(Business Lounge – Automotive) Volvo Cars, salah satu merek otomotif ternama asal Swedia yang kini berada di bawah kendali Geely asal Tiongkok, mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 3.000 karyawan di seluruh dunia. Langkah besar ini menjadi bagian dari inisiatif restrukturisasi yang bertujuan memperkuat daya saing perusahaan di tengah tekanan pasar kendaraan listrik global, biaya bahan baku yang melonjak, serta ketidakpastian perdagangan internasional.
Dalam laporan yang dirilis awal pekan ini dan dikutip oleh Reuters, Volvo menjelaskan bahwa pemangkasan ini akan mencakup 1.300 pekerja kantoran di Swedia serta sekitar 1.000 konsultan eksternal, mayoritasnya juga berbasis di negara asalnya. Sisanya, sekitar 700 posisi, akan dipangkas dari kantor-kantor dan fasilitas Volvo di berbagai negara lainnya. Secara keseluruhan, pemangkasan ini mewakili hampir 7% dari total 42.600 pegawai penuh waktu yang saat ini dimiliki perusahaan.
The Wall Street Journal melaporkan bahwa langkah ini dilakukan sebagai bagian dari program penghematan besar-besaran yang dicanangkan oleh CEO Jim Rowan, yang menargetkan pengurangan biaya operasional hingga 18 miliar krona Swedia atau sekitar 1,7 miliar dolar AS dalam beberapa tahun mendatang. Program ini dinamakan “Global Transformation Initiative”, dan menurut perusahaan, restrukturisasi akan berlangsung secara bertahap hingga musim gugur tahun 2025.
Dalam pernyataannya, Rowan menegaskan bahwa Volvo harus menjadi perusahaan yang lebih lincah dan berorientasi masa depan. Ia menyebutkan bahwa transisi menuju kendaraan listrik memerlukan struktur organisasi yang lebih efisien, serta pengalokasian sumber daya yang lebih strategis. “Kita memasuki era baru dalam industri otomotif. Kami harus memastikan bahwa Volvo tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga memimpin,” ujar Rowan sebagaimana dikutip oleh Bloomberg.
Namun demikian, perusahaan tidak merinci secara detail posisi atau departemen mana saja yang akan terdampak oleh pemangkasan ini. Perwakilan Volvo hanya menyatakan bahwa seluruh unit organisasi sedang dievaluasi untuk memastikan keselarasan dengan strategi jangka panjang perusahaan. Associated Press mencatat bahwa restrukturisasi ini akan membebani perusahaan dengan biaya satu kali sebesar 1,5 miliar krona Swedia, yang akan diakui dalam laporan keuangan mendatang.
Keputusan PHK massal ini datang di tengah tekanan besar yang dialami oleh industri otomotif global, khususnya dalam segmen kendaraan listrik. Permintaan konsumen terhadap EV mulai melambat di beberapa pasar utama, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, akibat ketidakpastian insentif pemerintah, harga jual yang tinggi, dan keterbatasan infrastruktur pengisian daya. Financial Times mencatat bahwa penjualan EV di Eropa tumbuh hanya 3% pada kuartal pertama 2025, dibandingkan 17% pada periode yang sama tahun lalu.
Volvo sendiri telah berambisi besar untuk menjadi merek kendaraan listrik sepenuhnya pada tahun 2030. Perusahaan ini sebelumnya telah menghentikan produksi kendaraan bermesin pembakaran internal di pasar-pasar tertentu dan meluncurkan beberapa model EV baru seperti Volvo EX30 dan EX90. Namun biaya produksi yang tinggi dan ketatnya persaingan dari merek-merek Tiongkok seperti BYD dan Nio telah memaksa Volvo untuk mengkaji ulang langkah ekspansinya.
CNBC mencatat bahwa langkah penghematan dan pemangkasan pekerjaan seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Volvo. Sebelumnya, Ford dan General Motors juga telah mengumumkan rencana efisiensi serupa, termasuk PHK terhadap ribuan pegawai dan pengurangan investasi di sektor EV yang dinilai belum memberikan margin laba yang diharapkan. Fenomena ini menandai pergeseran pendekatan dari “pertumbuhan agresif” menjadi “rasionalisasi biaya” di tengah realitas pasar yang berubah.
