Ferrari

Ferrari Tantang Superrich untuk Membeli Mobil Listrik

(Business Lounge – Automotive) Ferrari tengah menghadapi ujian besar dalam sejarah panjangnya: meyakinkan para miliarder dan kolektor otomotif bahwa mobil listrik bisa seikonik mesin bensin legendaris mereka. Pertanyaan yang mengemuka di antara para penggemar adalah sederhana namun tajam — dapatkah Ferrari membuat mobil listrik yang pantas disebut Ferrari, tanpa deru mesin yang menjadi jantung identitasnya?

Proyek kendaraan listrik pertama Ferrari ini bukan sekadar langkah menuju elektrifikasi, tetapi upaya membangun kembali makna “emosi berkendara” dalam era tanpa suara mesin. Menurut laporan Bloomberg dan The Wall Street Journal, mobil tersebut dirancang di fasilitas khusus di Maranello, Italia, dan dijadwalkan meluncur pada 2025. Harga yang diperkirakan melampaui 500.000 dolar AS menjadikannya salah satu mobil listrik termahal di dunia, dan Ferrari tampak percaya diri bahwa pelanggan setianya akan siap membayar harga itu.

Ferrari menyebut proyek ini sebagai “standar baru” bagi mobil sport listrik. Para insinyurnya di Maranello berusaha menciptakan pengalaman yang tetap menggugah emosi, meskipun tanpa raungan mesin V12. Mereka mengembangkan sistem suara sintetis yang diklaim bukan sekadar tiruan mesin, melainkan bentuk baru dari komunikasi antara pengemudi dan mobil. Financial Times melaporkan bahwa Ferrari bahkan membangun simulator akustik khusus untuk menciptakan harmoni suara yang mampu meniru ketegangan, ritme, dan resonansi khas mobil balap mereka.

Namun, bagi banyak penggemar setia Ferrari, menggantikan suara mesin dengan gelombang digital tetap terasa seperti pengkhianatan terhadap tradisi. Mobil-mobil Ferrari klasik dikenal karena suara mesin yang nyaris seperti musik — dari dentuman mesin V8 hingga simfoni V12 yang memuncak di putaran tinggi. Suara itu bukan sekadar efek; ia adalah bahasa emosional antara pengemudi dan mesin. Menghilangkannya berarti mengubah jiwa Ferrari itu sendiri.

Meski begitu, tekanan regulasi dan arah pasar membuat langkah ini tak terhindarkan. Uni Eropa telah menetapkan target ketat untuk kendaraan bebas emisi, dan perusahaan otomotif premium seperti Ferrari tak bisa lagi mengandalkan mesin bensin sebagai masa depan. Rivalnya, Lamborghini, Aston Martin, dan Porsche, semuanya sudah memperkenalkan atau menyiapkan model listrik performa tinggi. Porsche Taycan, misalnya, telah menjadi tolok ukur bagi mobil sport listrik sejak diluncurkan, sementara Lamborghini tengah mengembangkan lini Revuelto hybrid sebagai jembatan menuju elektrifikasi penuh.

Ferrari tampaknya berusaha berbeda. Alih-alih sekadar mengejar kecepatan dan daya tahan baterai, perusahaan ini fokus pada sensasi yang dihasilkan oleh mobil itu sendiri. Reuters melaporkan bahwa Ferrari ingin menciptakan “emosi kinetik” baru — bagaimana mobil bereaksi, bagaimana pengemudi merasakan aspal melalui setir dan pedal, bahkan bagaimana getaran ringan dari motor listrik disalurkan ke kursi untuk menggantikan getaran mesin. Tujuannya adalah menghadirkan pengalaman yang autentik, bukan hanya cepat atau hening.

Ferrari juga mempertahankan tradisi eksklusivitas dalam proyek ini. Pabrik baru di Maranello didesain khusus untuk memproduksi model listrik dan hybrid dengan jumlah terbatas. Setiap unit akan dibuat secara semi-manual oleh teknisi berpengalaman, dan pelanggan dapat menyesuaikan hampir setiap aspek mobil mereka, mulai dari material interior hingga desain aerodinamis. Pendekatan ini mencerminkan filosofi Ferrari bahwa mobil bukan sekadar alat transportasi, tetapi karya seni mekanis yang dipersonalisasi.

Namun, tantangan terbesar mungkin bukan pada sisi teknik, melainkan psikologis. Para kolektor yang selama ini rela membayar jutaan dolar untuk Ferrari klasik melakukannya bukan hanya karena performa, tetapi karena karakter — suara, aroma bensin, dan sensasi mekanis yang tak tergantikan. Apakah mereka akan merasakan hal serupa dari mobil listrik yang senyap?