OpenAI dan Mimpi Besar di Balik Perangkat AI Genggam

(Business Lounge Journal – Global News)

Di tengah dominasi software dan kecerdasan buatan yang semakin tak terbendung, OpenAI mencoba melakukan sesuatu yang lebih berani: menciptakan perangkat AI yang bisa benar-benar dipegang tangan manusia. Sebuah “AI companion” seukuran telapak tangan — tanpa layar, tanpa distraksi — yang dirancang untuk menemani penggunanya dengan cara yang lebih natural, bukan sekadar menggantikan ponsel.

Proyek rahasia ini digarap bersama Jony Ive, sosok legendaris di balik desain ikonik Apple. Namun, sebagaimana diungkap Financial Times, ambisi tersebut kini menghadapi hambatan serius — mulai dari keterbatasan daya komputasi hingga tantangan teknis yang mengancam menunda peluncurannya hingga setelah tahun 2026.

Mimpi Baru dari Dunia Lama

Altman membayangkan masa depan di mana AI hadir secara “ambien”: selalu ada, tapi tidak menguasai. Bukan layar yang mencuri perhatian, melainkan kehadiran lembut yang membantu manusia menjalani hidup dengan lebih efisien dan tenang.
Konsep ini lahir dari keresahan terhadap budaya digital yang serba berlebihan — sebuah upaya untuk menawarkan “AI yang lebih manusiawi” bagi generasi yang mulai jenuh dengan media sosial dan notifikasi tanpa henti.

Namun di balik konsep yang futuristik itu, tersembunyi pertanyaan besar: bagaimana menjalankan model AI sebesar ChatGPT dalam perangkat kecil yang hidup dari baterai?

Tantangan terbesar datang dari komputasi. Menjalankan model AI raksasa dalam perangkat mini berarti melawan hukum fisika itu sendiri: keterbatasan daya, panas berlebih, dan kebutuhan pemrosesan yang luar biasa.
Perusahaan seperti Amazon dan Google memiliki keunggulan karena sudah memiliki infrastruktur cloud yang besar untuk mendukung Alexa atau Nest. Sementara OpenAI, yang kini saja kewalahan memenuhi permintaan ChatGPT, harus menemukan terobosan efisiensi komputasi yang belum pernah ada sebelumnya.

Selain itu, ada persoalan privasi. Perangkat yang selalu aktif mendengarkan, seberapa pun canggihnya, akan selalu memunculkan ketakutan: apakah ini asisten pribadi, atau mata-mata digital di rumah kita?

Dari Desain ke Kenyataan

Akuisisi senilai $6,5 miliar terhadap studio desain Jony Ive, LoveFrom, seharusnya menjadi simbol transisi OpenAI — dari perusahaan berbasis kode menjadi pencipta pengalaman nyata. Mereka bahkan menggandeng Luxshare, salah satu mitra manufaktur utama Apple, untuk memproduksi unit awal.
Namun seperti pepatah lama di Silicon Valley, “Desain bisa memikat, tapi fisika tidak bisa ditawar.” Sensor, prosesor, dan biaya komputasi menghadirkan kenyataan yang tak bisa disembunyikan oleh polesan desain mewah.

Peluncuran Humane AI Pin beberapa waktu lalu menjadi pengingat: visi besar tentang AI yang “selalu hadir” bisa saja gagal ketika dihadapkan pada kebiasaan manusia yang belum siap berubah.

Sebuah Taruhan yang Terlalu Dini?

Bagi Sam Altman, proyek ini bukan sekadar produk, tetapi pernyataan simbolis. Dengan valuasi perusahaan yang kini mencapai sekitar $500 miliar, OpenAI ingin membuktikan bahwa AI bukan hanya kode di server, tetapi bisa menjelma menjadi benda nyata yang hadir di kehidupan sehari-hari.

Namun, setiap revolusi memiliki waktunya. Jika teknologi belum siap, ide brilian pun bisa berakhir seperti Apple Newton — visioner, tapi datang terlalu cepat untuk zamannya.

Untuk saat ini, Altman tampak masih harus menjawab pertanyaan yang sama yang pernah dihadapi banyak inovator: Bisakah mimpi yang indah tetap bertahan ketika berhadapan dengan realitas keras dari dunia fisik?