(Business Lounge – Tech) Nvidia Corp., raksasa semikonduktor yang menjadi simbol ledakan kecerdasan buatan (AI), kini menghadapi persoalan yang jarang dialami perusahaan teknologi: terlalu banyak uang tunai. Setelah mencatat laba dan arus kas yang luar biasa selama dua tahun terakhir berkat permintaan global atas chip AI, perusahaan kini duduk di atas tumpukan dana yang semakin besar—dan belum menemukan cara terbaik untuk menggunakannya.
Menurut laporan Bloomberg dan The Wall Street Journal, posisi kas Nvidia telah menembus lebih dari 31 miliar dolar AS, meningkat tajam dibandingkan hanya 13 miliar dolar dua tahun lalu. Namun, berbeda dari perusahaan lain yang mungkin menggunakannya untuk akuisisi besar-besaran, langkah merger dan akuisisi (M&A) tampaknya bukan pilihan realistis bagi Nvidia. Setelah kegagalan rencana pembelian Arm Holdings senilai 40 miliar dolar pada 2022 akibat penolakan regulator di Amerika Serikat dan Eropa, perusahaan kini berhati-hati terhadap transaksi besar yang bisa memicu pengawasan hukum antimonopoli.
CEO Jensen Huang, dalam wawancara yang dikutip Financial Times, menyebut bahwa prioritas Nvidia kini bukanlah mengakuisisi perusahaan lain, tetapi memperkuat ekosistem internal melalui investasi di infrastruktur, riset chip, dan kemitraan strategis. “Kami memiliki banyak hal untuk dibangun sendiri,” ujarnya. Nvidia telah meningkatkan belanja modalnya secara signifikan untuk memperluas kapasitas produksi GPU, meningkatkan kerja sama dengan TSMC, dan mendanai riset di bidang komputasi AI generatif.
Namun, pertanyaan utama bagi para investor adalah bagaimana perusahaan akan memanfaatkan surplus kas yang sangat besar ini. Sebagian analis yang dikutip Reuters menilai bahwa Nvidia berpotensi meningkatkan program pembelian kembali saham (share buyback) atau membayar dividen yang lebih besar untuk memuaskan pemegang saham. Pada 2024, perusahaan mengumumkan buyback senilai 25 miliar dolar, tetapi dengan laju keuntungan yang terus meningkat, dana tersebut bisa tampak kecil dalam waktu dekat.
Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa akumulasi kas yang terlalu besar dapat membatasi efisiensi modal dan mengindikasikan kurangnya peluang ekspansi jangka pendek. Meski Nvidia terus mendominasi pasar GPU untuk AI dengan pangsa lebih dari 80%, kompetisi mulai meningkat dari perusahaan seperti AMD dan produsen chip khusus AI seperti Tenstorrent dan Cerebras. Beberapa analis menyebut bahwa untuk mempertahankan keunggulannya, Nvidia perlu menginvestasikan sebagian besar dananya dalam inovasi jangka panjang, bukan hanya memperkuat posisi pasar saat ini.
Selain itu, regulator di Amerika Serikat dan Eropa kini semakin ketat mengawasi perusahaan yang memiliki dominasi besar dalam teknologi strategis. Setelah gagal mengakuisisi Arm, Nvidia tampaknya memilih strategi “ekspansi tanpa akuisisi” — memperluas kemitraan dengan pengembang perangkat lunak dan penyedia cloud seperti Microsoft, Amazon, dan Google untuk memperdalam integrasi GPU-nya ke dalam layanan AI mereka.
Namun, kekuatan finansial Nvidia yang luar biasa juga menjadi sinyal betapa cepatnya ekonomi AI menciptakan kekayaan baru. Dalam satu tahun terakhir, kapitalisasi pasar Nvidia melonjak hingga mendekati 2,5 triliun dolar AS, menjadikannya salah satu perusahaan paling berharga di dunia. CNBC melaporkan bahwa margin laba kotor perusahaan kini berada di atas 75%, level yang luar biasa untuk industri semikonduktor yang biasanya beroperasi di bawah 50%.
Di tengah semua keberhasilan itu, masalah “kelebihan uang” Nvidia mencerminkan paradoks baru di era AI: inovasi dan profitabilitas tumbuh lebih cepat daripada kapasitas industri untuk menginvestasikannya kembali. Bagi Jensen Huang, tantangannya bukan lagi bagaimana membangun teknologi paling kuat di dunia, melainkan bagaimana memastikan kekayaan besar yang dihasilkan AI dapat diarahkan untuk memperkuat masa depan Nvidia — bukan hanya menumpuk di neraca keuangan.
Nvidia Corporation, didirikan pada tahun 1993 oleh Jensen Huang, Chris Malachowsky, dan Curtis Priem, berkantor pusat di Santa Clara, California. Perusahaan ini awalnya dikenal sebagai produsen kartu grafis (GPU) untuk gaming, namun kini menjadi pemimpin global dalam chip komputasi AI dan superkomputer. Produk utamanya seperti GPU seri H100 dan B200 menjadi tulang punggung bagi pengembangan model AI generatif dan pusat data modern. Dengan dominasi pasar yang luar biasa dan inovasi berkelanjutan, Nvidia kini dianggap sebagai salah satu perusahaan paling berpengaruh dalam ekonomi teknologi global.

