(Business Lounge – Global News) Starbucks, jaringan kopi terbesar di dunia, kembali mengumumkan langkah restrukturisasi besar dengan memangkas sekitar 900 posisi korporat dan menutup sejumlah gerai di Amerika Serikat. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari strategi pembalikan arah setelah beberapa tahun penuh tekanan, mulai dari biaya operasional yang melonjak, persaingan ketat dengan jaringan makanan cepat saji, hingga perubahan pola konsumsi konsumen pascapandemi. Menurut laporan The Wall Street Journal, langkah ini menandai upaya serius manajemen baru dalam memperbaiki kinerja keuangan sekaligus memperkuat fokus pada efisiensi dan profitabilitas jangka panjang.
PHK yang diumumkan kali ini terutama menyasar posisi korporat dan manajerial, bukan barista yang bekerja langsung di gerai. Meski demikian, dampaknya tetap besar bagi organisasi yang selama ini dikenal dengan budaya perusahaan inklusif dan progresif. Bloomberg mencatat, langkah tersebut mengikuti jejak perusahaan lain di sektor ritel dan teknologi yang juga mengurangi tenaga kerja sebagai respons terhadap kondisi makroekonomi yang menekan margin keuntungan. Starbucks berharap pemangkasan biaya melalui efisiensi struktur organisasi dapat dialihkan untuk mendukung investasi di bidang teknologi pemesanan digital dan inovasi menu.
Selain PHK, keputusan menutup sejumlah gerai juga menjadi sorotan. Meski Starbucks tidak menyebutkan jumlah pasti gerai yang akan ditutup, beberapa laporan CNBC menunjukkan bahwa manajemen akan meninjau kinerja lokasi-lokasi dengan profitabilitas rendah, khususnya di wilayah metropolitan dengan biaya sewa tinggi. Strategi ini dianggap penting untuk menyelaraskan jaringan gerai dengan tren perilaku konsumen yang kini lebih banyak memesan lewat aplikasi mobile dan layanan drive-thru. Dengan menutup gerai yang tidak efisien, Starbucks berharap dapat memperkuat basis profitabilitas sekaligus mengoptimalkan ekspansi ke lokasi baru yang lebih strategis.
Konteks keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika bisnis Starbucks dalam dua tahun terakhir. Penjualan perusahaan sempat melemah akibat inflasi yang menekan daya beli konsumen serta meningkatnya biaya bahan baku seperti kopi, susu, dan gula. Reuters mencatat bahwa meski Starbucks masih membukukan pertumbuhan pendapatan, margin laba perusahaan terus tertekan. Di sisi lain, kompetisi dengan jaringan makanan cepat saji seperti McDonald’s, Dunkin’, hingga merek lokal independen semakin sengit, terutama dalam menawarkan minuman kopi dengan harga lebih terjangkau.
Restrukturisasi ini juga bertepatan dengan transisi kepemimpinan di Starbucks. Setelah beberapa kali pergantian CEO, perusahaan kini dipimpin oleh Laxman Narasimhan, yang mengambil alih tongkat kepemimpinan dari Howard Schultz. Narasimhan datang dengan reputasi sebagai eksekutif yang berfokus pada efisiensi operasional dan transformasi digital. Financial Times melaporkan bahwa langkah pemangkasan pekerjaan dan penutupan gerai ini merupakan bagian dari visi Narasimhan untuk merampingkan organisasi dan mempercepat modernisasi operasional, termasuk integrasi teknologi kecerdasan buatan dalam proses pemesanan dan rantai pasok.
Di sisi pasar modal, pengumuman restrukturisasi ini disambut dengan reaksi beragam. Saham Starbucks sempat naik tipis setelah pengumuman, mencerminkan optimisme sebagian investor bahwa langkah efisiensi ini akan memperbaiki margin laba. Namun, sebagian analis yang dikutip Barron’s memperingatkan bahwa risiko reputasi tetap besar. Starbucks dikenal sebagai perusahaan dengan budaya progresif dan hubungan dekat dengan karyawan, sehingga PHK besar dapat menimbulkan persepsi negatif yang menggerus loyalitas pekerja maupun konsumen.
Salah satu isu paling krusial adalah hubungan Starbucks dengan serikat pekerja. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan menghadapi gelombang kampanye serikat buruh di berbagai kota di AS, yang menuntut perbaikan kondisi kerja dan upah lebih baik bagi barista. The New York Times melaporkan bahwa serikat pekerja sudah menyatakan keprihatinan bahwa PHK korporat ini bisa menjadi awal dari upaya lebih luas untuk melemahkan dukungan terhadap tenaga kerja. Meski Starbucks menegaskan bahwa PHK hanya menyasar posisi non-operasional, ketegangan dengan serikat pekerja kemungkinan akan tetap meningkat.
Strategi pemangkasan biaya ini juga disertai dengan dorongan inovasi menu dan ekspansi ke pasar internasional. Starbucks melihat peluang besar di Asia, khususnya China, yang menjadi pasar kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Meski menghadapi perlambatan ekonomi, China masih menawarkan potensi pertumbuhan jangka panjang berkat kelas menengah yang terus berkembang. Bloomberg menyoroti bahwa perusahaan berencana mengalihkan sebagian investasi dari pasar domestik ke internasional, dengan tujuan mendiversifikasi sumber pertumbuhan dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS yang semakin matang.
Faktor teknologi turut menjadi pilar utama dalam strategi baru Starbucks. Dengan lebih dari 30 juta pengguna aplikasi Starbucks Rewards di AS, perusahaan mengandalkan platform digital sebagai tulang punggung pertumbuhan. Layanan mobile order and pay kini menyumbang lebih dari 25% transaksi di beberapa pasar utama. CNBC melaporkan bahwa sebagian besar penghematan dari restrukturisasi akan dialokasikan untuk memperkuat teknologi digital, termasuk personalisasi berbasis AI dan sistem inventori otomatis. Dengan demikian, Starbucks berupaya menjaga relevansi di tengah perubahan perilaku konsumen yang semakin mengutamakan kecepatan dan kenyamanan.
Meski rencana transformasi ini ambisius, risiko tetap signifikan. Penutupan gerai bisa memengaruhi kehadiran merek di beberapa pasar lokal, membuka ruang bagi pesaing untuk mengisi celah. PHK besar juga berisiko melemahkan moral karyawan, terutama di level manajerial yang selama ini menjadi penghubung antara strategi perusahaan dan eksekusi di lapangan. Para analis memperkirakan bahwa 12 hingga 18 bulan ke depan akan menjadi periode kritis bagi Starbucks untuk membuktikan efektivitas strategi pembalikan arah ini.
Di luar aspek bisnis, langkah ini juga mencerminkan tantangan struktural yang lebih luas dalam industri ritel makanan dan minuman. Inflasi, kenaikan upah minimum, serta biaya sewa komersial yang tinggi mendorong banyak perusahaan untuk meninjau kembali model bisnis mereka. Starbucks, meski menjadi ikon global, tidak kebal terhadap tekanan ini. Financial Times menyimpulkan bahwa langkah restrukturisasi ini adalah upaya perusahaan untuk beradaptasi dengan realitas baru, di mana skala besar tidak lagi menjamin profitabilitas tanpa efisiensi operasional yang ketat.

