(Business Lounge – ) Dunia bisnis semakin lama semakin berkembang, banyak pemain, banyak improvisasi, banyak produk, dan banyak strategi. Siapa kreatif, aktif, dan cepat, mereka akan dapat terus bertahan dan saling bersaing. Setiap keberhasilan dalam sebuah bisnis tentu saja terjadi karena adanya strategi yang tepat dan pas. Penerapan strategi harus dilihat dari kondisi di lapangan langsung, apa yang menjadi target market dan sasaran kita pun harus jelas. Ibarat ingin menangkap ikan, maka jangan sampai kita salah menebarkan jala. Demikian juga jika kita menanam sebuah pohon buah, pasti yang kita inginkan agar pohon tersebut tumbuh subur, besar, dan berbuah banyak. Begitu jugalah dalam membangun sebuah bisnis.
Kali ini kita akan mencoba mengenal beberapa istilah yang banyak dipakai dalam bisnis perbankan, istilah yang tak asing ini bernama Loan Volume.
Bila bisnis diibaratkan sebagai tanaman, maka loan volume adalah pohonnya, sementara rate/bunga adalah buahnya. Semakin besar pohonnya, biasanya semakin banyak buah yang dihasilkannya. Semakin besar loan volume kita, biasanya semakin besar pula rate yang dihasilkannya. Dengan kata lain, bila kita ingin mendapatkan buah (rate) yang banyak, maka kita harus menumbuhkan pohon (loan volume)-nya.
Cukup sederhana, bukan?
Namun pada kenyataannya penerapannya tidak sesederhana dan semudah itu dan sebagian bahkan mengalami kegagalan yang berujung pada kerugian. Dari berbagai faktor penyebab kerugian, maka kita akan mengelompokkannya menjadi 3 penyebab utama sebagai berikut:
1. Pohonnya tidak tumbuh bagus.
Rate alias buah yang banyak hanya dapat dihasilkan oleh pohon loan volume yang besar dan tumbuh subur. Apabila pohonnya kecil atau ‘bonsai’, sudah jelas buahnya juga akan sedikit. Padahal biaya untuk membesarkan pohon itu terus mengalir, biaya yang dimaksud adalah pengeluaran operasional (operational cost) yang keluar secara rutin. Tidak heran bila akhirnya menjadi merugi.
Untuk penyebab ini, solusinya adalah harus meningkatkan jumlah produk yang dijual, supaya loan volume terus tumbuh besar. Jadi sebanyak-banyaknya kita harus menjual produk kita ke pasaran.
2. Pohonnya tumbuh, tetapi buahnya sedikit.
Penyebab kedua, kalau dilihat sepintas (kasat mata), pohonnya tumbuh subur dan sehat, namun sayangnya buahnya hanya sedikit. Artinya produk sudah kita jual sebanyak-banyaknya, alias berhasil kita jual ke pasaran, namun harganya didiscount habis (blended rate rendah). Hal ini biasanya terjadi karena mutu atau komposisi produk dan perhitungan discount atau harga jual yang belum tepat, sehingga belum mencapai target keuntungan.
Jadi solusinya harus dibuatkan perhitungan (cost calculation) yang pas dan tepat, mengingat persaingan yang ketat sebab memang perlu dilakukan cara atau strategi seperti memberikan discount atau hadiah agar produk kita laku. Tetapi sudah harus dengan perhitungan yang tepat dan menguntungkan.
3. Pohonnya tumbuh, buahnya juga lumayan, tapi dimakan hama.
Jenis pohon yang ketiga ini punya persoalan lain lagi. Kondisinya dibilang tumbuh, iya cukup bertumbuh tetapi tidak sehat karena dimakan oleh hama. Apa hamanya? Kualitas produk yang buruk. Saya coba ambil produknya misalnya pemberian kredit kepada nasabah yang tidak tepat.
Seperti halnya ulat yang menggerogoti buah di pohon kita, masalah kualitas kredit dapat menggerus keuntungan. Kondisi ini bahkan bisa menjadi lebih parah apabila jaminan yang diberikan diawal ternyata juga tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Artinya hama yang satu ini bukan saja menggerogoti buahnya, namun pohon kita pun tak segan-segan dirontokkannya.
Karena itu, apapun bisnis yang saat ini sedang Anda jalankan dan geluti, milikilah strategi yang tepat dan pas. Jangan lengah dan teruslah memelihara pohon dengan baik, supaya tumbuh subur dan besar dan menghasilkan buah yaitu keuntungan yang matang dan baik bagi Anda.
Jangan putus asa, jangan berhenti untuk terus melakukan inovasi dan benchmarking terhadap bisnis yang sama supaya Anda mendapat gambaran kondisi saat ini untuk menjaga kelanggengan bisnis Anda.
Salam Sukses.
Ria Felisha/VMN/BL/Contributor
Editor: Ruth Berliana

