Apakah “Learn to Craft” adalah “Learn to Code” yang Baru?

(Business Lounge Journal – Entrepreneurship)

Beberapa tahun lalu, kalimat “learn to code” menjadi magic words bagi mereka yang ingin mengamankan masa depan karier di dunia digital. Namun kini, di tengah kecemasan akibat disrupsi AI dan gelombang PHK korporasi, muncul tren baru yang menarik: “learn to craft” — belajar membuat sesuatu yang nyata dengan tangan sendiri.

Jonathan Sterling, 46 tahun, dulunya adalah eksekutif real estat yang mengelola 35 kantor Keller Williams dengan lebih dari 7.000 agen. Ia terbiasa duduk di ruang rapat, menyusun strategi web, dan mengawasi tim pemasaran digital. Namun kini, pagi-paginya dihabiskan bukan dengan laptop, melainkan dengan blowtorch dan pipa tembaga di sebuah laboratorium pelatihan HVAC di Florida.

“Saya belum pernah memegang alat las sebelumnya,” ujarnya. “Sekarang saya merangkak di bawah kabel bertegangan tinggi setiap hari. Risiko di mana-mana. Tapi anehnya, saya justru merasa hidup.”

Setelah terkena dampak PHK besar-besaran pada 2024, Sterling memutuskan berhenti mengejar posisi korporat baru. Alih-alih, ia mendaftar kursus delapan minggu untuk menjadi teknisi HVAC seharga USD 2.700. Ia berencana bekerja di lapangan agar “diakui secara profesional” sebelum kelak naik ke posisi manajerial di perusahaan yang sedang berkembang. Di waktu luang, ia membangun Foxtown Education, platform informasi untuk para profesional paruh baya yang ingin beralih ke bidang teknis dan vokasional.

Krisis Makna dan Keamanan di Dunia Kerah Putih

Fenomena ini mencerminkan kegelisahan baru di dunia kerja: white-collar crisis of meaning. Di berbagai platform seperti TikTok dan LinkedIn, banyak pekerja profesional mulai memimpikan kehidupan baru — meninggalkan meja kerja untuk menjadi tukang las, montir, atau teknisi. Fenomena ini seakan menjadi cermin terbalik dari dekade 2010-an, ketika learn to code diyakini sebagai jalan menuju kestabilan dan status sosial. Kini, justru pekerjaan yang memerlukan torque wrench dan sarung tangan tahan api yang tampak lebih aman dari serbuan AI.

Data Google menunjukkan pencarian “trade school for adults” meningkat dua kali lipat sejak 2023, dan beberapa program pelatihan teknis mencatat lonjakan pendaftar 10–30%.

Ayunan Balik dari Dunia Digital ke Dunia Nyata

Lisa Countryman-Quiroz, CEO JVS Bay Area, menyebut fenomena ini sebagai “ayunan pendulum” dari era learn to code. Dulu, pekerja mengejar fleksibilitas dan gaji tinggi di sektor teknologi. Kini, banyak yang mulai menghitung ulang nilai sebenarnya dari stabilitas.

Dengan biaya kuliah empat tahun yang bisa mencapai USD 25.000 per tahun dan utang mahasiswa yang kembali menumpuk, banyak orang mulai berpikir praktis. “Alih-alih menambah utang, pekerja di bidang teknis sering kali bisa langsung mendapat pekerjaan bergaji layak dengan peluang kenaikan karier yang jelas,” kata Countryman-Quiroz.

Di JVS, lulusan program pelatihan keterampilan ganda penghasilannya dalam dua tahun — dari sekitar USD 31.000 menjadi lebih dari USD 63.000 per tahun. Permintaan terbesar datang dari sektor pemeliharaan sistem air yang kekurangan tenaga ahli secara nasional. “Ini pekerjaan dengan pengetahuan teknis tinggi dan tanggung jawab besar,” ujarnya. “Sama kompleksnya dengan pekerjaan kantoran — hanya saja lebih nyata hasilnya.”

Kepuasan dari Sesuatu yang Dapat Diperbaiki

Bagi Sterling, daya tarik utama justru terletak pada kepuasan emosional. Setelah dua dekade menulis iklan Google dan mengelola tim jarak jauh, kini ia menikmati feedback instan dari hasil kerjanya sendiri. “Ada rasa puas yang berbeda saat kamu memperbaiki sesuatu yang benar-benar rusak,” katanya.

Meski begitu, ia tak men-romanticize dunia kerja teknis. Gaji awal teknisi HVAC sekitar USD 25 per jam — bukan jumlah besar, tetapi stabil dan dibutuhkan. “Di Florida, orang lebih takut AC-nya rusak daripada ketemu buaya,” ujarnya sambil tertawa.

Apa yang Tidak Bisa Digantikan AI

Di tengah kemajuan otomatisasi, pekerjaan teknis tetap memiliki keunggulan: unsur manusia. “Kemampuan komunikasi, berpikir kreatif, kerja tim, dan pemecahan masalah tetap jadi kebutuhan utama,” jelas Countryman-Quiroz. “Dan justru keterampilan lunak inilah yang membuat pekerjaan manual tidak mudah digantikan.”

Namun, tren ini juga mengingatkan kita akan kesenjangan struktural. Amerika Serikat hanya mengalokasikan 0,1% dari PDB-nya untuk pengembangan tenaga kerja — jauh di bawah negara maju lain. Artinya, sebagian besar pekerja harus mencari dan membiayai pelatihan sendiri.

“Kita butuh lebih banyak investasi dari sektor publik, swasta, dan filantropi,” tegasnya. “Bukan hanya untuk pelatihan, tapi juga untuk mengatasi hambatan seperti biaya penitipan anak atau akses transportasi.”

Merajut Ulang Makna “Keamanan Kerja”

Sterling tidak menunggu kebijakan berubah. Melalui Foxtown Education, ia membantu pekerja profesional menemukan sekolah kejuruan, kursus CDL, dan program pelatihan singkat yang menekankan hands-on experience. “Kalau kamu penasaran,” katanya, “cobalah satu kelas. Jangan menilai dari kacamata lama.”

Apakah learn to craft akan benar-benar menggantikan learn to code, atau hanya menjadi pelarian sementara dari kecemasan era AI? Mungkin waktu yang akan menjawab. Namun satu hal pasti: di dunia kerja yang makin tak pasti, kemampuan untuk membuat sesuatu yang nyata kembali menjadi sumber rasa aman — dan mungkin juga, makna.