(Business Lounge – Present Your Service) Seorang teman dengan nada ringan melontarkan pertanyaan “Lebih mudah minta maaf atau memaafkan?” Hal ini cukup menggelitik saya untuk berpikir. Keduanya harus dapat dilakukan dengan porsi yang sama.
Apa alasannya?
Berbicara tentag Service maka kedua hal ini haruslah dapat diterapkan dengan seimbang, baik oleh customer maupun bagi pemberi service. Keduanya sangat penting dalam kaitannya dengan budaya pelayanan atau service culture.
Dari sisi pemberi service, maka kita perlu meminta maaf, sedangkan dari sisi customer, bagian kita adalah memaafkan.
Minta Maaf Bukan Aib
Benar, meminta maaf memang erat kaitannya dengan harga diri, semakin merasa harga dirinya terganggu atau direndahkan semakin sulit bahkan bisa saja seseorang tidak mau minta maaf meskipun telah melakukan kesalahan. Dalam budaya pelayanan meminta maaf adalah hal yang wajar dan harus dilakukan oleh petugas apabila melakukan kesalahan kepada customer atau pelanggan. Kesalahan tidak selalu berupa hal yang sangat merugikan dari sisi financial. Tapi membiarkan seorang nasabah lama menunggu saja sudah harus meminta maaf sebab mengurangi kenyamanan dan merugikan nasabah dari sisi alokasi waktu.
Mengapa kadang orang sulit meminta maaf? Pertama karena tidak bersedia mengakui kesalahan yang sudah dilakukan, kedua karena merasa kalau minta maaf jadi ketahuan kalau salah dan ini memalukan. Dalam budaya pelayanan sikap hati seperti ini tidak diperbolehkan. Setiap kesalahan bahkan kesalahan yang dilakukan oleh petugas kepada pelanggan atau calon pelanggan harus bersedia minta maaf. Bahkan minta maaf dengan tulus dan bersungguh-sungguh, artinya tidak sekedar minta maaf sambil lalu.
Be Genuine with Your Apologies
Permintaan maaf yang sungguh-sungguh tidak bisa dilakukan begitu saja, karena tidak akan mengena dihati pelanggan.
Meminta maaf harus mencakup:
– Sikap rendah hati yaitu mengakui sudah melakukan kesalahan atau sesuatu yang merugikan orang lain.
– Dengan tulus meminta maaf, ditunjukkan dengan tatapan mata kepada lawan bicara dan dengan ekspresi penyesalan.
– Diungkapkan dalam bahasa yang santun.
– Disertai dengan solusi terhadap permasalahan dan janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Belum lama ini Kepala Eksekutif Apple Inc, Tim Cook, meminta maaf pada para konsumen di Tiongkok dan mengubah kebijakan garansi iPhone di pasar perusahaan terbesar nomor dua itu setelah lebih dari dua minggu dikritik oleh media pemerintah Tiongkok karena layanan purna jualnya yang terlalu singkat. Untuk perusahaan sebesar Apple dengan pangsa pasar tersebar di seluruh dunia mungkin bisa saja mengabaikan hal ini, tapi tidak demikian, CEO nya sendiri mengeluarkan pernyataan permintaan maaf secara resmi.
Apakah permintaan maaf ini menghancurkan nama baik Apple? Justru sebaliknya, pasar beranggapan kesalahan pasti membuahkan kekecewaan pelanggan, itu hal yang wajar. Tapi, langkah untuk mengakui kelemahan merupakan langkah yang patut dihargai. Apa yang dilakukan Apple malah dinilai sebagai contoh bagaimana sebuah merek ingin membangun diri berdasarkan karakter dalam hal ini – kejujuran. Karakter inilah yang justru membuat merek Apple makin kuat.
Jadi, jangan takut untuk meminta maaf.
Emy Trimahanani/Managing Partner of Soft Skill Development/VMN/BL
Editor: Ruth Berliana