(Business Lounge – Global News) Raksasa pertambangan Rio Tinto resmi menyepakati rencana pengelolaan baru dengan kelompok masyarakat adat di Australia, sebagai bagian dari komitmennya untuk menebus kesalahan historis yang masih membekas: penghancuran gua kuno Juukan Gorge pada tahun 2020. Perjanjian baru ini menandai tonggak penting dalam upaya perusahaan memulihkan hubungan dengan komunitas Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura (PKKP), serta memperbaiki reputasinya di mata publik dan investor global.
Menurut laporan Financial Times, Rio Tinto menyatakan bahwa perjanjian tersebut akan menjadi kerangka kerja resmi dalam melibatkan komunitas adat dalam setiap rencana aktivitas tambang yang berpotensi berdampak pada situs warisan budaya. Perusahaan akan diwajibkan untuk berkonsultasi secara mendalam dan berkelanjutan sebelum melakukan eksplorasi atau pengembangan di wilayah yang memiliki nilai sejarah dan spiritual tinggi bagi masyarakat adat.
Langkah ini datang hampir empat tahun setelah insiden penghancuran dua gua batuan berumur 46.000 tahun di Juukan Gorge, wilayah yang diakui oleh arkeolog sebagai salah satu situs prasejarah paling penting di Australia. Peristiwa tersebut memicu kemarahan global dan berujung pada pengunduran diri beberapa eksekutif senior perusahaan, termasuk CEO saat itu, Jean-Sébastien Jacques. Seperti dikutip dari The Wall Street Journal, Rio Tinto menyebut perjanjian ini sebagai “fondasi baru” untuk membangun hubungan yang lebih kuat, saling percaya, dan menghormati dengan pemilik lahan tradisional.
Dalam pernyataan bersama, Rio Tinto dan PKKP Aboriginal Corporation menekankan pentingnya prinsip persetujuan berdasarkan informasi penuh dan tanpa paksaan (free, prior and informed consent – FPIC), yang akan menjadi landasan dalam proses konsultasi mendatang. FPIC adalah prinsip utama dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, dan selama ini menjadi titik kritik tajam terhadap pendekatan industri ekstraktif.
Dikutip dari Reuters, Ketua PKKP Aboriginal Corporation, Burchell Hayes, mengatakan bahwa perjanjian ini membuka peluang untuk masa depan yang lebih konstruktif dan seimbang. Ia menyebut bahwa masyarakatnya berharap tidak hanya mendapatkan tempat duduk dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga menjadi bagian dari solusi dalam pelestarian situs-situs budaya dan spiritual. “Kami tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kami bisa mempengaruhi bagaimana warisan kami dijaga ke depan,” ujar Hayes.
Rio Tinto selama ini telah berada di bawah tekanan regulator, investor institusional, dan organisasi non-pemerintah untuk mengubah pendekatannya terhadap masyarakat adat dan konservasi warisan budaya. Sejak insiden di Juukan Gorge, perusahaan telah menerapkan serangkaian reformasi internal, termasuk pembentukan komite keberlanjutan di tingkat direksi, revisi kebijakan keterlibatan masyarakat adat, dan pelatihan wajib untuk semua manajer senior.
Bloomberg melaporkan bahwa manajemen baru Rio Tinto, di bawah pimpinan CEO Jakob Stausholm, telah mengambil langkah lebih transparan dan kolaboratif dalam membangun kembali hubungan dengan masyarakat adat. Stausholm mengatakan bahwa komitmen ini bukan sekadar dokumen, melainkan perubahan cara berpikir perusahaan secara menyeluruh. Ia menyebut bahwa pengakuan atas hak budaya dan spiritual komunitas adat adalah bagian dari tanggung jawab korporasi di abad ke-21.
Dalam perjanjian terbaru ini, Rio Tinto juga sepakat untuk memberikan akses lebih luas kepada PKKP terhadap wilayah yang memiliki nilai budaya, mendanai riset arkeologi yang dipimpin oleh komunitas, serta membentuk tim independen pengawas implementasi perjanjian. The Guardian mencatat bahwa langkah ini disambut baik oleh sejumlah organisasi konservasi dan hak asasi, meskipun beberapa pihak masih menuntut tindakan konkret dan berkelanjutan.
Bagi Rio Tinto, reformasi ini juga menjadi cara untuk memperkuat lisensi sosial untuk beroperasi di tengah meningkatnya pengawasan publik dan tekanan ESG (environmental, social, and governance) dari para investor global. Sejumlah pemegang saham besar, termasuk AustralianSuper dan Norges Bank Investment Management, sebelumnya mendesak agar perusahaan membangun model kerja yang lebih etis dan inklusif.
Namun, tantangan tetap ada. Dalam analisis oleh Australian Financial Review, disebutkan bahwa keberhasilan rencana ini akan sangat tergantung pada konsistensi implementasi dan komitmen jangka panjang. Banyak perjanjian serupa di masa lalu gagal karena tidak adanya mekanisme pemantauan independen atau karena dianggap sebagai upaya kosmetik untuk meredakan tekanan reputasi.
Di sisi lain, pemerintah federal Australia juga memperkuat regulasi warisan budaya. Setelah insiden Juukan Gorge, pemerintah negara bagian Australia Barat telah merevisi undang-undang warisan budaya dengan memasukkan klausul partisipasi aktif masyarakat adat. Di tingkat nasional, pemerintah mempertimbangkan regulasi baru yang memberikan komunitas hak veto terhadap proyek yang membahayakan situs budaya mereka.
Sementara itu, para arkeolog dan sejarawan menilai bahwa kasus Juukan Gorge telah menjadi pelajaran penting bagi industri pertambangan secara luas. Seperti dikutip dari Nature, komunitas ilmiah mendorong agar semua aktivitas pertambangan di Australia Barat dan wilayah adat lainnya diawali dengan riset arkeologi dan etnografi yang terstruktur. Banyak situs budaya belum sepenuhnya dipetakan atau didokumentasikan, menjadikan konsultasi yang kuat sebagai langkah vital.
Perubahan strategi Rio Tinto juga bisa menjadi preseden bagi perusahaan lain yang beroperasi di wilayah adat. Dalam laporan Mining Weekly, analis industri menyebut bahwa pendekatan berbasis perjanjian jangka panjang yang mengakui hak kultural dapat memperkuat ketahanan operasi bisnis di tengah tekanan sosial dan lingkungan yang terus meningkat.
Langkah ini menunjukkan bahwa perusahaan tambang besar seperti Rio Tinto mulai menyadari bahwa keberlanjutan tidak hanya berarti emisi karbon yang lebih rendah, tetapi juga penghormatan mendalam terhadap warisan manusia yang telah berakar selama ribuan tahun. Ke depan, semua mata akan tertuju pada pelaksanaan perjanjian ini — apakah perusahaan benar-benar akan menepati janjinya, atau sekadar mengulang siklus kesalahan yang sama.
Dalam dunia yang makin sensitif terhadap isu hak asasi dan keberlanjutan, keputusan Rio Tinto untuk menyepakati manajemen baru bersama PKKP dapat menjadi langkah awal menuju industri pertambangan yang lebih bertanggung jawab dan manusiawi. Dan bagi komunitas adat, ini adalah kesempatan langka untuk mengambil alih narasi atas warisan mereka sendiri — narasi yang selama ini terlalu sering dikorbankan atas nama pembangunan.