(Business Lounge – Human Resources) Dalam novel tahun 1958 berjudul The Best of Everything, yang mengisahkan sekelompok perempuan muda yang menavigasi kehidupan kantor, Rona Jaffe banyak menghabiskan waktu membahas pakaian dan bagaimana hal itu menjadi pertanda sukses atau kegagalan. Perempuan yang mengenakan “mantel berbulu berwarna merah muda atau chartreuse dan sepatu bertali pergelangan kaki yang berusia lima tahun,” menurut Jaffe, tidak ditakdirkan memiliki masa depan yang sama dengan mereka yang mengenakan “setelan hitam yang chic (mungkin keluaran tahun lalu tetapi siapa yang tahu) dan sarung tangan kulit lembut.”
Barangkali kelompok pertama belum menghayati nasihat klasik dalam dunia kerja: Berpakaianlah untuk pekerjaan yang kamu inginkan.
Meskipun detailnya telah berubah sejak Revolusi Industri memunculkan kantor modern, alasan di balik panduan ini selalu tentang tampil profesional (dan tentunya perilaku yang sejalan dengannya). Namun cara kita berpakaian untuk bekerja telah mengalami perubahan signifikan pada abad ke-21.
Pandemi dan lockdown mengguncang tak terhitung aspek dalam cara banyak dari kita bekerja, termasuk seperti apa kita harus berpakaian ketika melakukannya. Pakaian yang dulu merupakan bagian rutin dari kehidupan kantor seperti AC yang terlalu dingin dan kopi tawar—celana tanpa elastis, sepatu beralas kulit, dasi—kini terasa seperti peninggalan dari masa lalu yang samar-samar diingat. Terlebih lagi, apa artinya berpakaian untuk pekerjaan yang kamu inginkan jika pria terkaya di dunia memakai kaus seharga $300 dan hoodie kasmir seharga $2.500?
Apakah kita akan kembali merangkul formalitas adalah pertanyaan untuk versi masa depan dari artikel ini (dan tidak perlu berharap hal itu terjadi dalam waktu dekat). Untuk saat ini, berikut ini 10 tonggak sejarah dalam evolusi pakaian pekerja kantor.
1790-an–1820: Penolakan besar gaya berpakaian maskulin
Begitulah sebutan sejarawan mode James Laver untuk periode selama dan setelah Revolusi Prancis, ketika mengenakan pernak-pernik aristokrat menjadi berbahaya sekaligus ketinggalan zaman. Pria meninggalkan warna-warna cerah, renda, bordir, dan perubahan mode musiman, lalu memilih jaket wol yang sederhana dan celana panjang berwarna netral yang tidak banyak berubah dari dekade ke dekade—versi awal dari setelan modern. Sementara itu, mode—pakaian yang berubah hanya demi perubahan—menjadi identik dengan hal feminin dan penuh kesia-siaan.
1849: Setelan siap pakai
Seperti yang sering diingatkan melalui novel-novel Honoré de Balzac, pakaian adalah modal sosial di masa awal abad ke-19, sebab banyak karakternya (termasuk sang penulis sendiri) memiliki utang besar kepada penjahit mereka. Mulai tahun 1849, ketika Brooks Brothers memperkenalkan setelan siap pakai pertama, warga New York yang mendambakan kemajuan karier memiliki pilihan yang lebih terjangkau. Para pekerja kantor bukan satu-satunya penggemar: para penjelajah Demam Emas yang tak ingin membuang waktu untuk menjahit pakaian juga memborongnya sebelum pergi ke Barat.
1890-an–1910-an: Setelan dan blus
Pada awal abad ke-20, mesin tik dan telepon menjadi perlengkapan standar kantor. Mengoperasikan teknologi baru itu adalah pasukan perempuan muda yang mengenakan pakaian tailor-made—jaket dan rok serasi—dipadukan dengan shirtwaist berbahan katun yang mudah dicuci, atau blus. Ini merupakan salah satu kemenangan awal dari industri ready-to-wear di New York. Seragam yang praktis ini tetap memberi ruang ekspresi personal, dan bisa diterima untuk berbagai aktivitas, mirip setelan dan kemeja pria yang menjadi inspirasinya—tak heran bila inilah tampilan yang dianggap paling pantas.
