(Business Lounge Journal – Human Resources)
Dunia kerja tengah berubah dengan sangat cepat. Di Amerika Serikat, menurut data dari situs broker freelance Upwork, pada tahun 2025 hampir 30% pekerja pengetahuan (knowledge workers) yang memiliki keahlian khusus beroperasi sebagai profesional independen. Bahkan, lebih dari setengah pekerja di negara tersebut memiliki pekerjaan sampingan (side hustle) setidaknya secara berkala.
Tren ini sejalan dengan perkembangan global. Keevee dan DemandSage memperkirakan bahwa pada 2025 akan ada sekitar 1,57 miliar orang di seluruh dunia yang bekerja secara freelance atau dalam model ekonomi gig — setara dengan 46–47% total tenaga kerja global. Sementara itu, riset Gigscheck memproyeksikan nilai pasar gig economy global akan mencapai US$455 miliar pada tahun yang sama.
Di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pertumbuhan sektor ini bahkan lebih cepat. Menurut data Lurnable dan analisis Wikipedia Gig Worker, ekonomi gig di kawasan ini berpotensi tumbuh hingga 30% per tahun, didorong oleh meningkatnya permintaan akan jasa digital, transportasi berbasis aplikasi, dan layanan kreatif.
Berikut beberapa fakta menarik tentang ekonomi gig dan tenaga kerja freelance secara global:
Statistik Utama | Nilai |
---|---|
Jumlah freelancer global (2025) | ~1,57 miliar orang (~46–47% dari total tenaga kerja worldwide) DemandSageKeevee |
Porsi tenaga kerja gig global | Sekitar 12% dari total pekerja Upwork+1 |
Ukuran pasar ekonomi gig global | Mendekati US$455 miliar pada 2025 gigscheck.comUMA Technology |
Kontribusi freelancer ke ekonomi AS | US$1,27 triliun pada 2023 Upwork; US$1,5 triliun pada 2024 Upwork |
Pertumbuhan ekonomi gig di India (FY25) | Meningkat 38% The Economic Times |
Indonesia / Asia Tenggara | Pertumbuhan gig economy diprediksi hingga 30% per tahun, khususnya di Asia Tenggara WikipediaLurnable |
Data spesifik jumlah freelancer Indonesia belum tersedia secara presisi, namun tren di Asia Tenggara sangat relevan: gig economy tumbuh pesat di wilayah ini, termasuk Indonesia. Sebagai contoh, sektor layanan transportasi online (ojek), dan freelance digital terus meningkat, meskipun sistem regulasi dan jaminan sosial masih perlu diperkuat.
Mengapa Klasifikasi Pekerja Sangat Penting?
Menentukan apakah seseorang adalah freelancer atau karyawan tetap bukan sekadar urusan administrasi. Keputusan ini membawa dampak besar pada aspek hukum, pajak, dan kesejahteraan pekerja. Dari sisi kontrol dan kebebasan, freelancer biasanya bekerja secara mandiri. Mereka mengatur sendiri jadwal, metode, bahkan menggunakan peralatan milik pribadi. Sebaliknya, karyawan tetap bekerja mengikuti aturan perusahaan, baik terkait jam kerja, lokasi, maupun cara penyelesaian tugas.
Kesalahan dalam klasifikasi dapat berakibat serius. Gigscheck dan laporan AP News mencatat bahwa memperlakukan karyawan tetap sebagai freelancer bisa memicu sengketa pajak dan sanksi hukum yang tidak ringan.
Dari sudut pandang bisnis, tren global menunjukkan pergeseran. Di Amerika Serikat, survei Upwork mengungkap bahwa 48% CEO berencana meningkatkan kerja sama dengan freelancer, dan 78% di antaranya menilai freelancer terbaik memberikan nilai lebih dibanding karyawan yang memiliki gelar akademik. Artinya, bagi perusahaan, kemitraan dengan pekerja lepas bukan lagi sekadar opsi, tetapi bagian dari strategi bisnis yang serius.
Praktik Terbaik Agar Tidak Salah Klasifikasi
Agar terhindar dari risiko hukum dan pajak, perusahaan perlu menerapkan beberapa langkah praktis:
- Tinjau sifat pekerjaan — Periksa apakah ada fleksibilitas dalam menerima tugas, kebebasan menentukan waktu dan lokasi kerja, serta siapa yang menanggung biaya dan peralatan.
