proses
Pekerja menyelesaikan proses pembuatan motif batik dengan cat pada guci di Desa Melikan, Wedi, Klaten, Jawa Tengah, Selasa (6/10). Guci bermotif batik tersebut dijual dengan harga Rp75 ribu hingga Rp200 ribu per guci tergantung ukuran dan kesulitan dalam pembuatanya. ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho.

Mendesain Proses Sesuai Produk Atau Layanan

(Business Lounge – Operation Management) Setiap bisnis, baik yang memproduksi barang maupun menawarkan layanan, memiliki jantung yang berdenyut di dalam sistem operasinya. Namun bagaimana jika denyut itu tidak seirama dengan kebutuhan produknya? Pertanyaan inilah yang membawa kita pada inti manajemen operasi: bagaimana merancang proses yang benar-benar cocok dengan karakter produk atau layanan yang ditawarkan.

Bayangkan sebuah restoran cepat saji dan restoran fine dining. Keduanya sama-sama menjual makanan, tetapi prosesnya sangat berbeda. Restoran cepat saji dirancang untuk kecepatan dan konsistensi, dengan langkah-langkah yang distandarkan hingga detik demi detik. Sedangkan restoran fine dining menekankan personalisasi, perhatian terhadap detail, dan pengalaman pelanggan yang unik. Dua bisnis ini tidak bisa menukar prosesnya tanpa kehilangan identitas. Di sinilah seni desain proses bekerja—tidak ada satu formula untuk semua, tetapi selalu ada harmoni yang harus dijaga antara produk, pelanggan, dan cara kerja.

Desain proses ditentukan oleh empat dimensi utama, biaya, standardisasi, volume, dan fleksibilitas. Perusahaan yang beroperasi dengan volume besar seperti pabrik minuman ringan akan fokus pada efisiensi dan biaya rendah melalui otomatisasi dan standardisasi. Sebaliknya, perusahaan dengan produk khusus seperti pembuat jam tangan mewah lebih menekankan fleksibilitas dan keterampilan manusia. Keduanya sama-sama benar, selama proses mereka sesuai dengan karakter produknya.

Hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel menjadi dasar dari setiap keputusan desain proses. Biaya tetap mencakup investasi seperti mesin, bangunan, dan teknologi, sedangkan biaya variabel meliputi tenaga kerja dan bahan baku. Perusahaan dengan otomatisasi tinggi akan memiliki biaya tetap besar namun biaya variabel kecil. Sebaliknya, bisnis berbasis tenaga kerja manual memiliki biaya tetap kecil tapi biaya variabel tinggi. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan yang tepat agar perusahaan tetap menguntungkan di berbagai tingkat permintaan.

Konsep break-even point atau titik impas juga menjadi kunci—jumlah minimal produksi agar biaya dan pendapatan seimbang. Setiap unit yang diproduksi di atas titik ini memberikan keuntungan. Dalam bahasa sederhana, inilah momen di mana bisnis “mulai benar-benar menghasilkan uang.” Mengetahui titik ini membantu manajer operasi menentukan apakah investasi besar dalam mesin baru sepadan dengan risikonya, atau apakah strategi produksi manual masih cukup efisien untuk melayani pasar kecil.

Namun desain proses bukan hanya tentang angka. Ini juga tentang strategi. Beberapa bisnis menggunakan strategi mass customization—menggabungkan efisiensi produksi massal dengan fleksibilitas kustomisasi. Contohnya bisa dilihat pada rantai restoran cepat saji yang menawarkan “buat sendiri burger Anda.” Semua bahan dasarnya sama, tetapi pelanggan bisa memilih kombinasi sesuai selera. Strategi ini dikenal sebagai postponement, yakni menunda proses akhir hingga pesanan pelanggan diterima. Dengan cara ini, perusahaan dapat tetap efisien namun tetap memberikan kesan personalisasi.

