(Business Lounge Journal – General Management)
Pernyataan Ben Cohen, salah satu pendiri Ben & Jerry’s, yang menyebut Magnum Ice Cream Company “menghancurkan” merek yang ia bangun sejak 1978, bukan sekadar polemik internal perusahaan. Di balik retorika keras tersebut, tersimpan persoalan mendasar dalam manajemen modern: ketika strategi korporasi berbenturan dengan DNA merek berbasis nilai dan misi sosial.
Bagi Cohen, persoalan utama bukan siapa yang duduk di dewan direksi, melainkan bagaimana keputusan struktural dapat menggerus identitas merek yang menjadi sumber keunggulan kompetitif Ben & Jerry’s selama puluhan tahun.
Dewan Independen sebagai Pilar Strategis, Bukan Simbolik
Sejak diakuisisi Unilever pada tahun 2000, Ben & Jerry’s mendapatkan hak istimewa yang jarang terjadi dalam dunia korporasi global: keberadaan independent board of directors. Dewan ini dirancang bukan sekadar sebagai formalitas tata kelola, melainkan sebagai penjaga misi sosial perusahaan, memastikan keputusan bisnis tetap sejalan dengan nilai-nilai keadilan sosial, lingkungan, dan keberpihakan terhadap komunitas.
Dalam konteks manajemen strategis, struktur ini merupakan bentuk dual governance model—di mana pemilik modal tidak sepenuhnya mendikte arah kebijakan merek. Bagi Ben & Jerry’s, model ini adalah bagian integral dari brand architecture mereka. Mengganggunya berarti mengubah fondasi, bukan sekadar atap organisasi.
Ketika Magnum, yang baru dipisahkan dari Unilever dan melantai di bursa pada Desember lalu, menetapkan batas masa jabatan dewan sembilan tahun dan secara efektif menyingkirkan tiga anggota dewan independen, Cohen melihatnya sebagai upaya sistematis untuk melemahkan fungsi kontrol moral dan strategis dewan tersebut. Terlebih, salah satu yang terdampak adalah Anuradha Mittal, ketua dewan sekaligus advokat hak asasi manusia yang selama ini dikenal vokal menjaga garis ideologis Ben & Jerry’s.
Narasi Manajemen yang Bertolak Belakang dengan Realitas
Istilah “Orwellian” yang digunakan Cohen bukan tanpa alasan. Ia menuding adanya pembalikan makna dalam komunikasi manajemen—ketika langkah yang disebut “memperkuat misi sosial” justru menghilangkan figur-figur yang selama ini paling konsisten membela misi tersebut.
Dalam literatur manajemen, kondisi ini dikenal sebagai strategy–execution gap: kesenjangan antara pernyataan strategis dan implementasi nyata. Ketika kesenjangan ini terjadi pada merek berbasis nilai (purpose-driven brand), dampaknya bukan hanya internal, tetapi juga eksternal—kepercayaan konsumen, kredibilitas merek, hingga legitimasi sosial perusahaan.
Bagi Cohen, alasan penggantian dewan yang berubah-ubah—dari tuduhan “tidak layak menjabat” hingga dalih masa jabatan terlalu lama—menunjukkan pendekatan manajemen yang lebih berorientasi pada kontrol daripada kolaborasi nilai.
Kesalahan Memahami Sumber Nilai Ben & Jerry’s
Kritik Cohen semakin tajam ketika ia menyoroti kegagalan Magnum memahami sumber nilai ekonomi Ben & Jerry’s. Dalam pandangannya, nilai merek ini tidak bisa dipisahkan dari posisinya sebagai pelopor bisnis yang secara terbuka mengusung isu keadilan sosial, perubahan iklim, dan hak asasi manusia—bahkan ketika sikap tersebut berisiko menimbulkan kontroversi.
Berbeda dengan merek es krim arus utama, Ben & Jerry’s tidak bersaing terutama pada harga atau skala produksi, melainkan pada ekuitas moral dan autentisitas. Konsumen membeli Ben & Jerry’s bukan hanya karena rasa, tetapi karena identitas dan sikap yang konsisten. Ketika misi sosial direduksi menjadi slogan korporasi yang “aman”, maka diferensiasi inilah yang berpotensi hilang.
Dalam perspektif manajemen merek, ini merupakan bentuk brand dilution by governance—ketika perubahan struktur organisasi secara tidak langsung melemahkan makna merek di mata publik.
Orientasi Jangka Pendek vs Nilai Jangka Panjang
Magnum menegaskan bahwa sejak akuisisi tahun 2000, Ben & Jerry’s telah berkembang dari empat negara menjadi 46 negara, dengan penjualan meningkat enam kali lipat dan investasi ratusan juta euro dalam misi sosial. Namun bagi Cohen, angka-angka ini justru menunjukkan paradoks manajemen nilai: pertumbuhan finansial tidak otomatis berarti keberhasilan menjaga esensi merek.
Cohen menilai Magnum bersikap short-sighted—terlalu fokus pada stabilitas struktural dan ekspektasi investor publik, tetapi mengabaikan fakta bahwa nilai jangka panjang Ben & Jerry’s justru terletak pada keberaniannya bersikap tidak konvensional. Dalam logika ini, Ben & Jerry’s bukan sekadar aset operasional, melainkan symbolic asset yang nilainya bisa terkikis bila diperlakukan seperti merek “tengah-tengah” lainnya.
Pelajaran Manajemen dari Kasus Ben & Jerry’s
Kasus ini memberikan pelajaran penting bagi pemimpin bisnis dan investor: tidak semua merek cocok dengan model tata kelola standar perusahaan publik. Untuk merek dengan DNA aktivisme dan misi sosial yang kuat, tata kelola harus dirancang sebagai alat pelindung nilai, bukan sekadar mekanisme kepatuhan.
Seruan kampanye #FreeBenAndJerrys yang diluncurkan Cohen dan Jerry Greenfield mencerminkan keyakinan bahwa independensi nilai adalah prasyarat keberlanjutan merek, bukan penghalang pertumbuhan. Bagi mereka, menjual Ben & Jerry’s kepada pemilik yang selaras secara nilai justru akan menciptakan nilai ekonomi yang lebih sehat dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, kritik Cohen bukan tentang nostalgia pendiri, melainkan tentang peringatan strategis: ketika perusahaan gagal memahami apa yang membuat suatu merek bernilai unik, maka upaya “mengamankannya” justru bisa menjadi proses perlahan untuk menghancurkannya.

