Ford Motor Company

Dividen Ford Sulit Dipertahankan Meski Rekayasa Akuntansi

(Business Lounge – Automotive) Raksasa otomotif Amerika Serikat, Ford Motor Company, kembali menjadi sorotan setelah analis keuangan mempertanyakan keberlanjutan pembayaran dividennya di tengah tekanan industri dan strategi akuntansi yang dinilai tidak konvensional. Menurut laporan yang dikutip dari The Wall Street Journal, Ford selama ini menggunakan penyesuaian tertentu pada arus kas untuk mendukung kebijakan dividen yang terlihat atraktif bagi investor. Namun, langkah tersebut memunculkan keraguan apakah perusahaan benar-benar mampu mempertahankan kebijakan tersebut dalam jangka panjang.

Ford memang memiliki sejarah panjang dalam memberikan dividen kepada pemegang saham sebagai bagian dari strategi menjaga loyalitas investor. Di tengah volatilitas industri otomotif yang menghadapi transisi besar menuju kendaraan listrik, kebijakan dividen Ford sering dilihat sebagai sinyal stabilitas. Namun, di balik angka-angka keuangan, terdapat penyesuaian yang cukup signifikan terhadap metrik arus kas, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah pembayaran dividen lebih bersifat simbolik ketimbang realistis.

Menurut analisis yang dikemukakan dalam laporan Barron’s, Ford kerap mengklasifikasikan pengeluaran tertentu terkait investasi dan transisi energi sebagai beban non-kas dalam perhitungan arus kas bebas yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan dividen. Dengan cara ini, angka arus kas bebas tampak lebih besar daripada kondisi sebenarnya. Strategi akuntansi tersebut memang sah secara teknis, tetapi dinilai terlalu optimistis karena menutupi beban riil yang harus ditanggung perusahaan.

Kondisi semakin menantang karena industri otomotif global sedang berada pada titik persimpangan. Permintaan mobil listrik yang semula tumbuh cepat kini melambat di sejumlah pasar utama, termasuk Amerika Serikat dan Eropa. Menurut Bloomberg, Ford mengalami tekanan besar karena harus menyeimbangkan antara kebutuhan investasi raksasa dalam lini kendaraan listrik dan menjaga profitabilitas dari bisnis kendaraan konvensional berbahan bakar fosil. Ketika biaya riset, produksi, dan ekspansi meningkat, kemampuan untuk mempertahankan dividen stabil menjadi semakin diragukan.

Pada 2024 lalu, Ford mengumumkan laba bersih yang lebih rendah dari perkiraan akibat biaya pengembangan kendaraan listrik dan perlambatan pasar global. Meski begitu, perusahaan tetap berusaha menjaga dividen sebesar 60 sen per saham per tahun, sebuah langkah yang banyak dipandang lebih sebagai upaya menjaga citra di mata investor ketimbang mencerminkan kesehatan keuangan sebenarnya. Sejumlah analis menilai Ford mengambil risiko besar karena apabila kondisi pasar memburuk, perusahaan bisa terpaksa memangkas dividennya secara drastis.

Lebih jauh, Reuters menyoroti bahwa dividen Ford terlihat tinggi bila dibandingkan dengan kompetitornya, seperti General Motors, yang lebih berhati-hati dalam menyalurkan keuntungan ke pemegang saham. GM, misalnya, lebih fokus pada pengendalian biaya dan investasi pada mobil listrik ketimbang memaksakan pembayaran dividen besar. Hal ini membuat investor mulai mempertanyakan apakah Ford berusaha “menutup celah” dengan menggunakan dividen sebagai daya tarik, meski dengan fondasi keuangan yang rapuh.

Kebijakan Ford ini semakin kompleks jika dikaitkan dengan kondisi makroekonomi. Suku bunga tinggi di Amerika Serikat menekan daya beli konsumen, sementara biaya pinjaman perusahaan juga meningkat. Dengan rasio utang yang tidak kecil, Ford menghadapi dilema besar antara menjaga pembayaran dividen atau memperkuat neraca keuangannya. Menurut analis dari Morningstar, mempertahankan dividen tinggi di tengah biaya modal yang semakin berat bisa menjadi bumerang bagi Ford, terutama ketika kebutuhan investasi masa depan semakin mendesak.

Investor sendiri terlihat terbelah. Sebagian melihat dividen sebagai alasan utama untuk tetap memegang saham Ford, apalagi dengan imbal hasil yang terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain di sektor otomotif. Namun, sebagian lainnya khawatir bahwa strategi ini tidak berkelanjutan, mengingat tren industri yang jelas-jelas menuntut investasi lebih besar pada elektrifikasi, baterai, dan teknologi baru. Jika Ford tidak mampu menyeimbangkan prioritas ini, maka ada risiko penurunan nilai saham di masa depan.

Dalam pandangan jangka panjang, Ford seolah sedang berjalan di atas tali tipis. Perusahaan berusaha mempertahankan citra sebagai brand mapan dengan stabilitas keuangan yang kuat, namun realitas industri menuntut pengeluaran besar yang tak bisa dihindari. Strategi akuntansi kreatif mungkin bisa memperindah laporan keuangan dalam jangka pendek, tetapi tidak serta-merta menyelesaikan tantangan fundamental yang dihadapi.