(Business Lounge – Technology) Di tengah lonjakan minat investor terhadap saham-saham teknologi besar berbasis kecerdasan buatan, saham Alphabet—perusahaan induk Google—justru tidak mendapatkan sambutan yang sama hangatnya. Kinerja sahamnya yang tertinggal dari para pesaing seperti Microsoft, Nvidia, dan Amazon membuat sebagian pelaku pasar mempertanyakan daya tarik Google sebagai raksasa teknologi. Namun bagi sebagian investor dengan pandangan jangka panjang, kenyataan ini justru menjadi peluang emas untuk memperoleh saham undervalued dari perusahaan dengan landasan bisnis yang masih sangat solid.
Menurut laporan dari The Wall Street Journal, saham Alphabet telah mencatat penurunan sekitar 8 persen dalam beberapa minggu terakhir. Penurunan ini terjadi justru di saat Nasdaq dan saham-saham teknologi lainnya mengalami reli. Penyebabnya bervariasi, mulai dari kekhawatiran atas dominasi AI milik Microsoft dan OpenAI, tekanan dari regulator antitrust di Amerika Serikat dan Eropa, serta keraguan investor terhadap strategi jangka panjang Google dalam mengkomersialkan teknologi AI mereka sendiri.
Namun para analis menekankan bahwa tidak satu pun dari tantangan tersebut bersifat eksistensial. Google tetap menjadi pemain dominan dalam pencarian web, memiliki ekosistem iklan digital terbesar di dunia, dan kini mulai memperlihatkan pertumbuhan yang sehat di divisi cloud dan layanan langganan seperti YouTube Premium dan YouTube Music. Dengan valuasi yang jauh lebih rendah dibanding para pesaingnya, banyak pihak melihat saham Alphabet sebagai salah satu “bargain” terbaik di antara raksasa teknologi.
Valuasi menjadi kunci utama argumen tersebut. Saham Alphabet saat ini diperdagangkan dengan rasio harga terhadap laba (forward P/E) sekitar 18 hingga 22 kali, tergantung metode proyeksi yang digunakan. Bandingkan dengan Microsoft yang memiliki forward P/E di atas 30 kali, atau Nvidia yang mencapai lebih dari 50 kali. Padahal, dalam beberapa aspek fundamental, pertumbuhan pendapatan dan laba Alphabet masih sangat kompetitif. Laporan keuangan kuartal pertama tahun 2025 menunjukkan pertumbuhan pendapatan 15 persen year-on-year menjadi lebih dari 90 miliar dolar AS, sementara laba bersih naik hampir 46 persen.
Meski mesin pencari masih menjadi andalan utama perusahaan, Alphabet telah berupaya mendiversifikasi pendapatannya melalui Google Cloud, layanan langganan, dan produk berbasis AI. Divisi cloud, yang sebelumnya mengalami kerugian, kini mulai menunjukkan profitabilitas dan memperluas pangsa pasarnya di tengah pertumbuhan permintaan infrastruktur AI global. Di sisi lain, YouTube, yang sempat ditekan oleh munculnya TikTok, mulai bangkit kembali lewat format Shorts dan penambahan fitur-fitur berbasis AI.
Meski begitu, kekhawatiran investor tidak sepenuhnya tak berdasar. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Alphabet saat ini adalah peningkatan tekanan dari regulator. Departemen Kehakiman Amerika Serikat tengah mengajukan gugatan antitrust terhadap Google atas dugaan praktik monopoli dalam pencarian dan iklan digital. Di Eropa, Alphabet juga tengah menghadapi berbagai denda atas pelanggaran aturan kompetisi, terutama terkait Android dan pemrosesan data pengguna.
Beberapa analis khawatir gugatan tersebut dapat memaksa Alphabet untuk melakukan divestasi atau mengubah struktur bisnis intinya. Namun menurut laporan Reuters, skenario semacam itu dipandang masih jauh dari kepastian, dan jika pun terjadi, efeknya mungkin tidak seburuk yang dibayangkan. Justru, beberapa investor menganggap pemisahan unit bisnis seperti YouTube, Google Cloud, atau Waymo dapat membuka nilai tersembunyi (unlock value) dari konglomerasi Alphabet.
