(Business Lounge – Automotive) Mobil swakemudi milik Waymo kini menarik perhatian publik bukan hanya karena teknologi canggih yang mereka tampilkan, tetapi juga karena gaya mengemudi yang semakin agresif dan “mirip manusia.” Jika sebelumnya mobil otonom diasosiasikan dengan perilaku yang sangat hati-hati, kini sejumlah pengendara dan pejalan kaki melaporkan bahwa kendaraan Waymo mulai bertingkah seperti sopir taksi New York: melakukan U-turn ilegal, langsung tancap gas saat lampu berubah hijau, hingga berpindah jalur secara mendadak. Transformasi ini menandai fase baru dalam evolusi kendaraan otonom, yang kini tengah mencoba menyesuaikan diri dengan dinamika lalu lintas urban yang serba cepat dan tidak selalu tertib.
Pihak Waymo menyebut bahwa perubahan ini sebagian besar dipicu feedback dari pengguna jalan lain yang merasa mobil otonom terlalu pasif dan menghambat arus lalu lintas. Di area seperti San Francisco, di mana ritme berkendara cepat dan seringkali impulsif, kendaraan yang terlalu patuh justru dianggap mengganggu. Karena itu, sistem kecerdasan buatan Waymo diprogram untuk mengambil keputusan yang lebih agresif — selama masih dianggap dalam batas keamanan. Namun penyesuaian ini memunculkan konsekuensi: manuver yang tidak lazim dari robotaksi menjadi sorotan aparat penegak hukum dan masyarakat.
Di satu sisi, sejumlah penumpang mengungkap bahwa perubahan tersebut membuat perjalanan terasa lebih efisien dan alami. Mobil tidak lagi berhenti terlalu lama di setiap persimpangan atau menolak bergabung ke lalu-lintas padat. Waymo ingin menggambarkan bahwa kendaraan otonom tak lagi menjadi “pendatang” canggung yang terlihat seperti robot — melainkan pengemudi aktif yang bisa membaca situasi jalan. Namun di sisi lain, pejalan kaki dan pengemudi lain mulai merasa risih. Perilaku yang terlalu agresif menimbulkan perasaan tidak aman, terlebih ketika kendaraan tanpa sopir itu melakukan aksi yang melanggar aturan atau mendekati objek lain dengan jarak sangat tipis.
Kondisi ini membuka perdebatan besar tentang tanggung jawab hukum. Jika sebuah Waymo melanggar aturan lalu lintas atau menyebabkan insiden, siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban? Pemilik kendaraan? Operator layanan? Atau pengembang algoritma? Ketika mobil membuat U-turn ilegal tanpa manusia di balik kemudi, aparat lalu lintas dihadapkan pada situasi yang tak pernah ada sebelumnya dalam sejarah transportasi. Regulasi yang ada masih diarahkan pada manusia sebagai pengambil keputusan, sementara kendaraan otonom menantang konsep tersebut secara mendasar.
Waymo mengklaim kendaraan mereka tetap jauh lebih aman dibandingkan pengemudi manusia berdasarkan jarak tempuh dan insiden kecelakaan berat. Namun bagi publik, persepsi keselamatan lebih banyak dipengaruhi pengalaman langsung di jalan. Jika mobil tanpa sopir tampak ceroboh, perasaan tidak aman itu akan meluas dengan cepat. Para peneliti keselamatan transportasi pun memperingatkan bahwa teknologi yang terlalu meniru perilaku manusia dapat mewarisi kelemahan manusia itu sendiri, seperti impulsif, agresif, atau abai aturan.
Perubahan gaya berkendara ini juga mengungkap masalah lain dalam otomasi: data dan pembelajaran mesin. Mobil otonom belajar dari miliaran contoh perilaku di jalan. Jika sebagian besar perilaku manusia di jalan adalah pelanggaran kecil yang dianggap lumrah, maka kendaraan pun berpotensi menganggapnya “normal.” Tantangan besar ke depan adalah menemukan keseimbangan antara efisiensi mobilitas dan kepatuhan hukum. Mobil otonom harus cukup lincah untuk berbaur dengan manusia, tetapi cukup disiplin untuk tidak mengadopsi sisi buruk dari pengemudi pada umumnya.
Apa yang terjadi pada Waymo menjadi cerminan bagaimana masa depan transportasi masih penuh ketidakpastian. Di satu sisi, teknologi menjanjikan pengurangan kecelakaan, peningkatan efisiensi energi, dan mobilitas untuk mereka yang tidak bisa mengemudi. Namun bila kinerjanya justru semakin menyerupai sopir taksi yang terburu-buru, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan yang selama ini menjadi modal utama inovasi.
Waymo harus menjelaskan dengan transparan tujuan dari penyesuaian perilaku ini serta batas keselamatan yang mereka tetapkan. Jika tujuan utamanya adalah menciptakan pengalaman berkendara yang lebih efisien tanpa mengorbankan kepatuhan hukum, maka komunikasi dengan publik menjadi kunci. Keberhasilan kendaraan swakemudi tidak hanya soal teknologi dan angka statistik, tetapi juga penerimaan sosial. Dunia sedang menguji, apakah mobil otonom benar-benar bisa menjadi solusi masa depan atau sekadar meniru kesalahan manusia dengan lebih mahal dan lebih pintar.