- Gunakan panduan resmi — Di AS, IRS menyediakan Form SS-8 untuk membantu menentukan status pekerja. Prinsip dasarnya dapat diadaptasi di negara lain, termasuk Indonesia.
- Buat kontrak yang jelas — Tentukan status, hak, kewajiban, dan ekspektasi secara tertulis dan rinci.
- Lakukan audit berkala — Pastikan peran freelancer tidak berubah menjadi fungsi karyawan tetap tanpa penyesuaian status yang sah.
- Latih manajer dan tim HR — Pemahaman yang baik tentang aturan klasifikasi akan meminimalkan risiko pelanggaran.
Dengan memahami perbedaan mendasar antara karyawan tetap dan freelancer, serta menerapkan praktik terbaik dalam klasifikasi, perusahaan dapat mengoptimalkan manfaat tenaga kerja fleksibel tanpa terjebak pada masalah hukum atau pajak yang merugikan.
Memahami 3 Faktor Penentu Klasifikasi Pekerja dan Penerapannya di Indonesia
Di Amerika Serikat, Internal Revenue Service (IRS) menggunakan three-factor test — atau uji tiga faktor — untuk menentukan apakah seseorang harus dikategorikan sebagai karyawan tetap atau pekerja independen (independent contractor). Tiga faktor tersebut adalah kontrol perilaku (behavioral control), kontrol finansial (financial control), dan jenis hubungan kerja (type of relationship).
Meskipun uji ini dibuat berdasarkan sistem hukum di AS, prinsipnya tetap relevan di Indonesia. Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 dan perubahannya melalui UU Cipta Kerja) memang tidak menyebut three-factor test, tetapi aturan tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan kemitraan memiliki kesamaan dalam membedakan hubungan kerja dengan hubungan usaha.
1. Kontrol Perilaku (Behavioral Control)
Di AS, kontrol perilaku mengukur sejauh mana perusahaan mengatur cara kerja sehari-hari. Di Indonesia, prinsip serupa tercermin dalam perjanjian kerja yang memuat hak dan kewajiban pekerja.
- Jika perusahaan menentukan jam kerja, metode, dan lokasi, maka statusnya cenderung karyawan (PKWT atau PKWTT).
- Jika pekerja bebas menentukan cara dan waktu bekerja, tanpa pengawasan ketat, statusnya lebih tepat sebagai kontraktor independen atau mitra.
Contoh di Indonesia:
Pengemudi ojek online di Indonesia biasanya mengatur jadwal dan rute sendiri, meskipun harus mengikuti standar layanan aplikasi. Hal ini mendekati konsep pekerja independen.
2. Kontrol Finansial (Financial Control)
Di AS, pekerja independen menanggung biaya operasional sendiri dan berpotensi untung atau rugi.
Di Indonesia, indikator ini juga berlaku:
- Karyawan tetap biasanya mendapat gaji tetap dan fasilitas kerja dari perusahaan.
- Pekerja lepas/mitra menyediakan sendiri peralatan, menanggung risiko biaya, dan menentukan tarif atau volume pekerjaan.
Contoh di Indonesia:
Fotografer lepas yang menggunakan kamera pribadi, menanggung biaya transportasi, dan menetapkan harga per proyek memiliki kontrol finansial penuh seperti freelancer di luar negeri.
3. Jenis Hubungan Kerja (Type of Relationship)
Di AS, faktor ini mempertimbangkan kontrak tertulis, tunjangan, dan peran pekerja terhadap bisnis inti perusahaan.
Di Indonesia, hal ini bisa diukur dari:
- Apakah pekerja menerima tunjangan seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, cuti, dan fasilitas lainnya (ciri karyawan).
- Apakah kontrak yang dibuat adalah kontrak kemitraan atau jasa, bukan perjanjian kerja (ciri pekerja independen).
Contoh di Indonesia:
Seorang desainer grafis internal yang hadir di kantor setiap hari dan mendapat fasilitas kesehatan jelas termasuk karyawan. Sebaliknya, desainer yang hanya dikontrak per proyek dengan jadwal fleksibel cenderung masuk kategori pekerja independen.
