(Business Lounge – Essay on Global) Gelombang dorongan global menuju kendaraan listrik tampaknya mulai kehilangan daya. Setelah Amerika Serikat secara perlahan mengendurkan target transisi energi di sektor otomotif, kini Kanada, Inggris, dan bahkan Uni Eropa menunjukkan tanda-tanda serupa — menunda atau melunakkan kebijakan ambisius mereka mengenai adopsi kendaraan listrik (EV). Bahkan Tiongkok, yang selama ini menjadi pemimpin pasar EV dunia, kini menghadapi tanda-tanda perlambatan.
Menurut laporan The Wall Street Journal dan Financial Times, kemunduran ini mencerminkan realitas ekonomi yang mulai menekan pemerintah dan produsen otomotif di berbagai belahan dunia. Inflasi tinggi, tingginya suku bunga, serta permintaan konsumen yang melemah terhadap mobil listrik berharga mahal menjadi faktor utama yang membuat banyak negara mulai meninjau ulang target mereka.
Di Amerika Serikat, pemerintahan Presiden Joe Biden telah melonggarkan rencana transisi penuh menuju kendaraan listrik yang sebelumnya ditargetkan untuk mendominasi penjualan mobil baru pada awal dekade berikutnya. Gedung Putih kini berfokus pada “fleksibilitas” bagi produsen otomotif untuk mencapai standar emisi rendah, termasuk dengan tetap memproduksi kendaraan hibrida. Keputusan itu dianggap sebagai kompromi terhadap tekanan politik dan ekonomi, terutama setelah penjualan EV di AS tumbuh jauh di bawah proyeksi pada 2024.
Langkah Washington tersebut tampaknya memberi sinyal ke negara-negara lain bahwa transisi besar-besaran ke kendaraan listrik tak semudah yang dibayangkan. Kanada, misalnya, baru saja mengumumkan bahwa target wajib untuk menjadikan seluruh kendaraan penumpang baru sebagai EV pada 2035 akan “ditinjau ulang” seiring meningkatnya kekhawatiran industri terhadap biaya infrastruktur dan produksi baterai domestik.
“Pemerintah kami tetap berkomitmen terhadap masa depan yang lebih bersih, tetapi kami juga harus realistis,” ujar Menteri Lingkungan Kanada, Steven Guilbeault, dikutip oleh Reuters. “Kita tidak bisa memaksakan transformasi industri sebesar ini tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat.”
Sementara itu di Inggris, Perdana Menteri Rishi Sunak telah menunda target pelarangan penjualan mobil bensin baru dari 2030 menjadi 2035, langkah yang menurut analis mencerminkan tekanan politik dari masyarakat dan produsen lokal. Industri otomotif Inggris, termasuk Jaguar Land Rover dan Mini, sebelumnya memperingatkan bahwa transisi cepat ke EV dapat menimbulkan hilangnya ribuan pekerjaan di sektor manufaktur tradisional.
Di daratan Eropa, tekanan serupa semakin terasa. Uni Eropa, yang selama ini menjadi penggerak utama regulasi emisi global, kini menghadapi perpecahan internal mengenai implementasi kebijakan Fit for 55—paket ambisius untuk memangkas emisi karbon hingga 55% pada 2030. Beberapa negara anggota seperti Jerman, Italia, dan Prancis meminta penyesuaian terhadap kebijakan larangan mobil bermesin pembakaran mulai 2035.
“Industri otomotif Eropa menghadapi tekanan yang luar biasa,” kata Luca de Meo, CEO Renault dan presiden asosiasi industri otomotif ACEA. “Permintaan EV tidak tumbuh secepat yang diperkirakan, dan margin keuntungan terus tergerus akibat biaya produksi tinggi dan subsidi yang menurun.”
