(Business Lounge – Automotive) Raksasa otomotif Amerika Serikat, Ford Motor Co., mengumumkan penurunan laba sebesar 64 persen pada kuartal pertama 2025, seiring meningkatnya tekanan biaya, melemahnya permintaan global, dan ketidakpastian akibat kebijakan tarif baru. Perusahaan juga memutuskan untuk mencabut panduan laba tahunannya, menandai langkah hati-hati di tengah iklim perdagangan global yang semakin tidak stabil. Keputusan ini memicu kekhawatiran investor dan membuat saham Ford turun lebih dari 7 persen pada penutupan perdagangan hari pengumuman, menurut laporan Bloomberg dan Reuters.
Laba bersih Ford tercatat hanya $600 juta untuk tiga bulan pertama tahun ini, turun drastis dari $1,7 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan tajam ini sebagian besar disebabkan oleh lonjakan biaya bahan baku, tantangan rantai pasok yang masih membayangi, serta penyesuaian harga akibat tarif impor dan ekspor yang dikenakan di beberapa pasar utama. Dalam laporan pendapatannya, Ford menyebutkan bahwa kebijakan tarif yang tidak menentu—terutama yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap komponen otomotif dari Meksiko, Tiongkok, dan negara-negara lain—menambah beban biaya dan memperumit strategi manufaktur global.
Menurut Chief Financial Officer Ford, John Lawler, dalam pernyataan kepada media, ketidakpastian geopolitik dan perdagangan membuat perusahaan tidak dapat memberikan proyeksi kinerja yang dapat diandalkan untuk sisa tahun ini. Ia menyebut kondisi pasar saat ini “berubah terlalu cepat,” dan bahwa Ford perlu mengambil pendekatan yang lebih fleksibel dalam mengelola operasi dan belanja modal. Ia juga menegaskan bahwa penangguhan panduan bukan karena kehilangan arah, tetapi sebagai bentuk kehati-hatian dalam menghadapi variabel eksternal yang belum pasti.
Selain tekanan biaya, Ford juga menghadapi tantangan dari sisi permintaan. Penjualan mobil listrik perusahaan, termasuk lini Mustang Mach-E dan F-150 Lightning, mengalami perlambatan di beberapa pasar. Seperti dilaporkan The Wall Street Journal, konsumen mulai menunjukkan kehati-hatian terhadap mobil listrik karena isu harga, infrastruktur pengisian daya yang belum merata, serta insentif pemerintah yang tidak konsisten. Penurunan permintaan ini terjadi justru di tengah investasi besar Ford untuk beralih ke elektrifikasi penuh.
Meski demikian, Ford tetap menyatakan komitmennya untuk terus berinvestasi di sektor kendaraan listrik, meski dengan pendekatan yang lebih bertahap. CEO Jim Farley mengungkapkan bahwa perusahaan sedang mengkaji ulang jadwal peluncuran produk EV dan mengevaluasi kemitraan rantai pasok untuk memastikan efisiensi biaya. Ia juga menyoroti pentingnya mempertahankan profitabilitas jangka pendek sambil membangun masa depan berkelanjutan.
Ford bukan satu-satunya produsen mobil yang menghadapi dampak dari dinamika tarif global. Beberapa saingan utama, seperti General Motors dan Stellantis, juga melaporkan tekanan serupa akibat biaya yang meningkat dan kebijakan perdagangan yang berubah-ubah. Namun, keputusan Ford untuk secara eksplisit menangguhkan panduan keuangan tahunan menempatkan perusahaan dalam sorotan, terutama karena ini mencerminkan tingkat ketidakpastian yang tinggi di kalangan manajemen puncak.
Menurut para analis di Morgan Stanley, langkah Ford ini bisa dibaca sebagai sinyal bahwa perusahaan sedang mempersiapkan skenario ekonomi yang lebih berat dari yang diperkirakan sebelumnya. Mereka juga mencatat bahwa walaupun likuiditas Ford masih kuat, tekanan jangka pendek terhadap arus kas operasional akan membutuhkan manajemen yang lebih hati-hati dalam pengeluaran investasi dan strategi ekspansi.
Kondisi ini juga menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana pasar negara berkembang akan terpengaruh, termasuk Indonesia. Ford telah menyatakan minatnya untuk memperluas jejak di Asia Tenggara, namun ketidakpastian global bisa memperlambat rencana tersebut. Investasi dalam fasilitas perakitan lokal, strategi distribusi baru, serta potensi masuknya model listrik ke pasar Indonesia kemungkinan akan ditunda sampai situasi menjadi lebih stabil.
Di sisi lain, pengumuman Ford juga mengundang reaksi dari regulator dan analis kebijakan. Beberapa ekonom mencatat bahwa volatilitas seperti ini menunjukkan pentingnya kepastian kebijakan perdagangan dan stabilitas tarif untuk sektor manufaktur. Ketergantungan industri otomotif pada rantai pasok global menjadikan perusahaan seperti Ford sangat rentan terhadap perubahan kebijakan secara tiba-tiba, termasuk potensi eskalasi perang dagang yang bisa muncul akibat tekanan politik domestik di negara-negara maju.
Meski menghadapi tantangan, Ford tetap menegaskan komitmennya untuk transformasi jangka panjang. Perusahaan tetap menjalankan proyek AI dan otomasi di fasilitas produksinya, serta meningkatkan kemampuan perangkat lunak mobil yang menjadi bagian dari strategi mobil terhubung (connected vehicles). Jim Farley menyebut tahun 2025 sebagai “tahun penyesuaian taktis,” dan menekankan bahwa Ford tidak akan mundur dari visi jangka panjangnya dalam menciptakan kendaraan yang lebih cerdas, efisien, dan ramah lingkungan.
Situasi saat ini menggarisbawahi kompleksitas dunia otomotif global, di mana teknologi, kebijakan, dan dinamika pasar harus dikelola secara bersamaan. Keputusan Ford untuk mengambil langkah konservatif mungkin akan menjadi preseden bagi produsen lain yang menghadapi ketidakpastian serupa. Satu hal yang pasti, era pertumbuhan stabil yang pernah dinikmati industri otomotif tampaknya semakin jauh, dan yang tersisa adalah keharusan untuk beradaptasi cepat, tepat, dan efisien terhadap dunia yang berubah cepat.