(Business Lounge – Global News) Keterlambatan adalah sesuatu yang umumnya dihindari dalam industri fesyen. Namun bagi merek fesyen mewah Vince, gangguan rantai pasok yang disebabkan oleh tarif impor justru menciptakan dinamika yang tak terduga—dan tidak sepenuhnya buruk. Seperti dilaporkan oleh The Wall Street Journal, koleksi musim semi Vince bertahan lebih lama dari biasanya di rak toko karena koleksi musim gugurnya terlambat tiba. Hasilnya: stok lama justru terus dibeli oleh pelanggan setia mereka.
Vince, sebuah label asal California yang dikenal karena kesan elegan dan siluet minimalisnya, mengalami tantangan logistik ketika pengiriman barang terkena imbas perang dagang dan kebijakan tarif, termasuk yang diberlakukan terhadap barang-barang dari China. Ketika koleksi musim gugur yang baru tidak tiba sesuai jadwal, banyak pengecer akan khawatir kehilangan momen penting dalam kalender penjualan. Namun dalam kasus Vince, kekosongan ini malah menjadi peluang.
Alih-alih kehilangan minat pasar, para pelanggan Vince terus membeli pakaian musim semi bahkan hingga jauh melewati waktu peluncuran seharusnya untuk koleksi musim gugur. Hal ini menunjukkan adanya loyalitas konsumen terhadap desain Vince yang tak lekang oleh tren musiman. Dalam sebuah wawancara, eksekutif Vince mengakui bahwa mereka sempat cemas ketika koleksi musim gugur tertahan, tetapi ternyata permintaan terhadap koleksi lama tetap bertahan.
Dalam ekosistem fesyen yang sangat sensitif terhadap musim, kejadian ini patut dicermati. Biasanya, retailer akan mendiskon barang lama begitu musim baru dimulai demi memberikan ruang stok yang baru. Namun karena musim gugur 2024 datang dengan koleksi yang tertunda, toko-toko Vince menahan diskon dan berhasil menjual lebih banyak produk musim semi dengan harga penuh.
Sebagaimana dikutip dari WSJ, fenomena ini menyiratkan bahwa pelanggan tidak hanya membeli berdasarkan kalender tren, tetapi juga atas dasar kualitas dan kenyamanan. Produk Vince yang terkenal akan bahan berkualitas tinggi seperti kasmir, katun, dan linen tampaknya telah menciptakan ikatan emosional dengan pembelinya, membuat mereka tetap setia meski tidak disuguhi koleksi terkini.
Secara finansial, hasil ini membawa angin segar bagi perusahaan. Menjual produk dengan harga penuh tentu lebih menguntungkan daripada menjalankan program diskon besar-besaran. Hal ini membantu margin Vince, yang dalam beberapa kuartal terakhir mengalami tekanan akibat biaya bahan baku yang naik dan ongkos distribusi global yang fluktuatif.
Namun, bukan berarti Vince terbebas dari tekanan struktural. Perusahaan yang dulunya merupakan bagian dari Vince Holding Corp itu sempat mengalami restrukturisasi bisnis beberapa tahun lalu akibat pandemi dan pergeseran pola belanja dari fisik ke digital. Dalam upaya bertahan, Vince menjual aset intellectual property-nya ke Authentic Brands Group pada 2023 dan menjalankan bisnis di bawah lisensi. Dengan model bisnis baru tersebut, Vince lebih fokus pada desain, pemasaran, dan pengalaman merek, sementara sebagian besar urusan operasional dan distribusi ditangani oleh mitra strategis.
Kejadian tarif ini juga menjadi pengingat betapa rapuhnya rantai pasok dalam industri fesyen global. Banyak merek—termasuk Vince—memproduksi sebagian besar barang mereka di Asia, terutama China. Ketika tarif baru diberlakukan, barang-barang yang berada dalam perjalanan atau siap dikirim pun langsung terkena dampaknya. Vince mengungkapkan bahwa mereka telah mengevaluasi ulang lokasi manufaktur, termasuk memindahkan sebagian produksi ke wilayah seperti Vietnam dan India demi mengurangi ketergantungan pada satu negara pemasok.
Selain faktor geopolitik, preferensi konsumen juga berubah. Banyak pembeli kini mengutamakan keberlanjutan dan ketelusuran rantai pasok. Dalam konteks ini, Vince berupaya memposisikan dirinya sebagai merek yang tidak hanya mewah, tetapi juga bertanggung jawab. Koleksi yang lebih timeless, tidak tergantung musim, dapat membantu menurunkan limbah tekstil sekaligus memperkuat posisi merek di mata konsumen muda yang lebih sadar lingkungan.
Keterlambatan koleksi musim gugur juga mendorong pertanyaan seputar ketergantungan industri fesyen pada sistem musiman konvensional. Beberapa analis mulai mendorong model bisnis baru yang lebih fleksibel—di mana peluncuran koleksi tidak harus terikat pada kalender musim, melainkan berdasarkan kebutuhan pasar dan kemampuan logistik. Dalam konteks ini, kasus Vince memberikan bukti nyata bahwa model musiman bukan satu-satunya jalan untuk sukses.
Namun tentu saja, keberhasilan Vince juga sangat dipengaruhi oleh profil pelanggannya. Dengan harga rata-rata lebih tinggi dari merek fast fashion, pelanggan Vince cenderung mencari nilai jangka panjang daripada tren instan. Ini berbeda dari merek-merek massal yang sangat bergantung pada siklus musim dan diskon cepat.
Ke depan, Vince tampaknya akan terus menavigasi realitas baru industri ini dengan pendekatan yang lebih terukur. Tantangan geopolitik, inflasi, dan perubahan perilaku konsumen membuat ketahanan bisnis tidak lagi hanya bergantung pada desain yang menarik, tetapi juga pada ketepatan strategi rantai pasok dan adaptasi terhadap kondisi makro.
Singkatnya, keterlambatan pengiriman akibat tarif—yang awalnya dianggap sebagai risiko besar—justru membuka ruang bagi Vince untuk membuktikan kekuatan merek mereka. Bagi industri fesyen yang penuh tekanan, kisah ini adalah pengingat bahwa ketidakpastian bukan selalu akhir dari cerita, melainkan kadang awal dari strategi yang lebih tahan banting.

