miliarder

Generasi Self-Made dan Peta Baru Kekayaan Global

(Business Lounge – Essay On Global) Di sebuah penthouse di New York, seorang pendiri perusahaan teknologi menatap kota yang belum sepenuhnya bangun dari tidur. Gedung-gedung tinggi seperti bayangan ambisi yang terus menjulang. Sementara itu, di Hamburg, keluarga industri otomotif menyiapkan peralihan kendali bisnis kepada generasi berikutnya yang baru menginjak usia kepala tiga. Ribuan kilometer ke selatan, di Shenzhen, seorang wirausahawan yang dulu membangun perusahaan dari kamar sewaan kini bernegosiasi dengan investor global untuk ekspansi putaran berikutnya. Ketiganya berada di tempat yang berbeda, tetapi terhubung oleh satu hal yang sama: mereka adalah bagian dari gelombang miliarder yang mengubah wajah ekonomi dunia.

Laporan terbaru yang dikeluarkan PWC dan UBS menunjukan bahwa jumlah miliarder global kini mencapai 2.919 orang dengan kekayaan kolektif sebesar 15,8 triliun dolar Amerika Serikat. Angka tersebut bukan sekadar catatan statistik — tetapi cermin bahwa pusat kekuatan ekonomi dunia sedang bergeser. Siapa yang kaya hari ini tidak lagi ditentukan oleh siapa yang menguasai tambang, ladang minyak, atau perbankan tradisional saja. Dunia bergerak menuju ekonomi kreativitas, kecerdasan buatan, dan keberanian mengambil risiko dalam ketidakpastian.

Selama setahun terakhir, sebuah rekor baru tercipta. Sebanyak 196 individu baru melompat ke arena kekayaan tertinggi, menjadi miliarder yang membangun segalanya dari nol. Ini jumlah tertinggi sejak 2021. Mereka bukan pewaris kekuasaan bisnis keluarga, melainkan para pemberontak yang nekat meyakini ide mereka ketika dunia belum siap mendengarnya. Mereka hadir dari industri yang bahkan satu dekade lalu belum semua orang pahami. Kecerdasan buatan menjadi penggerak utama: chip akselerator data, model AI yang kini menjadi mitra kerja digital, hingga aplikasi yang menggantikan sebagian keputusan manusia.

Tetapi, dunia super kaya bukan hanya milik para inovator. Ada juga kisah tentang warisan yang bergerak dalam skala waktu yang jauh lebih panjang. Tahun ini, sebanyak 91 orang menyandang status miliarder setelah menerima warisan mencapai total 297,8 miliar dolar. Jika kekayaan self-made mewakili kecepatan dan disrupsi, maka warisan mewakili kontinuitas dan ketahanan. Kekayaan yang diwariskan mengisahkan sejarah keluarga yang telah berdiri kokoh selama beberapa generasi, melalui krisis demi krisis.

Di Amerika Serikat, rumah dari 924 miliarder — hampir sepertiga dari total dunia — kapital berputar seperti arus deras yang tak pernah berhenti. Kota teknologi raksasa seperti San Francisco dan Seattle tak hanya menghasilkan produk-produk masa depan, tetapi juga mencetak pola pikir baru mengenai kekayaan. Startup yang tepat pada waktu yang tepat dapat menciptakan perubahan hidup dalam hitungan bulan. Di sana, mimpi dan kapital bergerak dalam ritme yang sama cepatnya. Kekayaan bisa muncul dari laboratorium kecil yang hanya berisi tiga insinyur yang tidur di lantai kantor.

Sementara itu di Asia, Tiongkok menjadi panggung dramatis bagi para miliarder. Meskipun ekonominya mengalami masa-masa menantang, negara ini berhasil mencatat tambahan 70 miliarder baru dalam setahun. Dari pusat e-commerce yang tak mengenal batas hingga pabrik kendaraan listrik yang berjalan 24 jam sehari, kekayaan tumbuh dari ambisi pembangunan modern bangsa itu yang seolah tidak mengenal kata berhenti. Namun, di balik pertumbuhan itu terdapat bayang-bayang pertanyaan: sampai kapan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemerintah dapat terjaga?

Di Eropa, kisahnya berbeda. Tidak semua miliarder lahir dari ide revolusioner. Banyak yang tumbuh dari tradisi. Di Jerman, kekayaan miliarder meningkat 26,7 persen dalam setahun terakhir, sebagian besar merupakan keluarga industri otomotif dan farmasi yang telah membangun reputasi selama beberapa generasi. Mereka mungkin tidak terlihat di panggung media sosial, tetapi pabrik mereka bekerja keras, memproduksi barang yang digunakan miliaran orang setiap hari. Prancis dan Italia menyuguhkan cerita lain: mereka yang membangun kekayaan dari industri barang mewah harus waspada karena selera konsumen global sedang berubah.

