(Business Lounge Journal – Essay Competition)
1st
Just another day rolling in the city. Having been flushed mildly by the rain, the street is cooler than usual for a naked feet to walk on. It’s a nice day…yet all the bug in the mind is much offbeat than the people around…what will be put on the dinner street table tonight?
Jakarta, the land of promise for some dreamers with its divergent opportunities. The city has cultivate the highest modernization amongst other cities in this nation. It constantly advertise wealth, civilization, and a better living. There has never been a downturn of urbanization to this city.
Yet one should realize there is ‘no gain without pain’. As this city is also the land of bricks and stonewalls that barricade one’s heart to look on others. A city of economy jungle with its survival nature. The upper crust can easily spread their wings to fly above the needy, whilst the hindered would be a beggar in the bottom of social status pyramid.
Consumerism has find its prey utilize the gap to provoke all kind of people to stretch themselves in desiring the more the bigger, even to the extend of the impossible that has shift the nature of cooperation into competition, nurturing others into self centeredness and the most devastating is turning the humility into pride at all cost. This generates high collar corruption, crimes, and human degradation where Rupiah worth more than one’s life.
Though it is inevitable for a human being to find who is to blame….yet it is pointless in the act itself. The real question is ‘what can we do to those thick invisible wall that we create ourselves with our blinded heart’? Either we stand on the haves or the misfortunes, the wise ones will put themselves accountable to break their own wall that has shun away in looking to and through others.
We have clouded our judgement by stigmas whereas the haves never struggle with their pocket and the lower crust need nothing else than money. We forgot that all of us has one common ground and that we are all human that simply wants to be noticed, appreciated and moreover being loved.
If only the people of Jakarta simply shows compassion towards other despite all visible differences this city would truly be the city of promise. As the capital of this nation, Jakarta can offer its best potentials to bring the best of all of us, to make the most of its modernization, to magnetize contributors and opens up vast opportunities for the people.
Jakarta….Oo…Jakarta, how we long for transformation….how we long for compassion.
Cherria Gratiane Supit – Property Consultant, Public Relation FKLPI – Dirjen Binalattas
.2nd
Jakarta…
Apa sih yang terlintas dalam benak banyak orang saat mendengar atau membaca kata itu? Beberapa hal yang terlintas dalam pikiran banyak orang saat mendengar kata “Jakarta” adalah macet, rutinitas, penat, padatnya penduduk, dan banyak hal lainnya. Walaupun kebanyakan yang terlintas pertama kali adalah hal-hal negatif tetapi di satu sisi Jakarta merupakan rumah bagi para penduduknya.
Jakarta merupakan kota metropolitan yang menjadi tujuan para masyarakat Indonesia untuk merubah nasib. Hal ini menjadi salah satu utama mengapa Jakarta merupakan kota dengan penduduk terpadat di Indonesia. Kepadatan penduduk itulah membuat Jakarta tidak bisa terlepas dari yang namanya macet.
Tingkat kriminalitas yang tinggi dan transportasi umum yang belum memadai membuat kebanyakan masyarakat memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Dengan banyaknya penduduk yang memilih menggunakan kendaraan pribadi, maka jalanan di daerah ibukota ini penuh sesak dengan kendaraan pribadi yang membuat para penggunanya penat karena macet dan terlambat masuk ke kantor atau kelas di kampus.
Padat penduduk, padat kendaraan pribadi maupun umum, macet, rutinitas, dan tingkat polusi yang tinggi. Itu adalah beberapa hal yang terlintas di pikiran saya saat membaca atau mendengar kata “Jakarta”. Terkadang enggan rasanya untuk memulai aktivitas di tengah-tengah kepadatan ibukota tersebut, tetapi apa daya di satu sisi Jakarta merupakan rumah bagi para penduduknya yang memilih untuk menetap di kota Metropolitan ini.
Walaupun banyak hal negatif yang terlintas di pikiran saat mendengar kata “Jakarta” tetapi ada beberapa hal yang membuat saya rindu pada kota yang dulu bernama Batavia ini. Pertama, suasana Jakarta pada saat hari raya Lebaran. Lebaran merupakan hari liburan saat masyarakat Jakarta merasakan ketenangan sesaat dari kota yang sangat padat dan macet yang tak ada akhirnya. Suasana pada hari raya ini merupakan hal yang sangat dinikmati karena pada saat lebaranlah jalanan ibu kota menjadi sepi tanpa adanya macet. Kedua, suasana mall-mall menjelang natal. Memasuki bulan Desember, mayoritas mal-mal di Jakarta bernuansa Natal saat kita dapat melihat semua pernak-pernik hiasan Natal dijual dan dipasang. Dari pohon natal, lampu natal, boneka Santa Clause, dan lagu-lagu natal yang diputar di setiap sudut mall tersebut membuat masyarakat yang merayakan Natal tidak sabar untuk hari raya itu segera tiba.
