(Business Lounge – Global News) BHP Group, perusahaan pertambangan terbesar di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar, menghadapi dua tekanan utama yang dapat memengaruhi arah strategisnya dalam waktu dekat. Di satu sisi, proyek potash jangka panjang yang sedang dikembangkan di Kanada kini mengalami penundaan dan eskalasi biaya. Di sisi lain, BHP secara terbuka menyatakan sedang mempertimbangkan penjualan unit nikel di Australia, sebagai respons terhadap anjloknya harga komoditas dan tekanan global dari sisi permintaan.
Melalui laporan resmi perusahaan yang dikutip oleh The Wall Street Journal dan Reuters, BHP menyampaikan bahwa biaya proyek potash Jansen Stage 1 di Saskatchewan, Kanada, berpotensi melonjak hingga 1,4 miliar dolar AS dari perkiraan awal. Proyek yang awalnya diperkirakan menelan biaya sekitar 5,7 miliar dolar AS kini bisa membengkak menjadi 7,1 miliar dolar AS, sementara jadwal penyelesaian juga mundur satu tahun dari target awal, yakni dari akhir 2026 menjadi akhir 2027. Kenaikan biaya disebabkan oleh tekanan inflasi global, biaya tenaga kerja, dan tantangan operasional lainnya yang muncul selama tahap pengembangan proyek.
Proyek Jansen sendiri merupakan salah satu taruhan jangka panjang BHP dalam mendiversifikasi portofolio komoditasnya. Potash, mineral yang digunakan untuk pupuk, dipandang sebagai komoditas strategis seiring pertumbuhan populasi global dan kebutuhan terhadap produktivitas pertanian yang lebih tinggi. Namun, keterlambatan ini dapat berdampak terhadap ekspektasi arus kas BHP di tengah persaingan global yang semakin ketat, terutama dengan pemain-pemain dari Rusia dan Kanada yang sudah lebih mapan dalam sektor ini.
Sementara itu, pada lini bisnis logam, BHP juga memberi sinyal bahwa unit nikelnya yang berbasis di Australia Barat mungkin tidak lagi menjadi prioritas utama. Pernyataan ini muncul setelah harga nikel global turun tajam dalam setahun terakhir, didorong oleh lonjakan suplai dari Indonesia serta perlambatan permintaan dari sektor kendaraan listrik di Tiongkok dan negara maju lainnya. Dalam konteks ini, BHP menyatakan sedang melakukan evaluasi strategis terhadap bisnis nikelnya dan mempertimbangkan berbagai opsi, termasuk kemungkinan divestasi. Unit ini mencatat kerugian signifikan dalam beberapa kuartal terakhir, dan prospeknya dianggap kurang menguntungkan dalam jangka pendek.
Langkah ini menunjukkan perubahan fokus BHP terhadap komoditas yang dianggap lebih resilient terhadap volatilitas pasar, seperti tembaga dan potash. Tembaga, misalnya, dinilai akan menjadi tulang punggung transisi energi karena perannya dalam jaringan listrik dan teknologi energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan hal itu, para analis menilai keputusan untuk mengalihkan sumber daya dan investasi dari nikel ke sektor lain merupakan respons strategis yang masuk akal di tengah ketidakpastian global.
BHP juga tidak sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Beberapa perusahaan tambang besar lainnya seperti Rio Tinto dan Glencore juga menyatakan kekhawatiran terhadap tekanan biaya dan gejolak permintaan di pasar logam global. Bahkan menurut Bloomberg, sejumlah produsen nikel menengah kini terpaksa memangkas produksi atau menutup fasilitas karena tekanan harga yang ekstrem.
Namun demikian, keputusan untuk menunda atau menjual proyek tidak selalu diterima positif oleh semua investor. Beberapa pengamat menilai bahwa potash dan nikel, meskipun mengalami gangguan jangka pendek, tetap penting dalam jangka panjang sebagai bagian dari transisi energi global dan ketahanan pangan. Terlebih, proyek seperti Jansen dipandang sebagai investasi strategis yang akan menuai hasil di dekade mendatang, ketika suplai global potash mulai mengetat dan permintaan pupuk meningkat di negara-negara berkembang.
Dalam jangka pendek, investor tampaknya lebih menyoroti manajemen risiko BHP dalam menghadapi inflasi biaya dan pengalokasian modal. Sebagian analis memperkirakan bahwa keputusan untuk mengevaluasi bisnis nikel akan meningkatkan efisiensi modal BHP dan menghindarkan perusahaan dari komoditas yang mengalami penurunan profitabilitas. Sementara itu, proyek Jansen meskipun tertunda tetap dianggap sebagai aset strategis yang bisa meningkatkan nilai jangka panjang perusahaan.
Kombinasi dari pengendalian biaya, efisiensi modal, dan pergeseran portofolio komoditas ini menunjukkan bagaimana BHP mencoba menyeimbangkan antara ketahanan finansial jangka pendek dan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Dalam kondisi pasar global yang penuh ketidakpastian, fleksibilitas strategis seperti ini mungkin menjadi keunggulan kompetitif utama.
Dengan potensi permintaan jangka panjang yang kuat dari sektor pertanian dan transisi energi, masa depan BHP kemungkinan besar tetap bergantung pada bagaimana mereka menavigasi tantangan saat ini. Investor dan pemangku kepentingan lainnya kini menantikan tindak lanjut dari evaluasi strategis terhadap unit nikel, serta rincian lebih lanjut soal pengendalian biaya proyek potash dalam laporan keuangan BHP berikutnya.