(Business Lounge – Global News) Marriott International Inc. melaporkan peningkatan laba dan pendapatan pada kuartal ketiga tahun ini, didorong oleh kuatnya kinerja segmen hotel mewah dan premium di berbagai pasar utama dunia. Meski demikian, perusahaan memilih untuk mempersempit panduan laba tahun penuh, mencerminkan pandangan hati-hati terhadap permintaan perjalanan global yang mulai menunjukkan tanda-tanda moderasi.
Menurut laporan Bloomberg dan Reuters, pendapatan Marriott meningkat sekitar 4% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai lebih dari US$6,5 miliar. Laba bersih naik tipis, didukung oleh tarif kamar yang tinggi dan tingkat hunian yang stabil di portofolio hotel mewah seperti Ritz-Carlton, St. Regis, dan W Hotels. Perusahaan mencatat bahwa wisatawan berpenghasilan tinggi tetap menjadi pendorong utama kinerja, terutama di Eropa, Timur Tengah, dan kawasan Asia-Pasifik.
CEO Marriott Anthony Capuano mengatakan dalam wawancaranya dengan The Wall Street Journal bahwa meskipun permintaan perjalanan bisnis masih belum sepenuhnya pulih ke tingkat sebelum pandemi, segmen wisata premium dan perjalanan rekreasi kelas atas terus mencatat pertumbuhan yang mengesankan. “Kami melihat kekuatan luar biasa dalam permintaan untuk pengalaman, bukan hanya akomodasi,” ujarnya, menekankan pergeseran perilaku konsumen menuju gaya hidup berbasis pengalaman setelah pandemi.
Namun, Capuano juga mengakui bahwa momentum pertumbuhan mulai melambat di beberapa pasar Amerika Utara, seiring dengan meningkatnya biaya perjalanan dan ketidakpastian ekonomi. Faktor tersebut menjadi alasan utama Marriott mempersempit panduan laba tahun penuh, meskipun proyeksinya tetap berada di kisaran positif. “Kami mengambil pendekatan yang realistis terhadap kondisi ekonomi global,” tambahnya.
Analis dari Morgan Stanley mencatat bahwa kinerja kuat di segmen hotel mewah membantu mengimbangi lemahnya permintaan di hotel skala menengah. Tren ini menunjukkan bagaimana portofolio merek yang terdiversifikasi menjadi kekuatan utama Marriott dibanding pesaing seperti Hilton dan Hyatt. “Marriott diuntungkan oleh posisinya yang kuat di segmen premium global, terutama di Asia dan Timur Tengah, di mana pertumbuhan kelas menengah-atas mendorong permintaan akomodasi mewah,” tulis laporan tersebut.
Selain itu, Marriott terus memperluas kehadirannya secara internasional. Perusahaan menambahkan lebih dari 200 properti baru dalam sembilan bulan pertama tahun ini, termasuk ekspansi besar di China, India, dan Uni Emirat Arab. Strategi pertumbuhan berbasis manajemen dan franchise—alih-alih kepemilikan langsung—membuat perusahaan mampu mempertahankan margin tinggi meski biaya konstruksi dan operasional meningkat.
Dalam konteks industri perhotelan global, data STR Global menunjukkan bahwa tarif rata-rata kamar hotel mewah naik lebih dari 8% pada 2025 dibandingkan tahun lalu, mencerminkan permintaan berkelanjutan di segmen atas. Namun, perlambatan ekonomi di AS dan Eropa bisa membatasi ruang kenaikan lebih lanjut pada tahun depan.
Marriott juga berinvestasi besar dalam digitalisasi layanan untuk menjaga daya saing. Melalui aplikasi Marriott Bonvoy, perusahaan terus memperkuat program loyalitasnya yang kini memiliki lebih dari 200 juta anggota. Inovasi ini membantu mendorong peningkatan pemesanan langsung dan memperkuat hubungan pelanggan.
Dengan kapitalisasi pasar lebih dari US$70 miliar, Marriott tetap menjadi pemain dominan di industri perhotelan dunia. Namun, prospek ke depan akan sangat bergantung pada keseimbangan antara mempertahankan tarif premium dan menjaga tingkat hunian di tengah perlambatan global.
Seperti dicatat Financial Times, strategi Marriott saat ini bukan sekadar menjual kamar, tetapi menjual aspirasi hidup. Dalam dunia pasca-pandemi di mana pengalaman mewah menjadi simbol pemulihan dan status sosial, kemampuan Marriott menjaga daya tarik emosional mereknya mungkin akan menjadi faktor terpenting yang menentukan arah pertumbuhannya di tahun-tahun mendatang.

