk-pikuk tren sesaat. Merek ini selalu “cool” bagi generasi yang tumbuh bersama polo shirt dan sweater rajutnya. Namun yang menarik hari ini bukan soal warisan tersebut, melainkan bagaimana Generasi Z mulai menyadari dan merayakan ulang daya tarik Ralph Lauren dengan cara mereka sendiri.
Kebangkitan ini tidak terjadi secara kebetulan. Ralph Lauren secara sadar mendorong pendekatan yang lebih dekat ke konsumen muda, tanpa memutus hubungan dengan identitas intinya. Alih-alih mengejar tren cepat, merek ini menempatkan gaya hidup, emosi, dan nostalgia sebagai pintu masuk. Strategi itu menemukan momentumnya di media sosial, terutama TikTok, tempat estetika klasik justru terasa segar di tengah banjir konten yang serba instan.
Salah satu pemicu paling nyata datang dari tren Natal di TikTok, ketika pengguna muda menampilkan suasana liburan dengan sweater rajut, kemeja oxford, dan palet warna khas Ralph Lauren. Konten tersebut bukan iklan resmi, melainkan ekspresi organik yang memosisikan merek sebagai simbol kehangatan, tradisi, dan “old money aesthetic” yang tengah digemari. Dalam hitungan minggu, Ralph Lauren kembali hadir dalam percakapan budaya pop, kali ini dipandu oleh algoritma dan kreativitas pengguna.
Dorongan lain datang dari budaya selebritas. Taylor Swift, dengan basis penggemar lintas generasi dan pengaruh besar di Gen Z, memberi efek gema yang signifikan ketika tampil dengan busana bernuansa klasik yang sejalan dengan DNA Ralph Lauren. Efeknya bukan sekadar lonjakan penjualan item tertentu, tetapi penguatan persepsi bahwa gaya preppy bukan sesuatu yang ketinggalan zaman. Ia justru relevan sebagai pernyataan identitas yang tenang di era yang bising.
Bagi Gen Z, ketertarikan ini bukan tentang mengikuti aturan berpakaian lama, melainkan memaknainya ulang. Polo shirt dipadukan dengan jeans longgar, sweater klasik dikenakan dengan sneaker modern. Ralph Lauren menjadi kanvas, bukan diktator gaya. Fleksibilitas ini penting, karena Generasi Z menghargai kebebasan berekspresi sekaligus autentisitas. Merek yang terlalu memaksakan narasi akan cepat ditinggalkan.
Dari sisi bisnis, kebangkitan ini menunjukkan nilai strategis dari konsistensi merek. Ralph Lauren tidak berubah secara radikal untuk mengejar Gen Z. Ia membiarkan generasi baru menemukan makna mereka sendiri dalam estetika yang sudah mapan. Pendekatan ini kontras dengan banyak merek yang tergoda untuk mengejar viralitas jangka pendek, sering kali dengan mengorbankan identitas.
Pasar juga membaca sinyal ini sebagai bukti bahwa merek warisan bisa tetap relevan tanpa kehilangan jiwa. Ketika banyak label fesyen berjuang menghadapi siklus tren yang semakin cepat, Ralph Lauren justru diuntungkan oleh ritme yang lebih lambat dan narasi yang tahan lama. Daya tariknya tidak bergantung pada satu koleksi atau kampanye, melainkan pada cerita yang bisa diwariskan dan diinterpretasikan ulang.
Fenomena ini juga mencerminkan perubahan selera yang lebih luas. Gen Z, meski tumbuh dalam dunia digital, menunjukkan ketertarikan pada hal-hal yang terasa “abadi”. Mereka mencari kualitas, makna, dan simbol status yang tidak harus mencolok. Dalam konteks itu, Ralph Lauren menawarkan sesuatu yang langka: kemewahan yang tenang dan mudah dikenali.
Ralph Lauren memang selalu cool. Yang berubah adalah siapa yang memegang kendali atas definisi “cool” tersebut. Kini Generasi Z ikut menentukan, dan mereka menemukan bahwa di balik gaya preppy yang klasik, ada ruang luas untuk ekspresi modern.

