Meta

Meta Dilanda Wabah Penipuan Digital Global

(Business Lounge – Technology) Di balik layar gemerlap Instagram dan Facebook, raksasa teknologi Meta kini tengah bergulat dengan sebuah epidemi digital yang meluas secara global: penipuan daring. Jutaan pengguna dari berbagai negara menjadi sasaran iklan palsu, penawaran fiktif, hingga penipuan adopsi anjing yang sepenuhnya dikendalikan oleh jaringan kriminal internasional. Masalah ini tidak lagi sekadar isu teknis atau operasional, melainkan menjadi pertaruhan atas integritas platform yang digunakan lebih dari tiga miliar orang setiap bulannya.

Dalam laporan investigatif yang dirilis oleh The Wall Street Journal, berbagai mantan dan karyawan aktif Meta mengungkap bahwa perusahaan telah lama mengetahui skala dan pola penipuan ini, namun cenderung ragu untuk mengambil langkah signifikan karena khawatir akan mengganggu mesin utama pendapatan mereka: iklan digital.

Salah satu modus penipuan yang marak adalah penawaran produk dengan harga sangat murah, mulai dari sepatu bermerek, perabot rumah, hingga hewan peliharaan eksotis. Pelaku menggunakan akun palsu untuk memposting iklan di Facebook Marketplace atau Instagram, mengarahkan calon korban ke situs palsu, dan menyedot informasi pribadi serta dana mereka. Dalam banyak kasus, produk yang dijanjikan tidak pernah ada. Dalam beberapa kasus ekstrem, data finansial korban digunakan untuk serangan lanjutan atau penjualan di pasar gelap digital.

Seorang mantan analis kebijakan Meta yang diwawancarai oleh Bloomberg menyebut masalah ini sebagai “kerusakan reputasi yang terus berdarah”. Ia menyatakan bahwa algoritma Meta tidak hanya gagal mendeteksi iklan penipuan, tetapi justru mempromosikannya lebih sering karena iklan tersebut biasanya memiliki tingkat klik yang tinggi. “Platform ini secara tidak sengaja memberi insentif pada aktor jahat karena mereka tahu apa yang memicu emosi dan keingintahuan pengguna,” katanya.

Menurut Reuters, banyak jaringan kriminal yang menjalankan operasi penipuan ini berbasis di Asia Tenggara, Afrika Barat, dan Eropa Timur. Mereka memanfaatkan celah moderasi, sistem otomatis Meta yang rentan dimanipulasi, dan kurangnya pelaporan yang transparan untuk menyebar secara sistematis. Beberapa kelompok bahkan dikenal memiliki skema pelatihan khusus untuk memproduksi akun palsu dan mengelola ribuan iklan dalam waktu bersamaan.

Masalah ini menjadi semakin kompleks karena Meta adalah salah satu platform iklan terbesar di dunia. Pada 2024, pendapatan iklan perusahaan melebihi $130 miliar, dan sebagian besar berasal dari saluran otomatis yang tidak diverifikasi secara manual. Financial Times melaporkan bahwa dalam banyak kasus, pengiklan penipu membayar langsung melalui sistem iklan self-service, sehingga Meta tidak memiliki insentif finansial langsung untuk menolaknya kecuali terjadi pelanggaran yang sangat mencolok.

Karyawan Meta sendiri berada dalam dilema moral. Sejumlah staf bagian keamanan menyebut kepada The Wall Street Journal bahwa usulan untuk memperketat verifikasi pengiklan atau menunda penayangan iklan yang mencurigakan sering kali ditolak oleh pimpinan eksekutif karena dianggap memperlambat arus pemasukan. Dalam beberapa pertemuan internal, perhatian terhadap peningkatan moderasi konten dikalahkan oleh fokus pada “pengalaman pengguna yang cepat dan tidak terganggu”.

Padahal korban dari wabah penipuan ini sangat nyata. Di Inggris, BBC melaporkan peningkatan laporan penipuan yang terkait dengan Instagram dan Facebook sebanyak 18% dalam satu tahun terakhir. Banyak korban merasa bahwa platform tidak memberikan dukungan berarti setelah mereka dirugikan. Mekanisme pelaporan dianggap lambat, dan hampir mustahil untuk menghubungi manusia nyata di balik sistem layanan pelanggan Meta.

