(Business Lounge – Human Resources) Mencari pekerjaan di Indonesia sering terbentur pada kenyataan jauh dari sekadar mengirim CV. Proses berusaha memasuki dunia kerja ternyata dibumbui oleh tantangan finansial yang tidak sedikit. Berdasarkan laporan resmi, pengangguran dari kelompok usia muda—pelajar dan pemula—masih berkutat di angka tinggi, sementara durasi pencarian kerja bagi mereka bisa lebih panjang dari yang dibayangkan. Dalam salah satu riset, durasi pencarian kerja bagi pekerja usia muda justru terbilang lebih lama jika mereka belum menikah, tinggal di kota, dan berpendidikan lebih tinggi. Ini bagian dari fenomena di mana idealisme dan kualifikasi tinggi membuat mereka menunggu pekerjaan yang “tepat”, bukan sekadar diterima apa adanya.
Secara nasional, penelitian akademik mencatat bahwa durasi mencari kerja di Indonesia bisa mencapai sebelas bulan—terutama bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Hal ini menjadi pendorong serius bagi pencari kerja untuk menyiasati kondisi tersebut secara finansial. Ketika seseorang sudah lama menganggur, dorongan untuk mengikuti kursus berbayar, seminar, atau layanan profesional meningkat tajam, karena bagaimanapun teknik dan keterampilan baru dianggap sebagai tiket jalur cepat memasuki dunia kerja.
Lebih khusus lagi, bagi pekerja usia muda—terutama rentang 15 sampai 24 tahun—riset menunjukkan bahwa rata-rata mereka membutuhkan sekitar dua hingga tiga bulan untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka. Namun jangan tertipu dengan angka rata-rata; faktanya banyak yang menghabiskan lebih dari itu jika ingin mencari pekerjaan sesuai minat dan kualifikasi, bukan sekadar yang gampang diterima.
Penelitian regional di Sumatera Barat pada tahun 2022 juga mengonfirmasi temuan ini, pengalaman kerja dan kemampuan menggunakan teknologi informasi mempermudah perolehan pekerjaan—bahkan secara signifikan—sementara mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan berumur cenderung membutuhkan waktu lebih panjang untuk diterima. Secara angka, individu tanpa pengalaman kerja berpeluang mengalami durasi pencarian kerja lebih dari tiga kali lipat dibandingkan mereka yang sudah berpengalaman. Sementara itu, mereka yang tidak memakai ICT dapat butuh waktu lebih dari lima kali lipat lebih lama untuk mendapatkan pekerjaan dibanding yang aktif memanfaatkan teknologi digital dalam pencarian kerjanya.
Berangkat dari realitas ini, banyak pencari kerja kemudian merasa terpaksa mengalokasikan dana ekstra—mulai dari biaya mengakses pelatihan profesional, seminar karier, sampai outfit formal untuk wawancara tak terduga. Mereka yang tidak berhasil lolos dalam program pemerintah seperti Kartu Prakerja harus menanggung sendiri, sedangkan biaya tambahan tersebut sering kali tidak menjamin hasil. Sementara itu, akses pelatihan gratis dan insentif bagi penerima program pemerintah memberi keunggulan nyata bagi mereka yang beruntung lolos seleksi.
Harapan lebih besar biasanya disertai dengan biaya tersembunyi yang tidak sedikit. Banyak yang harus menyiapkan biaya untuk mengikuti pelatihan profesional, membayar seminar karier, atau bahkan membeli pakaian formal untuk wawancara mendadak—semua demi tampak kompetitif. Hal ini menjadi beban nyata, terutama bagi mereka yang tidak lolos program pemerintah seperti Kartu Prakerja.
Program pelatihan pemerintah memang menyediakan insentif senilai jutaan rupiah untuk setiap peserta, tetapi kuotanya terbatas. Bagi yang tidak terakomodasi, biaya pelatihan mandiri bisa mencekik anggaran pribadi atau memaksa cari pinjaman. Di sisi lain, ada ancaman job scam—lowongan palsu yang meminta biaya administrasi atau pelatihan—yang tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menurunkan kepercayaan dan semangat pencari kerja.