Bukan hanya suasana pada saat hari besar sebuah kepercayaan saja yang membuat saya rindu pada Jakarta tetapi juga kulinernya. Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki keanekaragamaan di Indonesia karena banyaknya masyarakat yang bertransmigrasi. Hal ini membuat Jakarta memiliki wisata kuliner dari berbagai macam budaya di Indonesia ataupun Internasional. Makanan khas dari banyak daerah pun dapat kita temui disini. Dari makanan lokal sampai makanan internasional, semua tersedia. Masakan Arab di daerah Cikini, masakan Manado di daerah Blok M, ataupun masakan Batak di Senayan, rasanya dijamin memanjakan lidah dan perut masyarakat.
Menjelang penghujung tahun, apalagi yang dinanti selain pesta kembang api yang diadakan di pusat Ibukota yaitu bunderan HI. Untuk menyambut awal tahun, Jakarta memarakan suasana dengan diadakan pesta kembang api dan masyarakat dapat menikmati acara tersebut. Melihat ratusan kembang api yang dinyalakan dan menghiasi langit Jakarta merupakan salah satu hal yang paling tepat untuk dinikmati masyarakat dalam menutup tahun yang lama dan menyambut 365 hari di tahun yang baru.
Jakarta…
Walaupun banyak negatif yang terlintas saat mendengar kata itu tetapi kota padat ini merupakan rumah bagi kami yang menetap disini. Walaupun banyak hal di luar kota ini yang menarik perhatian tetapi Jakarta merupakan kota tempat kami sebagai penduduknya untuk pulang. Kota Metropolitan yang padat penduduk tetapi yang paling dirindukan adalah suasana pada saat hari-hari tertentu yang membuat masyarakatnya lebih menikmati kota ini lebih baik saat jalanan sepi dan tenang serta suasana perayaan suatu kepercayaan dapat ditemukan disudut kota ini. Kuliner yang memanjakan perut dan lidah masyarakat serta suasana menyambut tahun baru. “Jakarta”, terkadang yang terlintas di kepala saya saat mendengar kata itu adalah ‘rumah’.
Ammy Hetharia – Adventurer, Free-spirited, and a child at heart who wish to become a writer. Love the Southern part of Jakarta so much
3rd
Jakarta, Kota Metropolitan Yang Dikelilingi Teknologi
Sebagai kota metropolitan, tentunya Jakarta mempunyai daya tarik tersendiri, yang tentunya membuat banyak orang berlomba untuk mengadu nasib di Jakarta. Di tengah era revolusi teknologi, kota Jakarta memiliki persoalan tersendiri, yaitu kondisi ketika seseorang bisa menjadi “ansos” atau “anti sosial”, karena lebih terbiasa berinteraksi dengan teknologi, dibandingkan berinteraksi langsung dengan orang lain.
Di satu sisi, teknologi sebenarnya merupakan hal yang menguntungkan. Penyampaian informasi saat ini, sangat cepat disampaikan dengan menggunakan teknologi. Proses bisnis pun, dapat lebih cepat dilakukan berkat kemajuan teknologi yang ada. Tetapi, pada kenyataannya, teknologi tidak selalu memberikan dampak positif. Di era revolusi teknologi yang semakin maju, terkadang seseorang akan terlihat “terjebak” dengan teknologi yang ada.
Ketika seseorang “terjebak” dengan teknologi, tentunya hal itu merupakan awal mula dari kecanduan teknologi yang bisa terjadi. Kecanduan teknologi tersebut, terkadang kita jumpai pada orang yang ada di Jakarta. Mereka berlalu lalang dan tidak perduli dengan sekitarnya, hanya sibuk memandang gadget yang seolah tak dapat lepas dari genggaman tangan mereka. Kondisi itulah, yang pada akhirnya bisa membuat pribadi seseorang menjadi “ansos” atau “anti sosial”
Dampak dari “ansos” tersebut, tentunya adalah berkurangnya empati terhadap orang lain. Itulah yang terkadang ditemukan, saat orang menganggap orang lain yang tidak sama seperti dirinya atau komunitasnya adalah lebih buruk dan membosankan. Padahal, Jakarta sendiri merupakan tempat yang kaya dengan berbagai jenis manusia, dimana setiap orang pastinya memiliki keunikan tersendiri dan tidak dapat disamakan. Tetapi, fenomena “ansos” bisa mengikis empati dan menciptakan pribadi yang acuh tak acuh kepada orang lain.
