(Business Lounge – Tech) Apple sedang berada di fase krusial ketika sejumlah eksekutif penting di divisi perangkat keras, desain, dan AI dilaporkan meninggalkan perusahaan dalam beberapa bulan terakhir. Perubahan ini memperlihatkan bahwa perusahaan teknologi terbesar di dunia tersebut tidak hanya sedang menata ulang sumber daya manusia, tetapi juga arah strategis untuk menentukan masa depan bisnis intinya: iPhone. Selama lebih dari satu dekade, iPhone menjadi pusat kekuatan Apple, menggerakkan ekosistem produk, layanan, dan keuntungan besar melalui loyalitas pengguna. Namun, persaingan kini bergerak pada dimensi berbeda. Smartphone telah mencapai titik kedewasaan pasar, dan inovasi incremental terasa tidak cukup untuk mempertahankan dominasi. Ketika perusahaan pesaing dari Amerika Serikat hingga China meluncurkan perangkat dengan fitur AI terintegrasi secara lebih terbuka dan agresif, Apple dituntut melampaui sekadar penyempurnaan kamera atau desain fisik yang elegan.
Tim Cook dan jajaran pengganti para petinggi lama kini menghadapi tekanan besar untuk menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana membuat iPhone tetap menjadi pusat pengalaman teknologi konsumen di era AI? Selama ini, Apple dikenal sebagai perusahaan yang lebih berhati-hati dalam merilis teknologi baru, selalu menunggu hingga produk tersebut matang dan benar-benar mampu memberikan pengalaman sempurna bagi pengguna. Strategi itu terbukti berhasil dalam beberapa dekade terakhir. Namun dalam konteks AI generatif yang berkembang sangat cepat, pendekatan tersebut dapat menjadi kelemahan. Kompetitor seperti Samsung, Google, dan sejumlah produsen Android lainnya mulai menjadikan pemrosesan AI di perangkat sebagai pembeda utama. Sementara itu, Apple masih terlihat konservatif dengan kemampuan AI yang sebagian besar masih terfokus pada Siri yang justru dianggap tertinggal dibandingkan model bahasa besar di pasar.
Selain tantangan teknologi, Apple juga menghadapi dinamika bisnis yang semakin rumit. Penjualan iPhone di Tiongkok mengalami tekanan akibat meningkatnya nasionalisme konsumen serta kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan produk dalam negeri. Pasar smartphone global yang stagnan juga menekan ruang pertumbuhan. Apple berupaya mengimbangi kondisi ini melalui peningkatan pendapatan dari layanan seperti iCloud, Apple Music, dan App Store. Namun bagaimanapun, performa perusahaan tetap sangat bergantung pada daya tarik iPhone sebagai pusat ekosistem. Jika perangkat tersebut kehilangan daya magnetnya, bisnis layanan pun akan terdampak. Ini berarti keberhasilan transformasi AI bukan hanya soal inovasi produk, tetapi juga menjaga roda profitabilitas perusahaan tetap berputar.
Meski demikian, Apple masih memiliki sejumlah keunggulan yang sulit ditandingi. Basis pengguna loyal yang sangat besar, integrasi perangkat dan software yang tertutup namun mulus, serta kekuatan finansial yang mampu mendanai riset dalam skala tak tertandingi menjadi modal kuat untuk melewati masa transisi ini. Ada ekspektasi besar bahwa Apple sedang mempersiapkan lompatan besar dalam kemampuan komputasi lokal berbasis chip seri A dan M yang semakin kuat untuk menjalankan model AI langsung di perangkat. Jika strategi tersebut berhasil, Apple berpeluang membalik persepsi bahwa mereka tertinggal dan justru memimpin narasi AI yang berfokus pada privasi dan efisiensi. Namun, itu semua kini menjadi ujian kepemimpinan baru Tim Cook beserta timnya: memastikan era pasca-iPhone tidak menjadi cerita tentang kejayaan masa lalu, tetapi babak baru dominasi Apple di teknologi masa depan.