Bayangkan seorang sarjana yang sudah menunggu beberapa bulan, lalu mengikuti kursus digital, membeli grup diskusi berbayar, dan menghadiri seminar offline—semuanya berarti tambahan pengeluaran. Padahal, di saat yang sama, lulusan lain yang berhasil mendapatkan bantuan pelatihan dari pemerintah justru dapat membangun portofolio tanpa biaya dan menghemat banyak waktu dan tenaga.
Perbedaan ini menimbulkan ketimpangan nyata, mereka yang mendapat bantuan publik mendapatkan keunggulan kompetitif, sementara mereka yang tidak secara finansial dipaksa “investasi” terlebih dulu—padahal hasilnya tidak selalu terjamin.
Namun, masih ada jalan alternatif yang lebih hemat. Membentuk jaringan lewat alumni, komunitas profesional, atau meetup informal bisa jauh lebih efektif daripada membayar platform online mahal. Mengelola portofolio secara independen melalui blog, media sosial, atau GitHub, bisa membawa visibilitas tanpa biaya besar. Yang terpenting, kesadaran akan modus penipuan—seperti permintaan uang sebelum wawancara, janji diterima tanpa seleksi resmi, atau link email non-perusahaan—bisa menyelamatkan banyak rupiah dan masa depan.
Di tengah persaingan ini, ada risiko lain yang semakin besar penipuan lowongan kerja. Laporan terbaru menunjukkan modus umum yang berkembang semakin canggih: tawaran gaji tinggi dengan proses rekrutmen cepat, kemudian diikuti permintaan transfer biaya pelatihan, administrasi, atau akomodasi. Korban proaktif sering mengabaikan alarm dini, terutama saat deskripsi pekerjaan terlihat profesional dan menyerupai badan resmi—padahal hanya citra semu. Modus ini sering terjadi melalui WhatsApp atau media sosial; pelamar lalu diminta data pribadi dan sejumlah uang di muka. Praktik membahayakan ini semakin marak menjebak generasi muda yang mendesak mencari pekerjaan, sementara informasi rekruitmen resmi tidak menjangkau mereka secara luas.
Di tengah tekanan ini, narasi dari pencari kerja sehari-hari menyoroti ketegangan antara peluang dan biaya. Seorang sarjana teknik, misalnya, bisa saja menggelontorkan jutaan rupiah untuk pelatihan daring, langganan grup profesional berbayar, seminar offline, dan membayar CV premium—semuanya untuk menyuntikkan nilai tambah dalam lamaran. Di saat yang sama, lulusan lain yang berhasil memperoleh bantuan pelatihan pemerintah dapat menghemat dana dan mengalihkan energy mereka ke membangun portofolio praktis dan jaringan.
Kesenjangan ini membentuk peta ketidaksetaraan tak kasat mata, mereka yang beruntung mendapat bantuan publik lebih unggul—dilihat secara finansial dan waktu pencarian—sementara banyak lainnya harus pikir 10 kali sebelum mengeluarkan dana, berharap tidak terjebak penawaran gila yang justru menjerat.
Namun, di balik tantangan pelik ini, muncul langkah-langkah hemat biaya yang semakin relevan. Membangun jaringan melalui alumni, komunitas profesional lokal, atau acara informal ternyata efektif dan minim risiko. Portofolio gratis lewat blog, media sosial, atau repositori daring seperti GitHub telah menjadi sarana ampuh membuktikan kompetensi tanpa harus bayar mahal. Mengenali tanda-tanda penipuan—seperti permintaan uang di awal, janji manfaat nyata yang terlalu muluk, email domain gratis—pun menjadi benteng pertahanan penting.
Melihat kondisi ketenagakerjaan yang terus berubah, Pemerintah dituntut memperluas akses pelatihan dan program subsidi demi mengurangi beban finansial pencari kerja. Literacy pada digital-savvy dan kewaspadaan terhadap modus penipuan juga harus ditingkatkan, agar pencari kerja tidak mudah tergoda tawaran “instan” tapi menyesatkan.
Realitas di Indonesia hari ini menunjukkan bahwa mencari kerja bukan hanya soal kompetensi, tapi soal strategi finansial yang cermat, kepedulian terhadap jebakan digital, dan memanfaatkan jaringan serta teknologi secara efektif.