(Business Lounge – World News) – PBB yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan keselamatan penerbangan internasional akan mengadakan konferensi tingkat tinggi pada bulan Februari untuk 191 negara yang menjadi anggotanya dalam mengatasi masalah yang dipicu oleh tragedi jatuhnya jet Malaysia Airlines terbang di daerah perselisihan timur Ukraina pada tanggal 17 Juli kemarin.
Namun International Civil Aviation Organization, yang telah bertemu pekan ini di Montreal dengan para perwakilan dari pilot, maskapai penerbangan dan organisasi kontrol lalu lintas udara, mengakui bahwa kendala utamanya adalah bagaimana setiap negara dapat memberikan penilaian yang jujur tentang risiko penerbangan komersial di atas wilayah mereka .
Sebuah kasus yang muncul pada hari Rabu kemarin, ketika pemerintah Irak bersikeras bahwa wilayah udaranya aman, meskipun terdapat risiko bahwa militan Islam sudah menyerang beberapa wilayah permukaan udara dengan rudal ketika terjadi penggerebekan dari militer Irak baru baru ini. Air France, KLM, Virgin Atlantic, Emirates dan Etihad airlines melaporkan bahwa mereka telah mengidentifikasi rute alternatif di sekitar wilayah yang dikuasai pemberontak, atau bahkan telah memberhentikan semua penerbangan di atas Irak.
Malaysia Airlines MH 17 membawa 298 penumpang dan awak pesawatnya dari Amsterdam ke Kuala Lumpur, ibukota Malaysia, ketika jatuh oleh rudal di permukaan udara saat terbang di atas 33.000 kaki timur Ukraina. Semua di dalam penerbangan iti telah tewas.
Pemerintah Ukraina telah mengeluarkan pemberitahuan beberapa hari sebelum tragedi memperingatkan bahwa pesawat komersial harus tetap di atas 32.000 kaki ketika di atas wilayah timur yang diduduki oleh separatis bersenjata. Tapi roket SA-7 roket dan sistem peluncur BUK diyakini telah dipasok oleh Rusia dimana mampu mencapai target setinggi 19 kilometer, sekitar tiga kali ketinggian penerbangan jet.
Pada pertemuan Selasa kemarin ahli keselamatan penerbangan di Montreal, pejabat yang mewakili International Air Transport Assn. mengatakan bahwa maskapai penerbangan memerlukan akses ke “informasi netral berdasarkan kriteria yang obyektif.”
Seorang pejabat IATA dikutip oleh surat kabar Globe and Mail mengatakan bahwa beberapa negara memiliki insentif ekonomi untuk meminimalkan risiko terbang di atas wilayah mereka karena pemerintah mendapatkan fee dari operator untuk menyediakan kontrol lalu lintas udara.
“Airlines tidak memiliki agen CIA yang bekerja untuk mereka,” kata sumber IATA tersebut. “Pada akhir hari, penerbangan harus memutuskan apakah akan terbang atau tidak berdasarkan informasi yang akurat.” Beberapa negara, kata sumber itu, “tidak akan pernah mengatakan ada masalah dengan wilayah udara mereka.”
The International Civil Aviation Organization (ICAO) harus bergantung pada informasi yang diberikan secara sukarela mengenai potensi bahaya yang ada, dan tidak memiliki wewenang untuk menutup wilayah udara sekalipun ada risiko yang diidentifikasi.
Badan PBB serta IATA dan organisasi lain yang mewakili bandara, penerbangan dan pengendali mengeluarkan pernyataan setelah pertemuan mereka kemarin mengatakan bahwa “negara-negara telah diingatkan oleh ICAO akan tanggung jawab mereka untuk mengatasi setiap potensi risiko terhadap penerbangan sipil di wilayah udara mereka.”
Kepala IATA Tony Tyler mengatakan pada konferensi pers setelah pertemuan di Montreal bahwa negara-negara anggota memiliki “kewajiban moral” untuk memberikan informasi yang relevan dan dapat diandalkan.
“Bahkan informasi sensitif dapat diseleksi dengan cara memastikan bahwa setiap maskapai penerbangan akan mendapatkan informasi penting dan ditindaklanjuti tanpa berkompromi dengan metode atau sumber yang digunakan,” ditambahkan oleh Tyler.
Arum/Journalist/VM/BL
Editor: Iin Caratri
Image: Antara