Trump Mobile

Smartphone Trump dan Ilusi Made in USA

(Business Lounge – Technology) Pada pertengahan 2025, pasar teknologi Amerika dikejutkan oleh peluncuran sebuah produk yang tidak biasa – sebuah smartphone bernama T1 Phone, yang diklaim akan diproduksi di Amerika Serikat dengan harga hanya $499, dan siap dikirim kepada konsumen pada Agustus tahun ini. Peluncurannya dilakukan oleh Trump Mobile, perusahaan yang terkait dengan keluarga mantan Presiden Donald Trump.

Produk ini tidak hanya menjual fitur teknis, tapi juga membawa beban simbolik politik dan nasionalisme ekonomi. Dengan menggunakan slogan seperti Made in America, for Americans, dan dibundel dengan paket langganan bulanan bernama The 47 Plan, ponsel ini berusaha menjadi lebih dari sekadar perangkat: ia menjadi pernyataan ideologis.

Namun pertanyaannya segera muncul: apakah secara teknis dan ekonomi ponsel seperti ini benar-benar bisa dibuat di AS, dalam waktu sependek itu, dan dengan harga semurah itu?

Menurut laporan The Wall Street Journal, para analis dan pelaku industri menyebut klaim tersebut hampir mustahil direalisasikan. Bahkan, untuk hanya membangun rantai pasok lokal bagi satu komponen penting seperti layar AMOLED atau chip pemroses utama, perlu waktu bertahun-tahun dan investasi miliaran dolar. Saat ini, hampir semua komponen utama ponsel—mulai dari kamera, memori, prosesor, hingga modul layar—diproduksi atau dirakit di luar Amerika Serikat, terutama di Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, dan Vietnam.

Tinglong Dai, profesor di bidang operasi bisnis dari Johns Hopkins University, menilai bahwa untuk benar-benar membuat smartphone end-to-end di AS, dibutuhkan setidaknya 5–10 tahun dan lebih dari $50 miliar investasi infrastruktur. Realitanya, hingga kini belum ada fasilitas manufaktur penuh di Amerika Serikat yang mampu membuat smartphone sekelas flagship dengan harga kompetitif.

Faktanya, banyak yang mencurigai bahwa unit pertama T1 Phone, meski mungkin dirakit sebagian di fasilitas logistik AS, tetap bergantung pada komponen impor, atau bahkan sepenuhnya dirakit di luar negeri.

Trump Mobile sendiri mengklaim akan mendirikan pabrik di Florida, Alabama, dan California, namun hingga kini belum ada bukti konkret tentang pembangunan fasilitas-fasilitas tersebut. Desain ponsel yang ditampilkan dalam promosi pun dipertanyakan; banyak pakar teknologi menyebutnya masih berupa render digital, bukan model prototipe nyata.

Sementara itu, sisi spesifikasi teknis ponsel T1 mengesankan. Dengan harga di bawah $500, ia menjanjikan layar AMOLED 6,8 inci, RAM 12GB, penyimpanan 256GB, kamera 50 MP, dan baterai 5.000 mAh, lengkap dengan fitur seperti headphone jack, pemindai sidik jari di bawah layar, dan slot kartu SD. Jika semua ini benar, maka T1 bisa menjadi pesaing serius iPhone 15 Pro Max dan Samsung Galaxy S24 Ultra—yang harganya dua kali lipat lebih mahal.

Tapi justru karena itulah banyak pihak mempertanyakan klaim ini. Apakah spesifikasi tinggi tersebut sungguh bisa dicapai dengan margin harga setipis itu, apalagi bila dikombinasikan dengan biaya produksi AS yang notabene jauh lebih mahal dibanding Asia Timur?

Model bundel “The 47 Plan” sendiri menambahkan lapisan kompleksitas. Dengan biaya $47,45 per bulan, pengguna dijanjikan akses data tanpa batas, layanan pesan internasional, bantuan pinggir jalan, hingga layanan telemedisin. Model ini mirip strategi MVNO (Mobile Virtual Network Operator) seperti Mint Mobile—menjual layanan melalui jaringan operator besar tanpa membangun infrastruktur jaringan sendiri.

Namun berbeda dengan Mint, Trump Mobile terkesan memadukan infrastruktur minim dengan ekspektasi maksimal. Tidak ada kejelasan tentang operator apa yang akan digunakan, bagaimana sistem distribusi dijalankan, dan apakah ada layanan purna jual yang bisa diandalkan.

Yang jelas, peluncuran T1 Phone bukan semata urusan bisnis. Ia terjadi pada saat Donald Trump kembali maju sebagai kandidat presiden pada Pilpres 2024. Kombinasi antara retorika Make America Great Again, produk buatan Amerika, dan ketergantungan pada patriotisme konsumen memperlihatkan bahwa ponsel ini—disadari atau tidak—adalah bagian dari strategi kampanye politik terselubung.

Dengan menyasar pasar konsumen konservatif, T1 Phone mencoba mengisi ruang yang belum banyak digarap oleh merek teknologi besar, yang umumnya dianggap liberal. Ia menjual gagasan tentang kemandirian nasional dan penolakan terhadap dominasi teknologi asing. Tapi di saat yang sama, ia terjebak dalam paradoks bahwa teknologi itu sendiri tak bisa sepenuhnya dikeluarkan dari sistem global.

Kritik pun bermunculan. Beberapa ekonom menyebut model ini sebagai vaporware—produk yang lebih banyak tampil di iklan dan janji, daripada dalam bentuk nyata. Sementara pengamat etika bisnis menyoroti adanya potensi konflik kepentingan, ketika seorang calon presiden menjual produk konsumen dengan muatan politik, dan kemungkinan memanfaatkan jabatan untuk menetapkan tarif atau kebijakan perdagangan yang menguntungkan usahanya sendiri.

Namun dari sisi lain, Trump Mobile justru menyoroti kenyataan menyakitkan yang selama ini coba dihindari oleh industri: bahwa produksi teknologi tinggi di dalam negeri adalah ambisi besar dengan biaya sangat mahal. Bahkan Apple pun, meski telah membangun pabrik di Texas, masih mengandalkan Tiongkok dan Taiwan untuk sebagian besar proses manufaktur iPhone-nya.

Maka, terlepas dari apakah T1 Phone benar-benar akan rilis pada Agustus atau tidak, atau apakah ia akan laku di pasar, peluncuran ini sudah menunjukkan satu hal: bahwa gagasan tentang kedaulatan teknologi tetap menggoda, bahkan jika ia tak sepenuhnya realistis.

Di tengah pemilu dan retorika nasionalis, smartphone Trump bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah simbol, sekaligus cermin, dari tarik-menarik antara ambisi politik dan keterbatasan teknologi global.