Meskipun restrukturisasi ini menuai keprihatinan di kalangan pekerja dan serikat buruh, para analis menilai langkah ini sebagai langkah yang perlu. “Volvo mencoba menyelamatkan neraca mereka sebelum tekanan meningkat lebih jauh. Ini tentang bertahan hidup,” ujar seorang analis pasar otomotif kepada Bloomberg. Menurut dia, tekanan terhadap margin keuntungan Volvo bukan hanya datang dari sisi biaya, tapi juga dari depresiasi krona Swedia dan tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.
Presiden Serikat Pekerja Industri Swedia, Mikael Johansson, dalam keterangannya kepada Dagens Industri menyatakan bahwa keputusan ini menyakitkan, namun bukan tak terduga. Ia menambahkan bahwa pihak serikat akan menuntut proses yang transparan dan adil dalam pelaksanaan PHK, serta kompensasi yang layak bagi karyawan yang terdampak.
Dampak dari pengumuman ini langsung terasa di pasar saham. Saham Volvo naik 3,6% pada hari pengumuman, mencerminkan sentimen investor yang menyambut positif upaya penghematan perusahaan. Namun demikian, sepanjang tahun 2025 saham Volvo masih mencatat penurunan sekitar 24% akibat tekanan pasar secara umum. Financial Times menulis bahwa pasar kini menunggu hasil konkret dari efisiensi ini dalam bentuk margin operasional yang lebih baik dan pertumbuhan laba bersih dalam dua hingga tiga kuartal mendatang.
Selain efisiensi biaya, Volvo juga berupaya memperkuat kehadirannya di pasar-pasar utama yang masih potensial. Salah satunya adalah Amerika Serikat, di mana perusahaan telah memperluas fasilitas produksinya di Carolina Selatan untuk merakit lebih banyak model EV bagi pasar domestik dan ekspor. Volvo juga tengah menjajaki kemitraan baru di bidang teknologi baterai dan perangkat lunak dengan perusahaan-perusahaan seperti Northvolt dan Luminar Technologies.
Langkah-langkah ini, sebagaimana dikutip dari TechCrunch, menunjukkan bahwa Volvo tidak sekadar memangkas biaya untuk menyelamatkan neraca, tetapi juga mengubah strategi bisnis secara mendasar. Fokus tidak lagi hanya pada produksi kendaraan, tetapi pada penguasaan teknologi masa depan seperti software berbasis kendaraan, layanan berbasis cloud, dan fitur otonom.
Namun di sisi lain, tantangan tetap besar. Beberapa pengamat memperingatkan bahwa PHK massal bisa berdampak pada moral internal dan menghambat inovasi, terutama jika talenta-talenta utama ikut hengkang. Oleh karena itu, Volvo harus mampu menyeimbangkan antara efisiensi dan semangat pembaruan.
Dalam pernyataan publiknya, Volvo menyatakan bahwa pihaknya akan memberikan dukungan transisi bagi karyawan yang terdampak, termasuk pelatihan ulang, bantuan karier, dan konsultasi individual. “Kami tidak mengambil keputusan ini dengan ringan. Kami memahami dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan profesional banyak orang,” ujar perusahaan dalam rilis resmi yang dikutip oleh Reuters.
Melalui restrukturisasi ini, Volvo berharap bisa memosisikan diri sebagai pemimpin di industri otomotif masa depan yang semakin digerakkan oleh software, berkelanjutan secara lingkungan, dan responsif terhadap perubahan geopolitik global. Di tengah tekanan dan ketidakpastian, perusahaan tampaknya memilih untuk bertindak proaktif ketimbang menunggu situasi memaksa.
Seiring dengan bergesernya peta kekuatan industri otomotif global dari Eropa ke Asia, dan dengan naiknya perusahaan-perusahaan teknologi sebagai pemain utama dalam ekosistem mobilitas, masa depan Volvo sangat bergantung pada kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan cepat. Langkah efisiensi ini, jika berhasil dieksekusi tanpa mengorbankan kapasitas inovasi, dapat menjadi pondasi penting bagi perjalanan baru perusahaan menuju dekade selanjutnya.
Sebagaimana dikatakan oleh CEO Jim Rowan kepada WSJ, “Kita tidak sedang hanya memangkas biaya. Kita sedang membangun Volvo baru.” Dan mungkin, Volvo yang baru ini akan terlihat jauh berbeda dari pabrikan asal Gothenburg yang dikenal selama hampir satu abad terakhir.