Part III – Hindari Hal-Hal Ini Saat Memulai Bisnis Startup

(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)

Kita teruskan tulisan yang pertama dan kedua tentang “Hindari Hal-Hal Ini Saat Memulai Bisnis Startup – Part I dan Part II“. Dalam pembahasan kali ini disampaikan betapa pentingnya waktu memulai bisnis start up, seorang founder menemukan bisnis model, dan hal ini adalah sebuah urgency yang sangat besar. Memulai bisnis startup, tidak terjadi hanya dengan menuliskannya pada pitch deck. Founder  perlu berulang kali meneliti keinginan pelanggan, sejak dari hipotesa sampai menjadi sebuah bisnis yang menghasilkan secara terus menerus.

Jangan langsung pada target penjualan dan pemasaran

Bisnis startup tidak sama dengan bisnis yang sudah mapan. Pada bisnis yang sudah mapan sudah dikenal pasar, produk dan jalur pemasarannya. Dengan mempekerjakan seorang eksekutif penjualan, target penjualan bisa dicapai. Namun mempekerjakan eksekutif  bisa menyebabkan masalah perusahaan startup. Kalau startup merekrut eksekutif,  biasanya dewan direksi dan founder akan diajak membahas kapan tanggal launching produk, target pendapatan, dan serangkaian hal yang hendak dicapai. Kemudian VP Sales tersebut mulai bekerja dengan tim penjualan , melakukan promosi penjualan, dan  mencoba memperoleh pelanggan “mercu suar” (idola masyarakat yang akan menarik orang lain).

Pada saat yang sama, tim penjualan menggunakan target pendapatan yang ditentukan dalam rencana bisnis untuk melacak kemajuannya dalam memahami pelanggan. Sementara itu, VP bagian pemasaran sibuk merancang situs web, logo, presentasi, lembar, data dan jaminan, dan menyewa agensi untuk menciptakan buzz. Taktik ini menjadi tujuan pemasaran, meskipun itu hanyalah taktik. Pemasaran bisa membuat positioning, penetapan harga, dan permintaan, berfungsi hanya setelah menemukan pelanggan pertama.

Para eksekutif yang terbiasa dengan tanda-tanda kemajuan yang dapat diukur terhadap “rencana” akan fokus pada kegiatan-kegiatan pelaksanaan ini karena inilah yang mereka ketahui bagaimana melakukannya (dan apa yang mereka yakini harus mereka lakukan).

Tentu saja, di perusahaan mapan dengan pelanggan dan pasar yang dikenal, fokus ini masuk akal dan bahkan untuk beberapa startup di “pasar yang ada”, dengan pelanggan dan pasar yang dikenal, itu mungkin berhasil.

Namun di sebagian besar perusahaan startup, mengukur kemajuan dengan melihatnya dari peluncuran produk atau rencana pendapatan hanyalah kemajuan yang salah, karena tidak ada umpan balik dari pelanggan. Hal yang diperlukan untuk startup adalah mencari pemahaman tentang pelanggan dan masalah mereka serta mengganti asumsi dengan fakta-fakta dari pemahaman itu.

Hindari menetapkan target keberhasilan terlalu dini

Rencana bisnis, perkiraan pendapatannya, dan model pengenalan produk mengasumsikan bahwa setiap langkah yang diambil sebuah startup berjalan mulus dan terus mulus ke langkah berikutnya. Model ini menyisakan sedikit ruang untuk kesalahan, pembelajaran, atau adanya umpan balik dari pelanggan. Tidak ada dalam rencana bisnis itu, asumsi “hentikan atau perlambat perekrutan sampai memahami pelanggan,” atau, “berhenti sejenak untuk memproses masukan pelanggan”.

Seringkali untuk startup yang memiliki modal cukup, mereka mampu mempekerjakan eksekutif bisnis. Namun eksekutif yang paling berpengalaman pun sering punya pola bekerja sesuai dengan rencana, terlepas dari kemajuannya. Bayangkan jiwa rencana bisnis yang dibuat bukan rencana yang matang, yang tidak disertai dengan pemahaman pelanggan seperti perusahaan yang mapan. Hal ini menyebabkan bencana untuk startup berikutnya: premature scale, menetapkan target bisnis terlalu dini, padahal belum mempunyai pemahaman pelanggan dan semua masih asumsi saja.

Perekrutan dan pengeluaran bisa dipercepat hanya setelah penjualan dan pemasaran menjadi proses yang dapat diprediksi, berulang, dan dapat diskalakan — bukan ketika rencana mengatakan bahwa bisnis mereka dijadwalkan untuk dimulai (atau ketika akun “mercusuar” ditandatangani atau beberapa penjualan dilakukan).

Di perusahaan besar, kesalahan hanya memiliki angka nol tambahan di dalamnya. Microsoft dan Google, yang mungkin merupakan kekuatan besar, meluncurkan produk demi produk — Gmail, Google Photos, Google Meet, Google Drive dan lainnya ; Microsoft “Kin,” Vista, Zune, “Bob,” WebTV, MSNTV, PocketPC — dengan jadwal ketat yang didorong oleh “model” dan perkiraan akan sukses. Tak lama kemudian, bila terjadi kurangnya tanggapan pelanggan memberikan pemakaman yang cepat dan tenang untuk produk dan manajemen.

