(Business Lounge – Human Resources) Di berbagai belahan dunia, anak-anak bangun pagi, memakai seragam, dan pergi ke sekolah dengan pola yang hampir sama. Mereka duduk di ruang kelas, mendengarkan guru berbicara di depan papan tulis, mencatat, dan menunggu waktu istirahat. Di akhir tahun, mereka diuji dengan soal-soal yang mengukur seberapa banyak informasi berhasil mereka simpan. Begitulah sistem yang telah bertahan lebih dari seratus tahun, dan anehnya, hampir semua orang menerimanya tanpa banyak bertanya. Seolah sekolah memang diciptakan untuk cara hidup seperti itu, seolah pendidikan adalah kegiatan alami manusia. Padahal jika ditelaah, sistem ini adalah hasil dari kebingungan besar tentang apa itu belajar dan untuk apa pendidikan ada.
Sekolah modern lahir bukan dari pemahaman mendalam tentang manusia, tetapi dari kebutuhan sosial dan ekonomi. Ketika Revolusi Industri mengubah dunia, masyarakat membutuhkan pekerja yang bisa membaca, menghitung, dan patuh pada aturan. Sekolah menjadi mesin besar yang dirancang untuk mencetak tenaga kerja yang seragam. Jam pelajaran meniru jadwal pabrik, bel berbunyi untuk menandai pergantian aktivitas, dan guru bertindak sebagai mandor yang mengawasi produktivitas murid. Di banyak negara, bahkan arsitektur sekolah—deretan kelas berjajar dengan lorong panjang—meniru jalur produksi industri. Pendidikan tidak dirancang untuk menumbuhkan rasa ingin tahu, tetapi untuk melatih kepatuhan.
Yang menarik, tidak ada bukti bahwa model seperti itu muncul dari riset tentang bagaimana manusia benar-benar belajar. Ia lahir dari kebutuhan efisiensi dan kendali sosial. Pemerintah menyadari bahwa anak-anak harus didisiplinkan sejak dini agar bisa hidup dalam struktur masyarakat industri. Maka pelajaran diatur dalam mata pelajaran terpisah, kurikulum disusun dari atas, dan keberhasilan diukur dengan angka. Dari sinilah muncul gagasan bahwa pendidikan dapat “dikelola” seperti perusahaan. Tetapi di balik keteraturan itu tersembunyi ironi besar: sistem ini justru melawan cara alami manusia belajar.
Manusia tidak belajar dengan duduk diam mendengarkan seseorang berbicara. Sejak lahir, manusia belajar dengan meniru, bermain, mencoba, dan gagal. Anak-anak kecil menguasai bahasa tanpa pelajaran tata bahasa, mengenali wajah tanpa panduan formal, memahami bahaya tanpa teori fisika. Semua itu terjadi karena rasa ingin tahu dan keterlibatan emosional. Namun ketika mereka masuk sekolah, proses alami itu dihentikan. Mereka diajarkan bahwa belajar adalah tugas, bukan kesenangan. Mereka diberitahu apa yang penting, bukan mencari tahu sendiri. Semangat eksplorasi yang menjadi dasar kecerdasan manusia perlahan dipadamkan oleh struktur.
Paradoks ini menciptakan ilusi bahwa semakin banyak waktu dihabiskan di sekolah, semakin pintar seseorang. Padahal kenyataannya, banyak orang meninggalkan sekolah tanpa benar-benar memahami diri atau dunia di sekitarnya. Mereka belajar untuk lulus, bukan untuk hidup. Sistem yang dimaksudkan untuk mencerdaskan akhirnya hanya mengajarkan kepatuhan terhadap aturan yang tak selalu masuk akal.
Pendidikan modern dibangun di atas asumsi bahwa pengetahuan bisa dipindahkan dari kepala satu orang ke orang lain, seperti mengisi gelas kosong. Guru dianggap sebagai sumber kebenaran, murid sebagai penerima pasif. Padahal pengetahuan tidak pernah dapat dipindahkan begitu saja; ia hanya bisa diciptakan ulang melalui pengalaman dan makna pribadi. Ketika seseorang mendengar informasi, otaknya tidak serta-merta menyimpannya. Ia menilai apakah hal itu penting, menarik, atau relevan. Jika tidak menimbulkan reaksi emosional, informasi itu akan segera lenyap. Maka, pendidikan yang hanya berfokus pada penyampaian isi tanpa memedulikan makna bagi penerima sebenarnya tidak mengajarkan apa pun.