Hal lain yang sempat menjadi tekanan adalah munculnya ChatGPT dari OpenAI yang didukung Microsoft. Banyak pihak memperkirakan bahwa chatbot berbasis AI ini dapat menggeser dominasi Google dalam pencarian informasi. Namun hingga pertengahan 2025, data menunjukkan bahwa Google tetap menguasai sekitar 90 persen pasar pencarian global. Inovasi mereka sendiri dalam AI, lewat peluncuran Gemini dan fitur AI Overviews, telah digunakan oleh lebih dari 350 juta pengguna, dengan cakupan distribusi menjangkau 1,5 miliar pengguna per bulan.
Fitur-fitur ini masih dalam tahap pengujian pasar, dan investor tampaknya masih menunggu hasil nyata dalam hal monetisasi. Namun para analis menilai bahwa ekosistem produk Google yang saling terintegrasi memberi keunggulan kompetitif jangka panjang. Pengembangan chip khusus seperti Tensor Processing Unit (TPU), dominasi di bidang data dan iklan, serta infrastruktur cloud yang luas memberi Google posisi yang sangat kuat untuk menang dalam era AI.
Dari sisi keuangan, Alphabet tetap menjadi mesin kas yang sangat efisien. Arus kas bebas perusahaan pada kuartal terakhir melebihi 20 miliar dolar AS, sementara cadangan kas dan surat berharga mencapai lebih dari 120 miliar dolar. Perusahaan juga mengumumkan program pembelian kembali saham sebesar 70 miliar dolar AS, sinyal kuat bahwa manajemen percaya saham mereka undervalued. Mereka bahkan baru saja mulai membayar dividen, mengikuti jejak Microsoft dan Apple, menunjukkan kedewasaan model bisnis dan komitmen terhadap pengembalian nilai kepada pemegang saham.
Di luar pencarian, Alphabet juga memiliki unit-unit bernilai tinggi yang belum sepenuhnya dihargai oleh pasar. Waymo, unit kendaraan otonom mereka, telah beroperasi secara komersial di beberapa kota AS dan memperluas cakupan layanan tanpa pengemudi. Meskipun belum menghasilkan pendapatan signifikan, banyak analis memperkirakan valuasi Waymo mencapai 30 hingga 45 miliar dolar. Demikian pula, DeepMind—divisi riset AI—telah menghasilkan terobosan dalam bidang ilmu hayati dan protein folding yang bisa menjadi landasan teknologi medis masa depan.
Posisi Alphabet saat ini bisa disamakan dengan perusahaan yang sedang melakukan restrukturisasi internal secara besar-besaran tanpa kehilangan daya saing. Mereka berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur AI, memperkuat portofolio cloud, memodernisasi sistem pencarian, dan memperluas pendapatan dari langganan. Namun di saat yang sama, mereka juga menghadapi ekspektasi tinggi dari pasar dan risiko regulasi yang terus meningkat.
Inilah yang menciptakan ketegangan antara persepsi pasar dan kenyataan fundamental. Banyak investor institusional besar justru menambah posisi mereka di Alphabet saat harga turun. Menurut data dari CNBC, beberapa dana lindung nilai dan manajer aset besar, seperti BlackRock dan Vanguard, telah meningkatkan kepemilikan mereka selama kuartal terakhir. Mereka percaya bahwa tekanan saat ini bersifat jangka pendek dan merupakan peluang untuk masuk ke saham berkualitas dengan harga diskon.
Bagi investor ritel, situasi ini menimbulkan pertanyaan klasik: apakah harus mengikuti ketakutan pasar, atau justru memanfaatkan sentimen negatif sebagai momen akumulasi? Jika menggunakan pendekatan nilai, maka Google—dengan dominasi pasarnya, pertumbuhan pendapatan dua digit, profitabilitas tinggi, dan valuasi yang relatif rendah—terlihat sangat menarik.
Banyak pihak membandingkan situasi ini dengan masa lalu, ketika saham Apple dan Microsoft juga sempat mengalami fase undervalued karena sentimen negatif jangka pendek, sebelum akhirnya mencetak reli panjang. Alphabet bisa jadi sedang berada dalam siklus serupa, di mana tekanan eksternal menutupi kekuatan internal yang sedang dibangun. Dengan kombinasi inovasi teknologi, kekuatan finansial, dan ekosistem produk yang luas, potensi pemulihan saham Google terlihat semakin besar.