Pentingnya Klasifikasi yang Tepat di Indonesia
Di Indonesia, kesalahan klasifikasi tidak hanya berisiko pada pajak penghasilan dan iuran BPJS, tetapi juga bisa memicu sengketa ketenagakerjaan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Jika hubungan kerja nyata terbukti, walaupun tertulis sebagai “kemitraan”, pengadilan bisa memutuskan status karyawan dan memerintahkan pembayaran hak-hak ketenagakerjaan.
Dengan memahami prinsip three-factor test dan memadukannya dengan aturan lokal, perusahaan di Indonesia dapat mengelola tenaga kerja secara fleksibel tanpa melanggar hukum.
Mengapa Klasifikasi Pekerja yang Tepat Sangat Penting
Kesalahan mengklasifikasikan pekerja bukan sekadar masalah administrasi — dampaknya bisa serius, baik secara hukum maupun finansial. Selain itu, salah klasifikasi dapat menimbulkan kebingungan, menurunkan moral kerja, dan merusak kepercayaan di antara pekerja serta publik.
Jika klasifikasi dilakukan keliru, risiko yang dihadapi meliputi:
- Sanksi pajak dan denda: Di Indonesia, kesalahan memotong atau melaporkan Pajak Penghasilan (PPh 21) pekerja dapat mengakibatkan tagihan pajak terutang, bunga, dan sanksi administrasi dari Direktorat Jenderal Pajak.
- Kewajiban iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan: Jika terbukti ada hubungan kerja, perusahaan bisa diminta membayar iuran beserta denda keterlambatan.
- Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI): Pekerja yang salah diklasifikasi dapat menuntut hak-hak karyawan, termasuk pesangon, cuti, dan upah lembur.
- Kerusakan reputasi merek: Konflik hubungan kerja yang sampai ke publik bisa mengurangi kepercayaan klien, investor, dan calon talenta.
- Ekspektasi kerja yang tidak selaras: Peran yang kabur membuat komunikasi tidak efektif dan meningkatkan ketidakpuasan.
Kesalahan Umum dalam Klasifikasi dan Cara Menghindarinya
Bahkan perusahaan yang hati-hati pun bisa keliru jika mengabaikan detail kecil. Kesalahan yang sering terjadi antara lain:
- Menyuruh kontraktor melakukan pekerjaan setingkat karyawan penuh waktu di bawah pengawasan langsung
Jika seorang kontraktor melapor ke manajer setiap hari dan mengikuti SOP yang ketat, statusnya secara hukum mungkin seharusnya karyawan. - Tidak ada perjanjian tertulis
Perjanjian lisan tidak cukup. Selalu gunakan kontrak tertulis yang menjelaskan ruang lingkup kerja, metode pembayaran, dan status klasifikasi. - Menganggap pekerja jarak jauh otomatis kontraktor
Lokasi kerja bukan penentu status. Yang penting adalah tingkat kontrol, kemandirian, dan peran pekerja dalam struktur bisnis. - Tidak memperbarui klasifikasi saat peran berubah
Freelancer yang kemudian menjadi bagian inti tim mungkin perlu diklasifikasikan ulang sebagai karyawan. - Tidak meminta pendapat profesional hukum atau HR
Aturan klasifikasi bisa kompleks, apalagi jika melibatkan multi-proyek atau kemitraan jangka panjang. Konsultasi membantu mengurangi risiko hukum.
Kapan Sebaiknya Memilih Kontraktor atau Karyawan
Keputusan ini sebaiknya mempertimbangkan struktur organisasi, tujuan bisnis, dan alur kerja, bukan hanya faktor biaya.
Kontraktor lebih ideal jika:
- Pekerjaan bersifat jangka pendek atau membutuhkan keahlian khusus. Misalnya, mempekerjakan desainer freelance untuk membuat logo baru.
- Memerlukan fleksibilitas anggaran. Kontraktor biasanya dibayar per proyek atau per jam, sehingga cocok untuk beban kerja yang fluktuatif.
- Peran tidak menjadi bagian inti dari operasi bisnis. Contoh: dokumentasi acara, dekorasi event, atau pembuatan konten musiman.
Karyawan lebih tepat jika:
- Dibutuhkan anggota tim jangka panjang dan terintegrasi, seperti manajer proyek atau kepala tim customer support.
- Perusahaan ingin mengendalikan cara kerja secara penuh dan membentuk budaya kerja sesuai standar internal.
- Akan ada investasi pelatihan dan manfaat jangka panjang, seperti program pengembangan karier atau fasilitas kesehatan.