(Business Lounge – Global News) Ketua Federal Reserve Jerome Powell sedang menyiapkan langkah besar untuk mengubah arah strategi ekonomi yang lima tahun lalu dipandang sebagai inovasi penting, tetapi kini justru dianggap usang. Pada 2020, ketika dunia tengah dilanda pandemi dan pemulihan ekonomi penuh ketidakpastian, The Fed meresmikan kerangka kebijakan baru yang menekankan average inflation targeting. Strategi ini dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas lebih besar dalam menghadapi inflasi rendah dan menguatkan keyakinan bahwa bank sentral bersedia mendukung pertumbuhan lapangan kerja secara maksimal. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, hasilnya ternyata jauh dari harapan.
Seperti diberitakan Wall Street Journal dan Bloomberg, strategi itu dirancang dengan asumsi bahwa masalah utama ekonomi Amerika Serikat adalah inflasi yang terlalu rendah. The Fed kala itu berkomitmen untuk membiarkan inflasi sedikit di atas target 2 persen guna mengimbangi periode panjang di mana inflasi terlalu rendah. Namun, lonjakan harga yang terjadi pasca-pandemi, diperparah oleh gangguan rantai pasokan global dan lonjakan permintaan konsumen, membuat strategi tersebut menjadi bumerang. Inflasi yang mencapai level tertinggi dalam empat dekade memaksa The Fed menaikkan suku bunga secara agresif, meninggalkan kerangka yang semula dibanggakan.
Powell kini menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya akan melakukan reset formal terhadap strategi kebijakan moneter tersebut. Dalam pidatonya, ia mengakui bahwa lingkungan ekonomi telah berubah drastis dibandingkan lima tahun lalu. Kekhawatiran akan inflasi rendah sudah tidak relevan, sementara tantangan terbesar justru menjaga stabilitas harga tanpa merusak momentum pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, The Fed kembali menegaskan komitmennya pada mandat ganda: stabilitas harga dan lapangan kerja maksimal, tetapi dengan pendekatan yang lebih realistis terhadap kondisi saat ini.
Analis menilai perubahan arah ini merupakan sinyal penting bagi pasar keuangan. Menurut laporan Financial Times, investor selama beberapa bulan terakhir berusaha membaca arah kebijakan moneter di tengah tanda-tanda perlambatan inflasi, namun tetap waspada terhadap risiko resesi. Reset strategi The Fed diharapkan dapat memberikan kejelasan, bahwa bank sentral tidak akan lagi membiarkan inflasi melaju terlalu tinggi hanya demi menjaga target rata-rata. Sebaliknya, kebijakan akan lebih fokus pada pengendalian inflasi secara berkelanjutan meskipun harus menahan sebagian potensi pertumbuhan ekonomi.
Bagi para pembuat kebijakan, pengakuan atas kegagalan strategi lama bukanlah hal mudah. Powell harus menjaga kredibilitas The Fed di mata publik sekaligus meyakinkan pasar bahwa lembaganya mampu beradaptasi dengan cepat. Kesalahan membaca dinamika inflasi pada awal 2020-an menjadi pelajaran berharga: ketika bank sentral terlalu terpaku pada asumsi masa lalu, mereka bisa terlambat merespons perubahan nyata di lapangan. Reset strategi yang direncanakan saat ini dipandang sebagai langkah untuk mengembalikan kepercayaan.
Reaksi dari kalangan ekonom beragam. Sebagian berpendapat bahwa perubahan arah ini wajar, mengingat kebijakan moneter memang harus disesuaikan dengan konteks. Mereka menekankan bahwa inflasi rendah kemungkinan tidak lagi menjadi masalah jangka panjang, karena faktor struktural seperti deglobalisasi, transisi energi, dan kebijakan fiskal agresif pemerintah akan cenderung menekan pasokan dan menjaga tekanan harga. Namun, ada pula yang mengingatkan bahwa The Fed harus berhati-hati agar tidak kembali membuat kesalahan simetris: terlalu fokus pada inflasi tinggi dan melupakan risiko pengangguran yang bisa muncul jika suku bunga ditahan terlalu lama.
Pasar tenaga kerja AS saat ini memang masih menunjukkan ketahanan, tetapi tanda-tanda pendinginan mulai terlihat. Menurut Reuters, tingkat perekrutan melambat dan beberapa sektor mulai mengurangi jumlah pekerja. Jika The Fed menahan suku bunga terlalu tinggi dalam jangka panjang, risiko resesi tetap ada. Oleh karena itu, reset strategi ini harus mampu menyeimbangkan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, serta mengomunikasikan dengan jelas kapan dan bagaimana kebijakan bisa dilonggarkan kembali.
Bagi dunia internasional, perubahan arah The Fed memiliki implikasi luas. Dolar AS, yang menjadi mata uang cadangan global, sangat sensitif terhadap kebijakan suku bunga. Setiap isyarat tentang arah baru bisa memicu pergerakan tajam di pasar valuta asing, obligasi, maupun saham. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang bergantung pada arus modal asing, perlu mencermati sinyal terbaru ini. Jika pasar melihat The Fed lebih hawkish dalam mengendalikan inflasi, aliran modal bisa kembali berbalik ke Amerika Serikat, memperlemah mata uang negara lain.
Pada akhirnya, rencana Powell untuk melakukan U-turn strategi menegaskan bahwa ekonomi bersifat dinamis dan kebijakan moneter tidak bisa statis. Apa yang relevan lima tahun lalu bisa menjadi hambatan hari ini. Dengan mengakui perubahan konteks dan memperbarui strategi, The Fed berusaha menunjukkan fleksibilitas sekaligus memulihkan kredibilitas. Namun, tantangan terbesar masih menanti: menjaga inflasi agar terkendali tanpa menjatuhkan ekonomi ke jurang resesi.