Ketika Ferrari memperkenalkan model terbarunya tahun ini, para penggemar otomotif di seluruh dunia segera menyadari bahwa mobil tersebut bukan sekadar kendaraan cepat, tetapi pernyataan artistik tentang bagaimana emosi dapat diwujudkan dalam bentuk mekanik. Seperti diberitakan Bloomberg, peluncuran Ferrari 12Cilindri — penerus spiritual dari seri V12 legendaris — bukan hanya langkah teknis, tetapi juga langkah emosional yang menegaskan identitas merek Italia itu di tengah dunia otomotif yang kian berorientasi pada efisiensi dan elektrifikasi.
Ferrari menyebut model ini sebagai mobil yang “dirancang untuk menggugah perasaan sebelum rasionalitas.” Di era ketika kecepatan, aerodinamika, dan kecanggihan perangkat lunak menjadi tolok ukur utama, Ferrari memilih arah berbeda: menghadirkan sensasi emosional yang tak tergantikan oleh teknologi digital. Dalam wawancara yang dikutip Financial Times, CEO Benedetto Vigna mengatakan bahwa “Ferrari bukan hanya tentang performa, tapi juga tentang pengalaman yang menggetarkan jiwa.” Ucapan itu mencerminkan filosofi yang telah menjadi DNA perusahaan sejak didirikan oleh Enzo Ferrari lebih dari tujuh dekade lalu.
Sejak awal, Ferrari tidak pernah berusaha menjadi yang paling efisien atau paling ekonomis. Ia selalu berusaha menjadi yang paling berkesan. Itulah mengapa desain, suara mesin, dan rasa kemudi menjadi bagian dari pengalaman emosional yang disusun dengan presisi layaknya karya musik klasik. Dalam laporan The Wall Street Journal, para jurnalis otomotif yang menghadiri peluncuran Ferrari 12Cilindri di Maranello menggambarkannya sebagai “konser mekanik” — suara mesin V12 yang berputar hingga 9.500 rpm menggema di ruang uji layaknya orkestra yang dikendalikan dengan keanggunan ekstrem.
Ferrari memahami bahwa mobil-mobilnya tidak hanya dibeli karena kecepatan, tetapi karena perasaan yang dihasilkan. Dalam konteks itu, desain menjadi bahasa emosional utama. Kepala desainer Ferrari, Flavio Manzoni, dalam wawancara dengan Car and Driver menjelaskan bahwa bentuk setiap lekukan bodi Ferrari dirancang untuk memicu respons psikologis tertentu: rasa kagum, keanggunan, dan keinginan untuk menyentuh. “Kami tidak mendesain mobil, kami mendesain pengalaman,” katanya. Filosofi itu menjelaskan mengapa Ferrari tetap mempertahankan proporsi klasik — hidung panjang, kabin ramping, dan garis bahu dinamis — bahkan ketika aerodinamika modern mendorong bentuk yang lebih ekstrem.
Menurut Reuters, Ferrari menghadapi tekanan besar untuk beradaptasi dengan era elektrifikasi global, terutama setelah Uni Eropa mengumumkan target pelarangan mesin pembakaran internal baru mulai 2035. Namun perusahaan itu memilih pendekatan yang hati-hati. Meskipun Ferrari telah mengumumkan rencana meluncurkan mobil listrik penuh pertama pada 2025, sebagian besar portofolio produknya saat ini masih berpusat pada mesin V8 dan V12, simbol dari apa yang disebut Vigna sebagai “jiwa mekanik yang tak tergantikan.”
Dalam analisis Bloomberg Intelligence, strategi ini bukan sekadar romantisme nostalgia, melainkan strategi bisnis yang cerdas. Ferrari menjual kurang dari 15.000 unit mobil per tahun, tetapi mencatat margin laba operasi di atas 27%, salah satu yang tertinggi di industri otomotif global. Nilai emosional yang melekat pada setiap model menciptakan permintaan yang jauh melampaui penawaran. Pelanggan tidak membeli Ferrari untuk efisiensi, melainkan untuk kepemilikan pengalaman yang eksklusif — sesuatu yang tidak bisa diduplikasi oleh mobil listrik massal dari produsen lain.