Kini, berbagai upaya telah dilakukan untuk menyeimbangkan penggunaan teknologi bagi masyarakat Jakarta, dimana salah satunya untuk menghilangkan stigma “ansos” yang ada di Jakarta. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan menyatu dengan alam dan mengutamakan kebersamaan.
Adalah upaya yang mendekatkan manusia ke alam, yaitu outing dan outbound, yang tentunya saat ini sudah merupakan hal yang sering direncanakan oleh berbagai perusahaan yang ada di Jakarta. Ribuan orang yang selama ini mengenakan jas mewah, kemeja, dan dasinya, kini seperti “diajak” untuk melepaskan “atribut” mereka untuk kembali ke tengah alam untuk sejenak menanggalkan teknologi yang selama ini mengelilingi mereka. Mungkin Anda berpikir, berlibur yang dekat dengan alam? Apakah dengan itu harus keluar dari Jakarta untuk bisa merealisasikannya? Jawabannya, tentu tidak! Inilah hebatnya Jakarta, selain kota metropolitan yang sibuk, Jakarta juga punya sisi lainnya yang penuh keindahan alamnya, yaitu Kepulauan Seribu.
Jakarta, Tempatnya Laut Biru Yang Memanjakan Mata
Bicara mengenai alam, Kepulauan Seribu tentunya bisa menjadi pilihan untuk outing maupun outbound. Kepulauan Seribu sendiri, merupakan wilayah kabupaten administratif DKI Jakarta. Kepulauan Seribu terdiri dari berbagai pulau yang kaya dengan bawah lautnya yang dapat dinikmati, yaitu di Pulau Harapan, Pulau Pari, Pulau Tidung, dan pulau lainnya. Aktivitas seperti snorkeling atau berenang di Kepulauan Seribu, tentunya merupakan hal yang tepat untuk dilakukan untuk menghilangkan kecanduan teknologi yang kerap kali terjadi di Jakarta. Sejenak di tengah keindahan alam Kepulauan Seribu, mampu membuat seseorang terhanyut di tengah keindahan alam dan melupakan gadget yang selama ini tak pernah lepas dari genggamannya.
Di sisi lain, saya menyukai keberadaan Kepulauan Seribu yang memang bisa menjadi sarana outbound dan outing bagi masyarakat perkotaan Jakarta. Ya, Kepulauan Seribu dengan lautnya yang biru dan hijau toska, menjadi pilihan bagi setiap masyarakat Jakarta yang ingin sejenak relaksasi dari kesibukannya di kota besar.
Siapa yang tak bahagia merasakan indahnya snorkeling maupun diving di Kepulauan Seribu. Lautnya yang indah, dan ikan berwarna-warni yang berkeriapan di bawah lautnya, tentunya merupakan hal yang memanjakan mata. Semua itu, sanggup untuk membuat seseorang melepaskan matanya sejenak dari teknologi, dan mengarahkan matanya pada ikan laut. Para eksekutif atau pebisnis yang selama ini berjas mewah, pastinya rela melepaskan semua “atribut” mereka demi merasakan dinginnya air laut di Kepulauan Seribu yang begitu memberi kesegaran.
Jakarta memang mempesona. Seringkali, orang hanya terpikir pada kota besar dengan lampu malamnya yang menyala. Seringkali orang hanya terpikir pada gedung tinggi dan mobil mewah yang kerap kali melintas di jalan tolnya yang luas. Tetapi, Jakarta sebenarnya juga mempunyai sisi alam yang mempesona, dimana Jakarta juga memiliki laut biru yang mempesona dengan segala ikan lautnya.
Kota metropolitan yang sibuk, dan kepulauan yang berpasir bersih dengan lautnya yang biru. Mungkin, sepertinya dua hal itu tidak mungkin bertemu. Tetapi, dua hal itu ada di Jakarta. Dan dua sisi itulah, yang membuat Jakarta tak terlupakan dan selalu istimewa di hati.
Reuben Lee – just an ordinary banker who’s currently residing in Jakarta for 40 years, and love Jakarta so much