Vodafone

Vodafone Luncurkan Buyback Saham

(Business Lounge – Technology) Vodafone Group Plc, salah satu raksasa telekomunikasi Eropa, secara resmi meluncurkan program pembelian kembali saham (buyback) sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham, seiring keyakinan manajemen bahwa operasional perusahaan di Jerman akan kembali tumbuh pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2026. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa Vodafone mulai keluar dari bayang-bayang stagnasi di pasar domestik utamanya, sekaligus merespons tekanan investor atas kinerja saham yang kurang memuaskan dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagaimana dilaporkan oleh Bloomberg, Vodafone mengumumkan akan memulai buyback senilai €2 miliar, didukung oleh peningkatan arus kas operasional dan ekspektasi bahwa divisi Jerman akan mengalami pembalikan arah setelah masa kontraksi selama dua tahun berturut-turut. Program buyback ini dimaksudkan untuk dilaksanakan secara bertahap dan mencerminkan optimisme perusahaan atas prospek jangka menengah.

Jerman selama ini menjadi pasar terpenting bagi Vodafone, menyumbang hampir sepertiga dari pendapatan grup. Namun sejak 2022, divisi ini mengalami penurunan pendapatan dan hilangnya pelanggan, terutama akibat perpindahan massal pelanggan kabel ke penyedia layanan internet berbasis fiber optik yang lebih cepat dan stabil. Perubahan pola konsumsi media, serta ketatnya regulasi harga dan perlindungan konsumen di Jerman, turut memperparah tekanan terhadap margin.

CEO Margherita Della Valle, yang menjabat sejak 2023, telah menjadikan pemulihan bisnis di Jerman sebagai prioritas utama. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh The Wall Street Journal, ia menyatakan, “Kami kini berada di jalur yang tepat untuk mengembalikan pertumbuhan di Jerman. Investasi yang kami lakukan dalam kualitas jaringan dan pengalaman pelanggan mulai membuahkan hasil.”

Vodafone telah merombak total strategi operasional di Jerman, termasuk perbaikan infrastruktur jaringan kabel, peningkatan layanan pelanggan, serta peluncuran paket bundling yang lebih kompetitif. Perusahaan juga mempercepat investasi dalam teknologi fiber melalui kemitraan strategis dengan Altice, yang ditujukan untuk membangun jaringan fiber-to-the-home (FTTH) ke jutaan rumah tangga Jerman dalam lima tahun ke depan.

Hasil awal dari transformasi ini mulai terlihat dalam laporan keuangan tahun fiskal 2025, di mana penurunan pelanggan berhasil ditekan dan churn rate menurun secara signifikan. Walau pendapatan di Jerman masih sedikit menyusut pada tahun fiskal tersebut, tren perbaikan kinerja operasional dinilai cukup untuk membenarkan peluncuran program buyback.

Saham Vodafone pun langsung merespons positif. Sejak pengumuman buyback, harga saham Vodafone naik lebih dari 5 persen dalam perdagangan di London, mengindikasikan kepercayaan pasar terhadap prospek pemulihan. Para analis melihat keputusan ini sebagai langkah positif untuk memperbaiki hubungan dengan pemegang saham, terutama setelah penurunan nilai saham hampir 40 persen sejak 2021.

“Ini adalah sinyal yang dibutuhkan investor. Vodafone menunjukkan bahwa mereka percaya pada pemulihan bisnis inti mereka, terutama di Jerman,” kata James Ratzer, analis telekomunikasi di New Street Research, kepada Bloomberg. Ia juga menambahkan bahwa buyback ini bisa menjadi awal dari restrukturisasi kepemilikan modal yang lebih agresif di masa depan.

Namun di balik optimisme tersebut, tantangan masih membayangi. Pasar telekomunikasi Eropa tetap terfragmentasi dan sangat kompetitif. Tekanan regulasi, tuntutan investasi jaringan yang tinggi, dan kebijakan harga yang cenderung konservatif membatasi kemampuan operator seperti Vodafone untuk secara drastis meningkatkan margin. Selain itu, langkah ekspansi ke pasar negara berkembang seperti Turki dan Afrika Sub-Sahara membawa risiko geopolitik dan volatilitas mata uang yang tidak kecil.

Untuk itu, Vodafone juga mulai merampingkan portofolio bisnisnya. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan telah melepas sejumlah aset yang dinilai tidak strategis, termasuk menjual operasi di Spanyol kepada Zegona Communications dan menjajaki opsi divestasi di Italia. Hasil dari penjualan ini sebagian digunakan untuk memperkuat neraca dan mendanai buyback saham.

Menurut Della Valle, “Kami ingin membangun Vodafone sebagai perusahaan yang lebih sederhana, fokus, dan menguntungkan. Kami akan memprioritaskan pasar di mana kami memiliki skala, keunggulan kompetitif, dan prospek jangka panjang yang jelas.”

Strategi ini mendapatkan dukungan dari investor institusional, termasuk kelompok aktivis seperti Cevian Capital, yang sebelumnya telah mengkritik struktur Vodafone yang terlalu kompleks dan lambat dalam mengambil keputusan strategis. Cevian secara terbuka mendukung langkah restrukturisasi dan buyback ini, seraya mendorong manajemen untuk terus menyederhanakan struktur operasional.

Di sisi lain, kemajuan Vodafone di bidang teknologi juga patut dicatat. Perusahaan baru-baru ini mengumumkan kolaborasi dengan Microsoft dan Amazon Web Services dalam pengembangan layanan cloud-native dan edge computing untuk bisnis. Langkah ini memperluas jangkauan Vodafone di sektor enterprise dan menunjukkan ambisi mereka untuk tidak hanya menjadi penyedia konektivitas, tetapi juga mitra digital strategis bagi perusahaan di Eropa.

Analis dari Deutsche Bank menyebut bahwa “langkah Vodafone menyeimbangkan strategi ‘defensif’ berupa buyback dengan ekspansi ke teknologi digital dan jaringan fiber adalah sinyal bahwa manajemen kini lebih realistis dan adaptif terhadap lanskap industri yang berubah.”

Meskipun semua sinyal ini menunjukkan arah yang menjanjikan, para investor akan tetap memantau dengan ketat apakah janji pertumbuhan di Jerman benar-benar terealisasi dalam laporan kuartal berikutnya. Target untuk mencetak pertumbuhan positif di pasar tersebut pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2026 menjadi titik uji kredibilitas CEO dan strategi restrukturisasi Vodafone secara keseluruhan.

Jika target ini tercapai, maka Vodafone bukan hanya berhasil mengembalikan kepercayaan pasar, tapi juga membuka ruang untuk kebangkitan lebih luas dalam sektor telekomunikasi Eropa yang selama ini tertinggal dibandingkan rekan-rekan globalnya di Asia dan Amerika Serikat.