Kasus adopsi anjing palsu menjadi salah satu contoh yang paling menyentuh. Seorang pengguna di California, menurut laporan NPR, mentransfer lebih dari $600 untuk mengadopsi seekor anak anjing French Bulldog melalui iklan Instagram yang tampak sah. Setelah pembayaran dilakukan, tidak ada kabar lanjutan. Akun penjual menghilang, dan situs web yang digunakan pun langsung offline. Saat melaporkan kejadian ini ke Meta, korban hanya menerima tanggapan otomatis tanpa ada tindak lanjut.

Fenomena ini menciptakan tekanan yang meningkat terhadap regulator global. Di Eropa, Komisi Eropa sedang meneliti apakah Meta telah melanggar Digital Services Act (DSA), sebuah regulasi baru yang mewajibkan platform teknologi besar untuk secara aktif memitigasi risiko sistemik termasuk penipuan daring. Jika terbukti lalai, Meta bisa dikenai denda hingga 6% dari total pendapatannya di Uni Eropa.

Di Amerika Serikat, Senator Elizabeth Warren kembali menyerukan perlunya pembentukan badan pengawas khusus untuk mengawasi penyalahgunaan iklan digital. Dalam wawancara dengan CNBC, Warren menyatakan bahwa “raksasa seperti Meta tidak bisa terus bersembunyi di balik algoritma ketika jutaan orang dirugikan”. Ia juga menekankan bahwa pengawasan mandiri tidak memadai dan harus digantikan oleh pengawasan publik.

Meta sendiri menyatakan bahwa mereka telah meningkatkan anggaran keamanan dan moderasi lebih dari $5 miliar per tahun. Juru bicara perusahaan, dalam pernyataan kepada Bloomberg, menyatakan bahwa “kami tidak mentoleransi aktivitas penipuan dan terus berinvestasi dalam teknologi dan tim keamanan untuk mendeteksinya”. Mereka juga mengklaim telah menghapus miliaran akun palsu setiap tahun.

Namun, para pakar menyebut bahwa pendekatan Meta masih terlalu reaktif. Dr. Laura Edelson, peneliti keamanan digital dari New York University, menyatakan bahwa selama struktur insentif Meta tetap didominasi oleh klik dan engagement, penipuan akan terus menemukan celah. “Sistem dirancang untuk mendorong konten yang menarik perhatian, dan penipu sudah lama menguasai seni tersebut,” ujar Edelson kepada The Verge.

Pengguna juga menghadapi dilema. Di satu sisi, Instagram dan Facebook telah menjadi bagian integral dari kehidupan digital, sumber informasi, hiburan, bahkan penghasilan. Di sisi lain, risiko terkena penipuan semakin tinggi. Banyak pengguna kini beralih ke komunitas daring untuk memverifikasi iklan atau penjual, menciptakan sistem verifikasi alternatif yang tidak bergantung pada platform itu sendiri.

Beberapa organisasi nonprofit pun mulai memberikan pelatihan kepada masyarakat tentang cara mengenali iklan palsu, membaca tanda-tanda scam, dan melindungi data pribadi. Di Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan bahwa edukasi digital kini menjadi garda terdepan dalam memerangi penipuan daring, mengingat kecepatan penyebaran iklan palsu melebihi kemampuan respons hukum atau teknis.

Sementara itu, Meta kini berada di titik kritis. Jika tidak segera melakukan reformasi mendalam terhadap sistem periklanan dan moderasi mereka, kepercayaan pengguna bisa terkikis secara permanen. Dunia digital telah berubah. Kini bukan hanya soal menyediakan ruang bagi interaksi sosial, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman dari eksploitasi.

Dalam era ketika kecepatan dan kenyamanan digital sering mengalahkan kehati-hatian, tantangan Meta menjadi lebih besar dari sekadar menutup akun palsu. Ini adalah pertarungan untuk mempertahankan nilai-nilai dasar kepercayaan di era algoritma.