Konsep ini juga berlaku dalam industri non-manufaktur. Di dunia perbankan, misalnya, sistem layanan digital memungkinkan nasabah menyesuaikan fitur rekening mereka secara online, tapi struktur utama sistem tetap sama. Di dunia pendidikan, universitas online menawarkan kurikulum standar namun dengan jadwal fleksibel yang bisa disesuaikan setiap siswa. Semua itu hasil dari desain proses yang mampu menyeimbangkan standardisasi dan kustomisasi.

Dua tipe operasi penting selalu berperan dalam desain proses, front office dan back office. Front office adalah semua aktivitas yang berhadapan langsung dengan pelanggan—seperti kasir, resepsionis, atau petugas layanan pelanggan. Sementara back office adalah aktivitas di balik layar—seperti pengolahan data, pergudangan, atau penjadwalan. Keduanya harus dirancang secara selaras. Jika front office terlalu cepat sementara back office lambat, maka pelanggan akan tetap kecewa. Begitu juga sebaliknya. Proses desain yang baik memastikan bahwa kedua sisi ini saling mendukung dengan aliran informasi dan tugas yang lancar.

Kemudian muncul dilema klasik dalam manajemen operasi: apakah harus make to stock atau make to order. Make to stock berarti perusahaan memproduksi barang sebelum pesanan datang, seperti pabrik makanan ringan yang memproduksi jutaan bungkus setiap hari. Strategi ini cocok untuk produk dengan permintaan stabil. Sementara make to order berarti produksi baru dilakukan setelah pesanan diterima, seperti perusahaan furnitur custom. Strategi ini mengurangi risiko kelebihan stok, tetapi menuntut waktu tunggu lebih lama bagi pelanggan. Tidak ada pilihan yang mutlak benar—yang penting adalah kesesuaian dengan karakter pasar dan kemampuan operasional perusahaan.

Untuk memperjelas, bayangkan dua perusahaan fiktif. Perusahaan pertama, “Speedy Bikes,” memproduksi sepeda standar dalam jumlah besar. Fokus mereka pada efisiensi, biaya rendah, dan produksi cepat membuat mereka menggunakan sistem make to stock. Sementara perusahaan kedua, “ArtCycle,” menawarkan sepeda dengan desain unik sesuai keinginan pelanggan. Mereka menggunakan pendekatan make to order karena setiap unit berbeda. Keduanya sukses, karena masing-masing mengelola prosesnya sesuai produk dan target pasarnya.

Dalam era digital, cara produk sampai ke pelanggan juga menjadi bagian penting dari desain proses. Banyak bisnis kini mengadopsi model order online, pick up in store atau bahkan pengiriman langsung ke rumah. Proses ini menuntut integrasi yang mulus antara sistem online, stok gudang, dan layanan pelanggan. Jika satu bagian gagal, seluruh pengalaman pelanggan bisa rusak. Karena itu, manajer operasi modern harus berpikir lintas fungsi—dari desain produk, rantai pasok, hingga layanan purna jual.

Prinsip Design for X (DFX) menjadi pegangan penting dalam dunia modern—yakni desain yang mempertimbangkan berbagai faktor sejak awal, seperti kemudahan produksi (Design for Manufacturing), kemudahan perawatan (Design for Maintenance), atau keberlanjutan (Design for Environment). Dengan menerapkan DFX, perusahaan bisa memastikan bahwa produk tidak hanya menarik secara fungsional, tetapi juga efisien, ramah lingkungan, dan tahan lama. Sebagai contoh, produsen elektronik kini merancang produk agar mudah didaur ulang setelah masa pakainya habis—sebuah langkah yang dulu jarang dipertimbangkan dalam desain proses.

Kesuksesan dalam manajemen operasi bukan hanya tentang bekerja lebih keras atau lebih cepat, tetapi tentang bekerja lebih cerdas. Setiap langkah dalam proses, setiap keputusan investasi, dan setiap strategi produksi harus didasari oleh pemahaman menyeluruh tentang apa yang ingin dihasilkan dan bagaimana cara terbaik untuk mewujudkannya. Ketika desain proses selaras dengan karakter produk, efisiensi, kualitas, dan kepuasan pelanggan akan berjalan beriringan—dan itulah tanda dari operasi yang benar-benar unggul.