Namun untuk startup ada istilah “no business plan survives first contact with customers.” Pengertiannya memang perlu waktu untuk memahami pelanggan terlebih dahulu untuk membuat sebuah rencana bisnis. Tanpa pemahaman kebutuhan pelanggan dan pengalaman yang berulang dari sebuah bisnis, masih terlalu dini menetapkan rencana bisnis dengan skalanya. Tidak seperti perusahaan besar, asumsi dan ukuran atau target bisnis yang ditetapkan terlalu dini bisa membuat perusahaan startup akan gulung tikar.

Manajemen dengan krisis cenderung membawa kematian bisnis

Bila startup tidak mengikuti asumsi “no business plan survives first contact with customers.” Mungkin ceritanya akan seperti ini, penjualan mulai kehilangan angkanya dan board of management menjadi khawatir. VP Penjualan tiba di rapat board, masih optimis, dan memberikan penjelasan yang masuk akal.

VP kembali ke lapangan untuk mendesak pasukan agar bekerja lebih keras. Bagian penjualan meminta tim produksi untuk membuat versi khusus produk untuk pelanggan khusus, karena ini adalah satu-satunya cara agar tenaga penjualan yang semakin putus asa dapat menutup penjualan. Rapat board of management menjadi semakin tegang. Tak lama kemudian, VP Penjualan mungkin dihentikan sebagai bagian dari “solusi”.

VP penjualan baru merekrut dan dengan cepat menyimpulkan bahwa perusahaan tidak memahami pelanggannya atau cara menjualnya. Dia memutuskan bahwa pemosisian perusahaan dan strategi pemasaran salah dan produk tersebut tidak memiliki fitur penting. Karena VP penjualan baru dipekerjakan untuk “memperbaiki” penjualan, departemen pemasaran sekarang harus menanggapi manajer penjualan yang percaya bahwa apa pun yang dibuat sebelumnya di perusahaan itu salah (Lagi pula, itu membuat VP lama dipecat, kan?).

Terkadang yang diperlukan hanyalah satu atau dua pembelajaran untuk menemukan peta jalan penjualan dan pemosisian yang tepat untuk menarik pelanggan yang bersemangat. Di masa-masa sulit, ketika nilai uang semakin ketat, putaran pendanaan berikutnya mungkin tidak akan pernah datang.

Tapi masalahnya bukanlah strategi penjualan atau pernyataan pemosisian yang salah. Masalahnya adalah “no business plan survives first contact with customers,” tidak ada rencana bisnis yang bertahan dari kontak pertama dengan pelanggan. Asumsi dalam rencana bisnis seperti itu hanyalah serangkaian hipotesis yang belum teruji. Ketika hasil nyata muncul, mereka mengetahui bahwa tebakan dalam target pendapatan mereka salah. Berfokus pada pelaksanaan rencana bisnis mereka, yang dilakukan mengulangi strategi dan pencarian model bisnis mereka dengan memecat para eksekutif.

“Failure is an integral part of the search for a business model.” Asumsi ini adalah yang harus dipegang saat kita memulai sebuah bisnis startup. Memulai bisnis startup berbeda dengan menjalankan bisnis biasa. Setelah tiga tulisan tentang apa yang harus dihindari saat kita memulai sebuah bisnis startup,  maka dapat disimpulkan  ada delapan hal yang harus dihindari saat memulai bisnis startup. Pertama jangan yakin diri : “apa yang diinginkan pelanggan jelas buat saya.” Kedua, berhenti untuk “yakin dengan fitur produk & jasa yang akan dihasilkan.” Ketiga, tidak tergesa-tergesa untuk “fokus pada tanggal peluncuran.” Keempat, seringkali kita berpendapat “paling penting eksekusi, bukan hipotesa, testing, learning dan mencoba berulang kali.” Untuk startup perlu berulangkali melakukan testing, learning pada hipotesa awal, sampai bisnis dapat terlihat secara berulang. Kelima, berhenti untuk penggunaan business plan tradisional yang tidak memasukan aspek trial dan error. Keenam, Jangan langsung pada target penjualan dan pemasaran. Ketujuh, hindari menetapkan target keberhasilan terlalu dini. Kedelapan, tidak melakukan manajemen dengan krisis yang cenderung membawa kematian bisnis. Benang merahnya, bisnis startup memang bisa berhasil begitu saja dengan sekali mencoba, namun sebagian besar startup harus dimulai dengan kesabaran untuk menemukan model bisnis yang terbukti menghasilkan sebelum melangkah kepada rencana bisnis yang berhasil. Selamat mencoba.

Fadjar Ari Dewanto/Editor in Chief VMN/BL/Coordinating Partner of Business Advisory Services Division, Vibiz Consulting