(Business Lounge – Global News) Meskipun ketidakpastian ekonomi dan tekanan tarif global masih membayangi, para bankir investasi di Wall Street tetap optimistis terhadap potensi ledakan transaksi merger dan akuisisi (M&A) pada paruh kedua tahun ini. Pada kuartal kedua, sejumlah kesepakatan besar tetap berlangsung, terutama di sektor-sektor yang relatif terlindung dari dampak perang dagang—seperti kesehatan, teknologi, dan energi transisi.
Analis mencatat bahwa meskipun aktivitas kesepakatan tidak merata, sinyal pemulihan mulai terlihat. Perusahaan yang memiliki neraca kuat dan prospek jangka panjang cenderung kembali mempertimbangkan langkah ekspansi strategis melalui akuisisi. Hal ini terjadi di tengah evaluasi ulang terhadap struktur rantai pasok global dan kebutuhan untuk memperkuat posisi di pasar domestik.
Salah satu faktor pendorongnya adalah stabilisasi suku bunga dan persepsi bahwa tekanan inflasi mulai mereda. Dengan membaiknya iklim makroekonomi, perusahaan dan pemilik modal kembali percaya diri untuk melakukan konsolidasi bisnis. Bahkan, beberapa bank investasi telah mengindikasikan bahwa pipeline transaksi untuk kuartal mendatang lebih kuat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kesepakatan besar yang tercatat selama kuartal kedua melibatkan sektor bioteknologi, semikonduktor, dan energi alternatif—semua bidang yang cenderung tidak terdampak langsung oleh kebijakan tarif dan regulasi proteksionis. Sebaliknya, sektor yang sangat bergantung pada perdagangan lintas batas seperti otomotif dan manufaktur berat masih menunjukkan kehati-hatian.
Bank-bank besar di Wall Street, termasuk JPMorgan, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley, telah mengalokasikan sumber daya tambahan untuk menghidupkan kembali tim M&A mereka setelah periode tenang yang berlangsung hampir dua tahun. Mereka kini lebih fokus pada transaksi domestik bernilai menengah hingga besar, serta mendorong perusahaan untuk mengantisipasi tren konsolidasi yang akan datang.
Para eksekutif perusahaan juga tampaknya lebih terbuka terhadap peluang strategis, termasuk penjualan divisi non-inti, joint venture lintas sektor, serta akuisisi teknologi yang dapat mempercepat transformasi digital. Dalam beberapa kasus, tekanan dari investor aktivis turut mendorong manajemen untuk mencari nilai tambah melalui restrukturisasi dan penjualan aset.
Di sisi lain, sumber pembiayaan untuk kesepakatan besar mulai membaik. Pasar utang menunjukkan pemulihan moderat, dan valuasi saham yang lebih realistis membuka ruang negosiasi yang lebih sehat antara pembeli dan penjual. Hal ini menciptakan kombinasi yang mendukung kebangkitan aktivitas M&A yang lebih berkelanjutan.
Namun tantangan tetap ada. Ketidakpastian geopolitik, potensi gangguan pasokan, serta ketatnya regulasi antitrust—terutama di sektor teknologi dan farmasi—masih menjadi hambatan utama. Beberapa kesepakatan besar juga menghadapi penundaan karena proses persetujuan yang semakin panjang dan ketat.
Meski demikian, para pelaku pasar tetap melihat potensi yang besar dalam lanskap konsolidasi saat ini. Banyak perusahaan menyadari bahwa pertumbuhan organik saja tidak cukup untuk bertahan di tengah perubahan teknologi dan preferensi konsumen yang cepat. Oleh karena itu, strategi pertumbuhan anorganik melalui akuisisi kembali menjadi opsi utama.
Dengan portofolio kesepakatan yang terus berkembang dan minat investor yang mulai kembali, Wall Street mempertahankan harapan bahwa semester kedua 2025 akan menjadi titik balik bagi kebangkitan M&A global. Jika arus modal tetap stabil dan sentimen pasar membaik, maka babak baru konsolidasi lintas industri mungkin akan kembali mendominasi berita utama keuangan.