Di balik angka besar dan grafis kekayaan yang melambung, terdapat sisi manusiawi yang kerap terlewat. Menjadi miliarder berarti terus hidup dalam ekspektasi tinggi. Mereka harus menjaga pertumbuhan nilai aset seperti menjaga reputasi: setiap langkah diawasi, setiap kebijakan keluarga diamati. Data menunjukkan bahwa 36 persen miliarder pernah pindah negara setidaknya sekali dalam hidup mereka. Bukan untuk berlibur — tetapi untuk menyelamatkan bisnis, mencari kepastian pajak, atau memastikan keamanan keluarga.

Untuk mengelola kekayaan dalam jangka panjang, mereka kini harus menghadapi tantangan baru: usia harapan hidup yang meningkat drastis. Sebanyak 44 persen miliarder percaya bahwa mereka akan hidup jauh lebih lama dibandingkan generasi sebelumnya. Ini menciptakan babak baru dalam perencanaan warisan. Kekayaan tidak boleh hanya bertahan dalam satu generasi, melainkan harus mampu menopang keluarga besar selama puluhan tahun lagi. Family office modern bekerja layaknya pemimpin orkestra yang memastikan semua instrumen harta keluarga bergerak dalam harmoni.

Hubungan para miliarder dengan anak-anak mereka juga berkembang. Meskipun uang dapat membeli apa saja, mayoritas dari mereka tidak ingin keturunan mereka menjadi sekadar pewaris pasif. Survei menunjukkan 82 persen miliarder berharap anak-anak mereka mandiri secara finansial. Di banyak keluarga, anak-anak muda harus terpacu membuktikan diri terlebih dulu, memulai karier mereka di luar perusahaan keluarga sebelum diberi amanah besar. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan harus mengikuti program “pembentukan karakter” yang lebih mirip petualangan berat daripada sekolah elit.

Namun, kekayaan yang besar juga menimbulkan pertanyaan moral yang tak bisa selalu dijawab dengan mudah. Siapa yang seharusnya menentukan arah masa depan umat manusia? Apakah keputusan seorang miliarder untuk mengalihkan investasinya dapat mengatur ritme perubahan sebuah kota? Apakah kontribusi filantropi sejatinya aksi sosial atau strategi politik? Kekuasaan finansial dapat menjadi anugerah bila digunakan untuk memperluas peluang manusia, tetapi juga dapat menjadi ancaman bila hanya mendukung kepentingan sekelompok kecil orang.

Beberapa miliarder memilih untuk membuka lembaran baru dengan terjun ke bidang filantropi. Mereka membiayai penelitian kesehatan, membangun platform edukasi, hingga menyuntik dana ke dalam proyek energi bersih. Hanya saja, dilema tetap muncul: bagaimana menyeimbangkan keuntungan bisnis dengan dampak sosial yang lebih luas? Dan apakah filantropi dapat menjadi alat untuk menutup ketimpangan yang, ironisnya, mungkin ikut mereka ciptakan?

Pada titik ini, narasi para miliarder terlihat seperti sebuah perjalanan di antara dua kutub ekstrem. Di satu sisi, mereka adalah simbol keberhasilan manusia yang mampu mengubah ide menjadi kenyataan. Di sisi lain, mereka menjadi wajah nyata dari jarak sosial yang semakin melebar. Keseimbangan antara keduanya menjadi pertanyaan yang terus muncul di konferensi ekonomi internasional, di ruang redaksi media, hingga di meja makan keluarga kelas menengah.

Tetapi satu hal yang tidak dapat disangkal: para miliarder adalah penanda zaman. Mereka merepresentasikan transformasi ekonomi global yang sedang berlangsung. Mereka merespons perubahan yang tidak bisa diabaikan: peran kecerdasan buatan dalam bekerja, pergeseran kekuatan dari Barat ke Asia, dan kebutuhan dunia akan energi yang lebih bersih serta sistem kesehatan yang lebih tangguh.

Ketika seseorang sukses memecahkan masalah yang dihadapi banyak orang, penghargaan tertinggi kadang datang dalam bentuk kekayaan yang melampaui batas imajinasi. Oleh karena itu, selama manusia masih punya masalah, miliarder akan terus lahir.

Mungkin, suatu hari saat kita menengok ke belakang dari masa depan, angka 2.919 miliarder pada tahun 2025 hanyalah awal dari era di mana kekayaan pribadi menjelma menjadi kekuatan global yang membentuk arah kebijakan publik. Era di mana 15,8 triliun dolar kapital dapat memutuskan apakah dunia akan lebih ramah lingkungan, lebih stabil secara sosial, atau justru semakin dipacu oleh kompetisi tak terkendali.

Di balik setiap angka ada nama. Di balik setiap nama ada cerita panjang tentang keberuntungan, kecerdikan, keteguhan, dan terkadang juga kontroversi. Miliarder adalah manusia. Mereka ingin dihormati, ingin mempengaruhi, ingin meninggalkan jejak. Mereka adalah sutradara dari naskah besar ekonomi dunia. Naskah yang terus ditulis ulang setiap hari.

Gelombang ambisi mereka kini menjadi gelombang yang menentukan arah arus global. Dan selama ambisi itu terus ada, bab berikutnya dalam sejarah para miliarder masih akan terus ditulis — lebih besar, lebih mengejutkan, dan mungkin lebih menentukan dibanding apa yang kita bayangkan saat ini.