Sejarah mencatat bahwa gagasan pendidikan massal pertama kali diformalkan oleh Prusia pada abad ke-18, setelah kekalahan militer yang memalukan. Pemerintah berkesimpulan bahwa negara membutuhkan warga yang disiplin, taat, dan bisa membaca perintah dengan baik. Mereka menciptakan sistem sekolah wajib yang kemudian menjadi model bagi banyak negara lain, termasuk Inggris dan Amerika. Dari sinilah konsep “kelas” muncul—sekelompok anak dengan usia sama belajar hal yang sama di waktu yang sama. Sistem itu efektif untuk menanamkan keteraturan, tetapi tidak untuk menumbuhkan pemahaman. Ia dirancang bukan untuk kebebasan berpikir, melainkan untuk keseragaman perilaku.
Jika tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia lebih cerdas, maka sistem ini gagal memenuhi janjinya. Banyak orang dewasa tidak dapat menjelaskan dengan jelas apa yang mereka pelajari di sekolah selain keterampilan menghafal dan mengikuti aturan. Mereka lupa sebagian besar isi pelajaran beberapa bulan setelah ujian. Namun mereka tidak lupa bagaimana rasanya dinilai, dihukum, atau dipuji. Artinya, yang benar-benar mereka pelajari adalah bagaimana bertahan dalam sistem sosial, bukan bagaimana memahami dunia.
Begitu juga di dunia kerja. Organisasi besar meniru struktur sekolah dengan pelatihan karyawan, sertifikasi, dan sistem evaluasi. Hasilnya serupa: sebagian besar pelatihan hanya menghasilkan kepatuhan administratif tanpa peningkatan kinerja yang nyata. Orang tidak berubah karena diberi tahu; mereka berubah karena mengalami sesuatu yang menyentuh emosi dan makna pribadinya. Sistem pelatihan yang efektif seharusnya meniru cara manusia benar-benar belajar—melalui keterlibatan, rasa ingin tahu, dan tantangan yang nyata—bukan menyalin pola kelas tradisional ke ruang pertemuan.
Pendidikan modern juga menciptakan ketergantungan terhadap otoritas. Anak-anak diajari bahwa ada jawaban benar yang hanya diketahui guru, dan bahwa tugas mereka adalah menebak dengan tepat apa yang diinginkan sistem. Dari kecil mereka berlatih menyesuaikan diri dengan ekspektasi eksternal. Ketika dewasa, mereka menjadi pekerja yang takut salah, enggan bereksperimen, dan menunggu instruksi. Budaya ini menumpulkan kreativitas dan tanggung jawab pribadi. Padahal dunia nyata membutuhkan kebalikannya: keberanian mengambil risiko, kemampuan berpikir mandiri, dan kepekaan terhadap makna.
Jika ditanya apa tujuan pendidikan, kebanyakan orang akan menjawab: agar anak mendapat pekerjaan yang baik. Jawaban itu menunjukkan betapa jauh kita telah menyimpang. Pendidikan seharusnya mempersiapkan manusia untuk memahami dirinya, bekerja sama dengan orang lain, dan menghadapi kehidupan dengan kebijaksanaan. Namun tujuan itu tergeser oleh kebutuhan ekonomi. Sekolah kini lebih mirip jalur produksi menuju dunia kerja, bukan tempat menumbuhkan manusia. Kita menilai keberhasilan pendidikan bukan dari seberapa banyak orang menjadi lebih bijak, tetapi dari seberapa banyak yang diterima di universitas atau memperoleh gaji tinggi.