1922: Dasi modern
Dasi berakar dari abad ke-17. Tetapi dasi yang kita kenal sekarang—entah untuk berapa lama lagi jika tren kasual terus berkembang—bermula pada 1922 ketika penjahit New York, Jesse Langsdorf, mematenkan cara baru memotong dan menjahit aksesori paling flamboyan milik pria tersebut. Alih-alih memotong kain searah serat, ia memotongnya secara diagonal (bias cut) dan menyatukan ujung-ujungnya dengan ladder stitch. Inovasi itu membuat dasi jatuh lebih rapi dan tidak mudah mengerut.
1920-an: Rok lebih pendek
Dimulai sejak Perang Dunia I hingga mencapai panjang selutut di pertengahan 1920-an—sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya—batas bawah rok perempuan terangkat dari lantai dan tak pernah turun serendah itu lagi. Rok yang lebih pendek menjadi simbol sartorial atas kemajuan besar yang diraih perempuan: Amendemen ke-19 yang memberikan hak suara kepada perempuan diratifikasi pada 1920. Pada akhir dekade tersebut, lebih dari seperempat perempuan dan separuh perempuan lajang bekerja.
1958: Penemuan lycra
Bisakah kamu yoga dengan pakaian kerjamu? Ucapkan terima kasih pada lycra, serat ajaib yang muncul bersama sederet serat sintetis pasca Perang Dunia II. Awalnya disebut “Fiber K” oleh ahli kimia DuPont yang menciptakannya, lycra menggantikan karet pada pakaian dalam perempuan yang sebelumnya berat, panas, dan cepat melar. Lycra ringan, bernapas, dan dapat meregang lalu kembali bentuk berkali-kali. Namun, kenyamanan itu memiliki harga mahal: lycra—yang kini ada di hampir setiap pakaian—akan bertahan selamanya di tempat pembuangan sampah.
1960-an: Topi menghilang
Selama berabad-abad, tampil di ruang publik tanpa penutup kepala yang pantas adalah sebuah kesalahan sosial. Hal itu mulai berubah setelah Perang Dunia II ketika mode semakin kasual, dan tren itu melaju kencang pada era 1960-an yang berpusat pada anak muda. John F. Kennedy, presiden pertama yang lahir pada abad ke-20, juga menjadi yang pertama secara rutin tampil tanpa topi. Rambut—yang semakin menjadi pusat perhatian dan semakin panjang—menggantikan fedora dan pillbox hat. Pada akhir dekade tersebut, beberapa pria pekerja kantor memiliki rambut yang menyentuh kerah bajunya—sesuatu yang dulu mustahil dibayangkan.
1990-an: Casual Fridays
Kini, bahkan CEO mengenakan hoodie dan sneakers, sehingga sulit membayangkan betapa revolusionernya kemunculan Casual Fridays. Gagasan ini bermula di Hewlett-Packard pada 1950-an—yang menjadi pertanda awal gaya Silicon Valley masa kini—dan menyebar perlahan hingga mencapai Pantai Timur pada awal 1990-an. Satu hari dalam seminggu, pekerja dapat menanggalkan setelan dan pantyhose serta sepatu hak… untuk mengenakan apa? Awalnya tidak ada yang yakin, meski celana Dockers dari Levi’s berperan besar, terutama bagi pria.
1993: Celana panjang di Kongres
Perempuan mulai mengenakan celana panjang ke kantor pada 1970-an. Namun baru pada 1993 salah satu tempat kerja paling penting di negara itu, Kongres AS, memperbarui aturan yang mewajibkan perempuan memakai rok atau gaun. Senator Carol Moseley Braun, perempuan kulit hitam pertama di Senat, bersama Senator Barbara Mikulski, menentang larangan itu dalam protes sopan yang kemudian dikenal sebagai Pantsuit Rebellion. Aturan berpakaian diperbarui tak lama kemudian oleh Martha Pope, kepala pengamanan perempuan pertama di Senat.
2020: Kenyamanan berkuasa
Ketika banyak kantor tiba-tiba beralih ke kerja jarak jauh pada Maret 2020, pakaian formal langsung tersingkir ke bagian belakang lemari, dan sebagian besar tetap di sana bahkan setelah banyak pekerja kembali ke meja mereka setidaknya paruh waktu. Seperti halnya pengenalan Casual Fridays, babak pertama dari pertempuran modern demi kenyamanan ini juga menyisakan kebingungan: seperti apa sebenarnya pakaian kerja yang dapat diterima kini? Yang jelas, ada aturan baru yang tidak bisa dinegosiasi: rompi fleece menggantikan jas, dan pinggang elastis menggantikan “celana keras,” yaitu apa pun yang memiliki resleting.

