(Business Lounge – Global News) Perusahaan farmasi dan agrikimia asal Jerman, Bayer AG, melaporkan kerugian bersih pada kuartal ketiga tahun ini akibat tekanan besar dari provisi litigasi yang kembali menghantam divisi sains tanaman (crop science) miliknya. Seperti dilaporkan Bloomberg dan Financial Times, meskipun kerugian bersih Bayer sedikit menyempit dibandingkan tahun lalu, beban hukum yang berkepanjangan terus menggerus keuntungan dan mengaburkan prospek pemulihan jangka menengah perusahaan.
Menurut laporan resmi Bayer, kerugian bersih kuartalan memang lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, tetapi angka pastinya tetap menunjukkan tekanan besar akibat tambahan biaya hukum yang harus disisihkan untuk menyelesaikan ribuan tuntutan hukum terkait herbisida Roundup di Amerika Serikat. Produk yang diakuisisi Bayer melalui pembelian Monsanto senilai $63 miliar pada 2018 itu masih menjadi sumber sengketa hukum yang melelahkan karena dikaitkan dengan risiko kanker bagi pengguna.
Dalam laporan keuangan yang dikutip oleh Reuters, Bayer mencatat bahwa meskipun pendapatan dari beberapa lini bisnis seperti farmasi dan kesehatan konsumen relatif stabil, divisi crop science kembali mengalami tekanan paling berat. Perusahaan menambahkan cadangan litigasi baru senilai ratusan juta euro, membuat kinerja laba operasi (EBITDA) menurun dan menekan margin. Meski begitu, Chief Executive Officer Bill Anderson menegaskan bahwa langkah strategis untuk merestrukturisasi portofolio bisnis dan memperkuat efisiensi biaya sedang berjalan sesuai rencana.
The Wall Street Journal mencatat bahwa Anderson, yang menjabat CEO sejak pertengahan tahun lalu, berusaha keras mengembalikan kepercayaan investor yang semakin lemah akibat kombinasi beban hukum dan tekanan utang pasca akuisisi Monsanto. Ia juga berjanji akan mempercepat langkah efisiensi dan mempertimbangkan opsi pemisahan unit bisnis untuk menciptakan nilai lebih bagi pemegang saham.
Meski beban litigasi tetap menjadi momok utama, Financial Times menyoroti bahwa bisnis farmasi Bayer mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi berkat permintaan yang kuat untuk obat-obatan kardiovaskular dan terapi baru di bidang onkologi. Namun, keuntungan dari sektor ini belum mampu menutup dampak kerugian yang dihasilkan oleh divisi pertanian yang tertekan harga pupuk, iklim ekstrem, dan tuntutan hukum yang belum tuntas.
Para analis memperkirakan bahwa pemulihan Bayer masih akan memakan waktu. Laporan Bloomberg Intelligence menunjukkan bahwa pasar belum melihat katalis kuat untuk pemulihan harga saham, yang turun lebih dari 40% sepanjang tahun lalu. Investor menilai masa depan perusahaan bergantung pada dua faktor: penyelesaian litigasi Roundup dan keberhasilan transformasi struktural yang sedang ditempuh oleh manajemen baru.
Bayer, yang kini tengah meninjau kembali struktur organisasinya, berencana fokus pada inovasi berbasis bioteknologi di bidang pertanian dan farmasi. Anderson menegaskan bahwa perusahaan akan memprioritaskan riset dengan potensi keuntungan jangka panjang, sambil mengurangi ketergantungan pada produk-produk lama yang menjadi beban hukum.
Meski demikian, pengamat menilai tantangan terbesar Bayer bukan hanya soal hukum, tetapi juga persepsi publik. Sejak mengakuisisi Monsanto, citra perusahaan terus mendapat sorotan negatif dari kelompok lingkungan dan konsumen yang menuntut transparansi lebih besar terhadap produk pestisida dan herbisida.
Laporan Reuters menambahkan bahwa Bayer sedang berupaya menyeimbangkan kembali portofolio risetnya agar lebih fokus pada pertanian berkelanjutan dan farmasi presisi tinggi. Namun, upaya ini membutuhkan waktu dan investasi besar sebelum bisa memberi dampak nyata pada profitabilitas.
Dengan beban litigasi yang masih tinggi dan pasar global yang tidak menentu, Bayer tampaknya masih harus menempuh jalan panjang untuk menstabilkan kinerjanya. Investor kini menunggu langkah konkret dari manajemen untuk mengubah krisis hukum dan reputasi menjadi momentum restrukturisasi yang benar-benar membawa perusahaan keluar dari tekanan yang menahun.