Padahal manusia belajar karena dorongan alami untuk memahami dan beradaptasi. Rasa ingin tahu adalah kekuatan evolusioner yang membuat kita bertahan. Pendidikan seharusnya memperkuat dorongan itu, bukan menundukkannya pada standar birokrasi. Anak-anak memiliki potensi belajar yang luar biasa sebelum sistem mengubah mereka menjadi penunggu bel. Mereka bisa belajar bahasa, menalar, dan mencipta dengan cara yang spontan. Namun setelah beberapa tahun di sekolah, banyak dari mereka kehilangan minat. Mereka berhenti bertanya dan mulai mencari jawaban paling aman.
Masalahnya bukan pada guru, melainkan pada sistem. Banyak guru sebenarnya tahu bahwa cara mengajar terbaik adalah dengan melibatkan murid secara emosional, dengan cerita, percobaan, dan pengalaman langsung. Tapi sistem mengekang mereka dengan kurikulum, target nilai, dan batas waktu. Mereka dipaksa mengikuti struktur yang mengutamakan efisiensi daripada pemahaman. Dalam sistem yang menghargai angka di atas pengalaman, kreativitas guru perlahan terkikis.
Paradoks pendidikan modern adalah bahwa semakin keras ia berusaha mengajar, semakin sedikit yang benar-benar dipelajari. Karena yang diajarkan adalah informasi tanpa makna, murid hanya menghafal untuk sementara. Di luar ujian, pengetahuan itu menguap. Yang tersisa hanyalah kesan emosional terhadap prosesnya—apakah mereka merasa dihargai atau dipermalukan, tertarik atau bosan, percaya diri atau takut. Inilah bukti paling jelas bahwa belajar selalu bersifat emosional, bahkan ketika sistem berusaha menyingkirkannya.
Sistem pendidikan masa depan harus berani melepaskan ilusi bahwa pengulangan dan penilaian dapat menggantikan makna. Pendidikan sejati dimulai ketika seseorang menemukan hubungan pribadi dengan apa yang dipelajarinya. Seseorang akan belajar tentang astronomi bukan karena diwajibkan, tetapi karena kagum pada langit malam. Ia akan memahami sejarah bukan karena ujian, tetapi karena merasa terhubung dengan cerita manusia di masa lalu. Begitu makna ditemukan, belajar menjadi alami, tanpa paksaan, tanpa kurva pelupaan.
Tujuan pendidikan seharusnya bukan menyiapkan pekerja, melainkan membangkitkan kesadaran. Dunia yang berubah cepat membutuhkan manusia yang mampu menyesuaikan diri, bukan hanya yang patuh pada aturan. Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak belajar berpikir, merasa, dan bertindak dengan tanggung jawab. Di tempat seperti itu, pengetahuan bukan lagi isi kepala, melainkan cara hidup.
Jika pendidikan ingin relevan kembali, ia harus berhenti meniru pabrik dan mulai meniru kehidupan. Ia harus memandang belajar bukan sebagai pengisian otak, melainkan perjalanan menemukan makna. Ia harus melihat guru bukan sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai perancang pengalaman. Ia harus menilai murid bukan dari hafalan, tetapi dari rasa ingin tahu yang tumbuh di dalam diri mereka.
Pendidikan sejati tidak terjadi di ruang kelas, tetapi di momen ketika seseorang merasa tergerak oleh sesuatu—ketika pertanyaan muncul dengan jujur dan jawaban dicari dengan gairah. Ia bisa terjadi di laboratorium, di taman, di jalan, di percakapan, di kesalahan, bahkan di kesunyian. Semua tempat di mana manusia merasa hidup adalah ruang belajar.
Selama sistem masih mengukur kecerdasan dengan angka, selama nilai ujian lebih penting dari keingintahuan, selama rasa ingin tahu dianggap gangguan terhadap disiplin, pendidikan hanya akan mencetak generasi yang patuh tetapi kosong. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak penghafal; dunia membutuhkan manusia yang merasa, berpikir, dan memahami makna dari apa yang mereka lakukan.
Pendidikan adalah tentang perubahan—bukan perubahan kurikulum, melainkan perubahan cara kita melihat manusia. Selama kita menganggap murid sebagai mesin yang harus diisi, kita akan terus gagal. Tapi jika kita mulai memandang mereka sebagai makhluk yang belajar karena rasa ingin tahu, maka pendidikan dapat kembali menjadi sesuatu yang indah, proses menemukan dunia dan diri sendiri.