Situasi juga mulai berubah di Tiongkok, negara dengan penjualan EV terbesar di dunia. Walaupun pasar mobil listrik di sana masih mendominasi secara global, pertumbuhan penjualannya melambat tajam pada paruh kedua 2024. Produsen besar seperti BYD, NIO, dan XPeng kini terpaksa memotong harga secara agresif untuk mempertahankan volume penjualan, sementara pemerintah Beijing mulai memangkas insentif fiskal demi menyeimbangkan pasar otomotif yang jenuh.
“China sudah berada di fase kejenuhan awal,” ujar analis industri dari CITIC Securities, Zhang Yimin. “Subsidi yang berkurang dan peningkatan persaingan telah menekan keuntungan produsen, sementara konsumen menahan pembelian karena ketidakpastian ekonomi.”
Sementara itu, di Amerika Utara dan Eropa, konsumen mulai menunjukkan kejenuhan terhadap kendaraan listrik yang mahal dan terbatas jarak tempuhnya. Survei terbaru dari Gallup di AS menunjukkan hanya 44% warga Amerika yang “berminat” membeli EV dalam lima tahun ke depan — turun dari 55% tahun sebelumnya. Salah satu faktor utamanya adalah minimnya infrastruktur pengisian cepat dan meningkatnya biaya listrik di beberapa wilayah.
Kondisi serupa terlihat di Kanada dan Eropa. Beberapa konsumen yang semula antusias kini mengeluhkan penurunan nilai jual kembali (resale value) kendaraan listrik dan waktu pengisian daya yang terlalu lama. “Banyak konsumen membeli EV karena dorongan insentif pemerintah, bukan karena kebutuhan riil,” kata analis pasar otomotif di BloombergNEF, Colin McKerracher. “Ketika insentif berkurang, minat pasar langsung menurun.”
Mundurnya semangat transisi EV global juga menimbulkan dilema bagi produsen besar. General Motors, Ford, dan Volkswagen telah menginvestasikan miliaran dolar dalam proyek baterai dan kendaraan listrik, namun kini harus menyesuaikan jadwal produksi akibat permintaan yang lebih rendah dari perkiraan. Ford, misalnya, baru-baru ini menunda peluncuran beberapa model EV baru, sementara Volkswagen mengurangi kapasitas pabrik baterai di Jerman.
Sementara itu, Tesla—yang selama ini menjadi motor penggerak revolusi EV—menghadapi tekanan baru akibat persaingan ketat dan melambatnya pertumbuhan penjualan. Harga sahamnya turun lebih dari 25% sepanjang 2024 karena kekhawatiran pasar terhadap permintaan global.
Menurut Financial Times, pergeseran global ini menandai fase “realignment” dalam strategi energi bersih: dari idealisme ke pragmatisme. Negara-negara kini menyesuaikan kebijakan agar lebih sesuai dengan kondisi ekonomi dan kesiapan industri. “Kita sedang memasuki babak baru di mana transisi hijau bukan lagi soal kecepatan, tetapi soal ketahanan,” tulis media tersebut dalam editorialnya.
Meskipun demikian, para analis memperingatkan bahwa melambatnya momentum kendaraan listrik bisa menghambat target global untuk menekan emisi karbon. Badan Energi Internasional (IEA) menegaskan bahwa untuk mencapai net-zero pada 2050, penjualan kendaraan listrik harus mencapai setidaknya 65% dari total penjualan mobil global pada 2030—angka yang kini tampak semakin jauh dari jangkauan.
Namun bagi sebagian pemerintah, langkah mundur ini dianggap perlu untuk menjaga keseimbangan antara ambisi iklim dan realitas ekonomi. “Transisi energi harus inklusif, bukan hanya untuk mereka yang mampu membeli kendaraan seharga puluhan ribu dolar,” ujar Guilbeault dari Kanada.
Dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa kini melonggarkan target EV, dan China menghadapi kejenuhan pasar, arah masa depan mobil listrik tampak bergeser: bukan lagi perlombaan cepat menuju elektrifikasi total, tetapi perjalanan panjang menuju adopsi yang lebih realistis dan berkelanjutan.