(Business Lounge – Travel) Di tengah bergesernya definisi kemewahan global, terbang dengan jet pribadi kini menjadi penanda paling jelas perbedaan antara orang kaya dan kelompok ultrakaya. Laporan dari The Wall Street Journal menyoroti bahwa permintaan untuk penerbangan pribadi melonjak, bukan hanya sebagai alat transportasi, tetapi juga sebagai simbol status sosial yang membedakan 1% populasi terkaya dari 0,1% teratas. Faktor privasi, fleksibilitas, dan kenyamanan menjadi pendorong utama tren ini, terutama di kalangan individu yang memandang waktu sebagai aset yang lebih berharga daripada uang.
Seiring meningkatnya kekayaan global di sektor teknologi, keuangan, dan energi, banyak miliarder memilih jet pribadi bukan hanya untuk perjalanan bisnis, tetapi juga untuk rekreasi dan gaya hidup. Pandemi COVID-19 mempercepat tren ini, ketika penerbangan komersial dibatasi dan risiko kesehatan menjadi perhatian utama. Menurut data dari Private Jet Card Comparisons, penggunaan jet pribadi tidak kembali ke level sebelum pandemi, melainkan justru meningkat signifikan karena banyak pengguna baru yang telah merasakan manfaatnya dan enggan kembali ke penerbangan reguler.
Perusahaan seperti Gulfstream, Bombardier, dan Dassault kini memproduksi jet dengan jangkauan antar-benua, interior mewah, dan teknologi terbaru, yang semakin mempertegas citra jet pribadi sebagai puncak eksklusivitas. Harga satu unit dapat mencapai ratusan juta dolar, sementara biaya operasional tahunan juga bisa menembus puluhan juta dolar. Hal ini membuat kepemilikan jet pribadi hanya terjangkau bagi segelintir orang di dunia, menegaskan jurang pemisah antara kaya dan ultrakaya.
Dari perspektif sosiologi konsumsi, kepemilikan jet pribadi tidak hanya soal mobilitas, tetapi juga representasi kekuasaan, kendali, dan prestise. Dalam lingkungan di mana barang mewah seperti supercar atau kapal pesiar mulai dianggap “mainstream” di kalangan high-net-worth individuals, jet pribadi menawarkan level eksklusivitas baru. Seperti diungkap The Wall Street Journal, bagi sebagian orang, memiliki jet pribadi berarti memiliki kebebasan mutlak dalam menentukan kapan dan ke mana mereka akan pergi, tanpa batasan waktu atau jadwal pihak ketiga.
Implikasinya terhadap industri penerbangan pun cukup besar. Operator charter dan perusahaan penyedia layanan jet pribadi mengalami pertumbuhan permintaan yang mendorong investasi pada armada baru, peningkatan fasilitas bandara khusus, dan perekrutan pilot berpengalaman. Bahkan, ada kecenderungan munculnya model keanggotaan atau “fractional ownership” yang memungkinkan individu membeli sebagian kepemilikan jet, sehingga lebih banyak orang kaya dapat mengakses fasilitas ini tanpa membayar penuh biaya pembelian dan pemeliharaan.
Bagi Indonesia, tren ini meskipun berada di segmen yang sangat kecil, memiliki dampak pada citra industri pariwisata dan investasi. Beberapa destinasi mewah seperti Bali, Labuan Bajo, atau Raja Ampat mulai memposisikan diri sebagai tujuan wisata yang ramah bagi pengguna jet pribadi, dengan infrastruktur bandara yang mampu melayani penerbangan charter langsung dari luar negeri. Potensi ini juga membuka peluang bagi operator penerbangan domestik untuk merambah pasar premium, meski tantangannya mencakup regulasi, biaya operasional tinggi, dan ketersediaan tenaga kerja terlatih.
Dengan semakin terhubungnya pusat-pusat kekayaan global, jet pribadi akan tetap menjadi simbol status yang sulit disaingi. Di mata publik, terbang dengan jet pribadi bukan hanya soal mencapai tujuan, tetapi tentang bagaimana seseorang ingin dilihat di puncak hierarki sosial-ekonomi dunia. Dalam konteks ini, seperti yang disimpulkan The Wall Street Journal, kemewahan di udara adalah pernyataan yang tidak hanya berbicara tentang uang, tetapi juga tentang waktu, kebebasan, dan kekuasaan yang hanya dimiliki segelintir orang.