Perusahaan-perusahaan Di Asia Terancam Resesi

(Business Lounge – Business Insight)-Perekonomian Amerika Serikat yang belum cukup stabil, terutama terkait rencana pemerintah menaikkan tingkat suku bunga menjadi ancaman bagi perusahaan Asia yang tersangkut utang dalam dolar Amerika Serikat.

Kita tahu bahwa dalam beberapa tahun terakhir, di tengah pertumbuhan ekonomi kuat dan suku bunga rendah, perbankan memberikan pinjaman miliaran dolar kepada perusahaan-perusahaan di Asia. Tapi kini seiring pelemahan ekonomi Tiongkok yang merupakan lokomotif pertumbuhan Asia maka dipastikan hutang piutang perusahaan-perusahaan tersebut bertambah. Hal ini dikarenakan pemangkasan proyeksi pertumbuhan mengurangi laba, sedangkan jumlah mata uang lokal yang dibutuhkan untuk membayar bunga juga lebih banyak.

Lalu siapa yang akan paling menanggung beban lebih berat? Tentu saja akam dirasakan oleh peminjam di Asia Tenggara, kawasan yang mengalami depresiasi mata uang paling tajam.

Tercatat ada empat bank terbesar Thailand mencatat kredit macet naik ke 2,8% dari total pinjaman, dibanding 2,6% pada akhir 2013. Bank Indonesia memprediksi bahwa kredit macet naik menjadi 2,4% pada 2014 dari 1,8% pada tahun sebelumnya.

Seperti yang dilansir oleh The Wall Street Journal, “Dolar AS yang kian menguat serta suku bunga lebih tinggi di AS akan kian menyulitkan perusahaan membayar utang [dalam dolar AS] melalui penerimaannya domestik,” ujar Hung Tran dari Institute of International Finance.

Mengacu pada apa yang terjadi pada krisis moneter tahun 1998 maka kondisi ini hampir sama dengan apa yang terjadi saat itu dimana mata uang lokal merosot terhadap dolar AS. Perbankan pun mengalami tekanan karena perusahaan yang meminjam dalam denominasi dolar AS sulit membayar utang.

Sayang sekali masih banyak analis mengesampingkan perbandingan tersebut. Pasalnya, perbankan di kawasan kini lebih terkapitalisasi dan pemerintah memiliki cadangan devisa yang baik.

Pasca krisis keuangan tahun 2008 lalu, banyak perusahaan Asia memanfaatkan tingkat suku bunga rendah dan gelombang dana segar di pasar global, di tengah upaya AS menggelontorkan stimulus ke dalam sistem keuangan.

Pada tahun 2014, mata uang Asia alami pelemahan. Desember tahun lalu, Bank Indonesia harus melakukan intervensi guna menjaga nilai rupiah karena tingkat depresiasi yang tinggi. Malaysia dan Thailand pun mengalami hal serupa.

Para analis dan bankir meyakini bahwa dalam situasi yang pelik semacam ini, masih ada perusahaan yang belum terproteksi.

Keith Pogson dari Ernst & Young Asia-Pasifik berpendapat bahwa ancaman terbesar bagi pengutang adalah terjadi kurs mata uang bergerak ke arah tidak bersahabat, sementara liabilitas berada dalam denominasi dolar AS dan arus laba adalah dalam mata uang lokal.

 

 

Febe/Journalist/VMN/BL

Editor: Tania Tobing

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x