Ferrari juga berhasil menjaga hubungan emosional ini dengan mempersonalisasi setiap unit yang dijual. Seperti diberitakan Financial Times, hampir 80% mobil Ferrari kini dipesan melalui program kustomisasi Tailor Made, yang memungkinkan pembeli memilih setiap detail, mulai dari warna cat, material interior, hingga pola jahitan jok. Dalam wawancara dengan Reuters, Vigna menegaskan bahwa personalisasi bukan sekadar strategi pemasaran, tetapi cara untuk memastikan bahwa setiap Ferrari menjadi “cerminan emosional dari pemiliknya.” Dengan cara ini, Ferrari tidak hanya menjual mobil, tetapi juga narasi personal.
Namun, menjaga keseimbangan antara emosi dan teknologi tidaklah mudah. Dunia otomotif modern menuntut integrasi perangkat lunak canggih, sistem bantuan pengemudi, dan efisiensi energi yang tinggi. Ferrari menanggapi tantangan ini dengan cara khasnya: menggunakan teknologi bukan untuk menggantikan sensasi, tetapi untuk memperkuatnya. Menurut Bloomberg, 12Cilindri menggunakan sistem kontrol traksi adaptif yang dikembangkan dari teknologi Formula 1, yang tidak menghapus sensasi pengemudi, tetapi justru memperluas batas kemampuan manusia tanpa mengorbankan rasa keterlibatan.
Ferrari juga semakin bergantung pada sains emosi dalam pengembangan produk. Dalam laporan The Wall Street Journal, tim R&D Ferrari bekerja sama dengan ahli neuropsikologi untuk mempelajari respons emosional pengemudi terhadap suara mesin dan getaran kabin. Hasilnya, setiap elemen — dari resonansi knalpot hingga resistensi pedal gas — dirancang untuk menciptakan “emosi kinetik” yang konsisten dengan karakter Ferrari. Proses semacam ini membedakan Ferrari dari produsen lain yang mengandalkan data performa belaka.
Para analis menilai pendekatan ini adalah bentuk “emosional engineering” yang unik. Bloomberg menyebutnya sebagai perpaduan antara seni dan sains: seni dalam mendesain pengalaman, sains dalam mengontrol sensasi. Strategi ini terbukti berhasil karena pelanggan Ferrari bukan hanya pembeli mobil, tetapi kolektor pengalaman. Banyak dari mereka memiliki lebih dari satu unit, dan setiap model baru dianggap sebagai perwujudan baru dari emosi yang berbeda — bukan sekadar peningkatan performa.
Ferrari juga memahami nilai waktu dalam membangun keterikatan emosional. Menurut Reuters, rata-rata waktu tunggu untuk model baru bisa mencapai dua tahun. Namun alih-alih mengeluh, pelanggan melihatnya sebagai bagian dari ritual kepemilikan. Menunggu Ferrari menjadi bagian dari pengalaman itu sendiri, seperti menanti karya seni yang diciptakan khusus untuk satu orang. Di dunia yang serba cepat dan instan, Ferrari justru mengajarkan kesabaran sebagai bentuk kemewahan.
Filosofi ini juga terlihat dalam cara Ferrari memperlakukan pelanggan lamanya. Seperti dilaporkan Financial Times, perusahaan memberi prioritas akses pembelian kepada pemilik Ferrari terdahulu, terutama mereka yang berpartisipasi dalam acara balap atau kegiatan komunitas resmi. Strategi ini memperkuat rasa eksklusivitas dan komunitas emosional di antara pemiliknya. Dengan demikian, hubungan antara Ferrari dan pelanggannya tidak sekadar transaksional, melainkan relasional — ikatan antara merek dan individu yang dibangun melalui pengalaman dan kepercayaan.

